Menu

Mode Gelap

Life Style

Paganisme dan Kriya Lokal

badge-check


					Seorang pria sedang menenun di Desa Weri, Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT). (Foto: KREDONEWS.COM/ Eko Wienarto) Perbesar

Seorang pria sedang menenun di Desa Weri, Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT). (Foto: KREDONEWS.COM/ Eko Wienarto)

Oleh: Eko Wienarto*

“Paganisme kuat mengakar pada masyarakat tradisional, memberi keunggulan kriya serta pengaruh baik pada ekologi setempat”.

KERAJINAN TANGAN dalam berbagai bentuk menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi orang-orang saat mengunjungi suatu daerah atau desa, baik di dalam maupun di luar negeri.

Kriya lokal itu bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti binatang atau benda lain yang menjadi totem, alat musik tradisional atau obyek alam seperti danau, gunung, padang rumput, gua atau benda lain. Bisa juga berupa perangkat rumah tangga seperti tempat menyimpan makanan, lesung dengan penumbuknya serta peralatan kerja seperti pisau, parang serta peralatan pertanian.

Seni kriya juga meliputi keperluan sandang, yang secara tradisional dimiliki oleh seluruh etnik. Busana pada mulanya diperlukan sebagai alat untuk melindungi diri dari cuaca seperti panas dan dingin, angin dan hujan. Setiap suku bangsa membuat busana mula-mula dengan memanfaatkan benda alam yang ada di sekitarnya seperti bulu binatang, kulit kayu, rerumputan yang sesuai dengan ekologi setempat.

Dalam perkembangannya, penggunaan bahan pakaian, corak, dan warna tumbuh menjadi seni kriya yang mengagumkan. Contohnya adalah kain tenun dengan berbagai jenis pengerjaannya seperti songket di Sumatra, lurik di Jawa dan tenun ikat di Nusa Tenggara Timur dan Barat.

Secara umum kerajinan lokal itu memiliki kemiripan bentuk, namun tetap ada perbedaan yang menunjukkan dan menjadi simbol lokal. Simbol lokal itu yang menjadi daya tarik unggulan, karena simbol itu khas di suatu daerah dan berbeda dengan daerah lain. Perbedaan ini justru menarik dan saling melengkapi.

Selain simbol yang erat dengan lokalitas, daya tarik lain kriya lokal adalah pada aspek ekologis karena dibuat dengan bahan berkelanjutan yang bersumber dari kekayaan alam setempat atau materi yang dapat didaur ulang. Bahan lainnya adalah bahan organik yang ramah lingkungan seperti pewarna alami yang berasal dari tumbuhan nila untuk warna biru atau mengkudu untuk mendapatkan warna merah dan merendam benang dan kain di lumpur untuk dijadikan warna hitam.

Pengerjaan seni kriaya pada dasarnya dikerjakan dengan tangan dan memakai peralatan sederhana seperti pisau, pahat, parang dan alat bor mekanik secara turun-temurun.

Pilihan bahan dan proses pengerjaan yang cermat, tekun dan menghasilkan seni kriya yang unggul seperti ini, menjadi penyebab para peminat mengoleksi berbagai seni kriya lokal. Selain dapat dinikmati keindahannya, seni krita sering kali memberi ‘nilai’ kontemplatif bagi mereka yang melihatnya.

Kriya lokal sering menarik bagi mereka yang menggeluti antropologi dan etnografi, karena kriya lokal itu dapat mengungkapkan kosmologi atau filosofis etnis yang membuatnya.

Harmoni Dengan Alam
Masyarakat tradisional yang mengandalkan bahan lokal untuk membuat kerajinanan selalu melindungi lingkungan mereka. Kerusakan pada lingkungan setempat berarti akan menjadi jalan setapak menuju akhir seni kriya yang merupakan cerminan filosofis mereka.

Upaya perlindungan pada lingkungan diantaranya adalah menanam ulang tanaman sejenis yang baru ditebang, menjaga mata air dan menjaga kelangsungan hidup binatang yang ada di situ.

Selain karena kebutuhan materi, basis utama kesadaran menjaga lingkungan pada masyarakat tradisional adalah azas paganisme yang diyakini seperti kepercayaan bahwa seluruh isi semesta adalah suci dan harus dihormati.

Sebagai contoh, ketika anggota masyarakat pagan memerlukan kayu untuk mengganti tiang rumahnya yang lapuk, ia akan pergi ke hutan untuk mencari kayu. Ada keyakinan bahwa kayu di hutan itu yang kualitasnya baik serta kuat sebagai tiang rumah. Sebenarnya, ada makna ‘lain’ di luar nalar untuk memilih pohon tertentu disertai ritual tertentu pula.

Perlengkapan dapur tidak saja sebagai alat rumah tangga, tapi ia memiliki nilai seni yang tinggi. (Foto: KREDONEWS.COM/ Eko Wienarto)

Suku Kodi, Loura dan Wewewa yang mendiami Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), Nusa Tenggara Timur (NTT) menganggap kayu kedimbil (kayu pohon bayan) sebagai kayu yang baik dan kuat untuk tiang rumah.

Setelah mendapat petunjuk dari tetua desa, ia akan menuju hutan dan saat tiba di pintu hutan ia akan menyembelih ayam jantan dengan warna tertentu sebagai permohonan izin masuk hutan pada penguasa gaib hutan. Setelah menemukan kayu yang dikehendaki, sekali lagi ia menyembelih ayam jantan sebelum melakukan penebangan.

Kesulitan untuk mendapatkan kayu bahan tiang rumah ini membuat orang lokal menghargai kayu itu dengan tidak menyia-nyiakan sejengkal pun kayu itu. Sisa kayu untuk tiang rumah itu biasanya dipergunakan untuk membuat peralatan rumah tangga atau alat kerja.

Orang Jepang yang modern tetap memegang teguh tradisi Shinto dalam keseharian bisa menjadi contoh keteguhan mereka dalam menjaga harmoni dengan alam. Sesuatu yang tidak mudah untuk ditiru.

Pengaruh Shintoisme ini bahkan membuat mereka melakukan pembedaan kepada pohon yang tumbuh bebas di hutan dengan pohon yang ditanam di hutan industri.

Kayu dari pohon pinus liar yang tumbuh di hutan atas kemauan alam, bukan kemauan manusia dan selama ratusan tahun telah terbukti memenangkan pertempuran melawan waktu, layak mendapat respek yang lebih dibandingkan dengan kayu dari pohon yang ditumbuhkan di hutan industri.

Salah satu ujud dari respek mereka pada kayu pohon liar itu adalah tetap mempertahankan aura alamiahnya, sehingga ketika kayu itu sudah berada di dalam rumah keluarga, kayu hutan yang telah berubah menjadi meja kursi dan berbagai alat rumah tangga itu tetap memberikan aura alamiah yang menenangkan tanpa kehilangan estetika, fungsi dan keawetan.

Di beberapa tempat di Tokyo seperti Ueno atau di Meiji Jingu di Harajuku, pohon berusia lima ratus tahun dianggap masih muda. Karena kota metropolitan ini mempunyai pohon-pohon yang usianya di atas seribu tahun.

Kosmologi versus Komersialisasi
Semiotik pada kerajinan lokal adalah hal yang menarik, karena pemaknaannya berkaitan dengan kosmologi yang berbicara tentang asal-usul dan kemana mereka akan pergi setelah di dunia, hubungan manusia dengan alam sekaligus leluhur mereka.

Pemaknaan seperti ini sering menjadi hambatan kapasitas produksi kriya masyarakat tradisional. Seni kriya berbeda dengan kerajinan massal, sehingga produksinya terbatas dan membuat kriya lokal menjadi mahal karena tidak mudah diperoleh, apalagi bila hanya dapat ditemukan di kampung-kampung atau desa asalnya.

Para seniman yang belum tergugah oleh komersialisasi karyanya, hanya membuat dalam jumlah terbatas, namun juga sudah mulai ada seniman-seniman lokal yang memburu nilai ekonomi seni kriya mereka. Situasi ini membuat seni kriya tidak terstandar kualitasnya.

Seringkali produk kriya masih dibuat berdasarkan keperluan lokal dan belum disesuaikan untuk kepentingan komersial, seperti standar kualitas, standar ukuran dan pengemasan yang tidak dirancang untuk memudahkan pembeli membawanya.

Pertanyaanya, apakah kelemahan ini menjadi akhir dari perjalanan kriya lokal yang sarat dengan simbol kearifan lokal? Atau, kriya lokal harus berganti menjadi mode komersial yang pragmatis, tanpa kosmologi dan mereduksi filosofis lokal.

Tentu tidak

Alat pemecah biji kapas milik suku Toyota di Loura, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT) (Foto: KREDONEWS.COM/Eko Wienarto)

Mode yang diperlukan adalah mendekati dan merangkul orang muda lokal sebagai pemilik dan penjaga kelangsungan tradisi masyarakatnya.

Secara bertahap orang muda yang rata-rata lebih terbuka, inovatif, kreratif, komunikatif dan efisien serta menguasai tehnologi dapat diberi kepercayaan untuk mengisi dan memegang kepemimpinan lokal.

Alih keterampilan dan kepemimpinan secara lembut ini akan menjaga kriya lokal dari kungkungan kosmologi dan filsafat dogmatis namun tidak menjerumuskan seni kriya dalam komersialisasi yang justru merusak kriya dirinya dan alam.

*Eko Wienarto, wartawan KREDONEWS.COM, tinggal di Weelonda, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT)

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

SPMB 2025: Jarak Bukan Lagi Penentu Lolos Tidaknya, Tapi

11 Mei 2025 - 20:40 WIB

36 Biksu Tudhong Sampai di Candi Borobudur untuk Rayakan Waisak 2569 BE

11 Mei 2025 - 18:37 WIB

Artis Indonesia Cetak Rekor, Raup Royalti US$10 Miliar Sepanjang 2024

11 Mei 2025 - 18:12 WIB

Panglima TNI Perintahkan Pengamanan Ketat di Kejaksaan Seluruh Indonesia

11 Mei 2025 - 16:26 WIB

Kades Mojoduwur Nyaris Tertipu Jutaan Rupiah

11 Mei 2025 - 15:08 WIB

Sambut Hari Kemerdekaan, Desa Plumbongambang Jombang Akan Menggelar Pameran Manik-manik Nasional

11 Mei 2025 - 13:05 WIB

Dr Lee Woo Guan, Ahli Operasi Nyeri Lutut dan Pinggul dengan Minimal Invasif

11 Mei 2025 - 09:55 WIB

Perempuan Kelahiran Surabaya Ungkap Sosok Penting di Balik Video Viral Tren Kim Seon Ho Smile Challenge

10 Mei 2025 - 21:52 WIB

Zhang Ziyi Baik-baik Saja Setelah Kecelakaan Panggung di Huabiao Awards

10 Mei 2025 - 21:28 WIB

Trending di Life Style