KREDONEWS.COM, KARUING- Sungguh kesempatan langka, selama dua pekan berada di desa Karuing, Katingan, Kalteng, wartawan Kredonews.com, Gandhi Wasono, bersama ahli ekoswisata Nurdin Razak didampingi oleh Jeki, warga lokal yang telah terbiasa keluar masuk hutan Taman Nasional Sebangau. Sungguh menawan, oleh karena lokasi ini pernah menjadi tempat syuting film Anaconda II. Inilah catatan perjalanannya.
Sebagian besar matapencarian masyarakat desa Karuing adalah nelayan mencari ikan di sungai, sebagain lainnya bekerja di tambang emas ilegal yang banyak terdapat di sepanjang sungai. Soal ikan, sungai Katingan merupakan habitat ikan gabus, patin, udang juga beberapa jenis ikan tawar lainnya. Disana merupakan gudangnya protein yang sangat berguna bagi tubuh manusia.

Hasil tangkapan mereka, selain untuk dikonsumsi sendiri juga dijual kepada pengepul yang kemudian dikirim ke Kasongan (ibukota kabupaten Katingan) atau Palangkaraya (ibukota Provinsi Kalimantan Tengah). Saat-saat tertentu kadang ikan di sungai melimpah, sehingga sampai surplus akibatnya harga di pasaran merosot. Bagi orang penyuka ikan seperti saya Karuing adalah surga. Saban hari menu makanan yang disajikan oleh Mama Leha selalu ikan dengan berbagai macam olahan pula.
Dari Palangkaraya untuk menuju Karuing membutuhkan waktu sekitar 3-4 jam. Kondisi jalan cukup bagus, hanya kadang konstur jalannya naik turun karakter dari tanah gambut yang mudah amblas. Rutenya Palangkaraya menuju Kereng Pakahi dermaga perahu terlebih dahulu sejauh sekitar 150 km bisa dengan mobil atau motor. Selanjutnya dari Pakahi menuju Karuing dilanjut dengan naik ces sekitar 30 menit lamanya.

Hutan Sebangau menjadi tempat berkembangbiaknya jenis primata salah satu diantarnya bekantan. Termasuk endemik fauna yang hidup cukup banyak di dalam hutan Taman Nasional Sebangau. Foto: Gandhi Wasono
Kereng Pakahi adalah dermaga perahu yang setiap saat digunakan oleh masyarakat yang dari atau menuju desa yang berada di tepian sungai Katingan. Pakahi sendiri setiap hari minggu menjadi hari pasaran dimana masyarakat dari berbagai desa di sepanjang sungai datang berbelanja barang kebutuhan. Karena Karuing ada sawah untuk pasokan beras dan beberapa jenis sayur dan buah diperoleh dari luar daerah. Namun meski berdampingan dengan hutan lebat serta berada di tepian sungai namun suhu di Karuing cukup panas, karena posisinya masuk garis equator (sabuk bumi).
Selain suasana desa yang damai serta aktifitas sungai, Karuing memberi nuansa keindahan berbeda dengan kekayaan hutan nan eksositis. Hutan yang letaknya berada di punggung desa tepat bersebelahan dengan hutan wilayah taman nasional Sebangau. Untuk masuk ke hutan tersebut melewati sungai yang melintas di tengah-tengahnya. Tapi pada titik-titik tertentu bisa dengan trekking atau jalan kaki menembus hutan lebat.
Pada suatu siang menjelang sore, saya bersama Nurdin Razak diantar Mas Jeki, juru mudi ces sekaligus ketua penggiat wisata desa berkesempatan kesana. Mas Jeki mengantar masuk hutan melalui sungai untuk maping atau mencari tempat yang bisa dijadikan sebagai lokasi trekking wisatawan atau para photographer alam liar memotret satwa.
Begitu ces dari arah sungai Katingan mulai memasuki anak sungai sekitar 500 meter kemudian mesin ces dimatikan. Perahu dibiarkan melaju perlahan mengikuti aliran air sungai yang bergerak lambat. Untuk mengarahkan perahu Jeki pindah ke ujung perahu dan mengendalikan dengan bilah kayuh.
Makin masuk ke ke dalam suasana teduh, dan hening makin terasa. Yang terdengar hanya gemericik lembut air dari lambung perahu ditambah suara belalang serta celoteh berbagai jenis burung yang hinggap di dahan-dahan pohon. Di kanan kiri tumbuh pepohonan besar dan kecil dengan daun lebat.
Makin ke dalam air sungai yang semula berwarna coklat keruh, berganti berwarna coklat kehitaman jernih. Karena dipengaruhi tanin atau larutnya akar-akaran dan gambut. Lebar sungai pun juga tidak merata kadang melebar tapi kadang menyempit hanya selebar badan perahu saja.
Di kanan kiri sungai dipenuhi oleh tanaman air yang lalu lalang kadang menghalangi jalannya perahu. Karena itu ketika melintas harus waspada bukan akar yang lunak saja tapi kadang batang rotan berduri tajam menjulur mengalangi. Jika tersenggol oleh durit itu bisa melukai kulit.
Oleh karena itu, sambil perahu melaju, Mas Jeki di ujung depan perahu memanfaatkan parang terhunus menebasi ranting-ranting yang merintangi perahu. Jeki langsung menghentikan perahunya jika ada obyek foto bagus, entah burung atau satwa lainnya.
Sambil menikmati suasana hutan yang begitu eksotis oleh karena layak lokasi ini dijadikan tempat syuting film petualangan Anaconda 2 yang berjudul The Hunt of Blood Orchid yang dirilis tahun 2004. Karena film besutan sutradara Dwilight H. Little kebetulan syutingnya mengambil tempat di Taman Nasional Sebangau, yang tidak jauh dari saya berada.
Film petualangan yang dibalut dengan kisah horor yang dibintangi oleh Johnny Mesner, KaDdee Strickland dan Eugene Byrd, berkisah tentang sekelompok ilmuwan yang menjelajah hutan Kalimantan untuk mencari anggrek darah untuk kepentingan riset ilmu pengetahuan.
Namun, saat melakukan pencarian bunga anggrek misterius para kelompok ilmuwan yang melintas sungai tersebut bertemu dengan anaconda atau seekor ular raksasa yang sangat ganas. Meski film tersebut adalah fiksi, karena di Kalimantan tidak ada ular anaconda, tetapi tetap saja menarik dan mendebarkan. **