Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Sultan Agung adalah raja Mataram yang terkenal dengan ambisinya untuk menguasai seluruh Pulau Jawa.

Salah satu targetnya adalah Batavia, kota dagang yang dikuasai oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Kompeni Belanda.
Sultan Agung menyerang Batavia sebanyak dua kali, pada tahun 1628 dan 1629, namun gagal merebut kota itu dari tangan musuhnya.
Paling pahit kekalahan prajurit Mataram yang berada di bawah komando Tumenggung Bahureksa dan Ki Mandurareja terjadi pada serangan pertama. Walau dalam posisi bertahan, Belanda tak sengaja menggunakan amunisi rahasia, yakni kotoran manusia atau tinja. Lantas, Prajurit Mataram mengenang peristiwa itu dengan menjuluki “Batavia sebagai Kota Tahi.”
Salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan serangan Mataram adalah strategi tinja yang diterapkan oleh Kompeni untuk mempertahankan benteng-bentengnya.
Mataram yang berjumlah puluhan ribu orang di bawah komando Tumenggung Bahureksa dan Ki Mandurareja mencoba mendekati benteng-benteng Belanda yang tersebar di sekitar Batavia.
Salah satu benteng yang menjadi sasaran utama adalah Redoute Hollandia, sebuah bastion dengan bangunan pertahanan kecil yang berbentuk menara.
Redoute Hollandia dijaga oleh Sersan Hans Madelijn bersama 24 serdadunya, yang hanya didukung oleh dua meriam.
Mereka harus bertahan dari serangan pengepung yang membawa tangga-tangga dan alat-alat pelantak untuk memanjat kubu atau menghancurkan tembok-tembok. Selama sebulan penuh, mereka memberikan perlawanan yang gigih, meskipun kekurangan amunisi dan bahan makanan.
Pada malam 21 dan 22 September 1628, pertempuran mencapai puncaknya. Pasukan Mataram melancarkan serangan hebat ke Redoute Hollandia, berharap dapat merebutnya sebelum bala bantuan datang dari benteng lain.
Namun, mereka mendapat kejutan yang tidak menyenangkan. Para garnisun Belanda ternyata menggunakan tinja sebagai senjata terakhir mereka.
Dalam situasi genting tersebut, Sersan Hans Madelijn kelahiran Pfalz (Jerman) mendapatkan siasat yang licik. Madelijn yang kala itu masih berusia 23 tahun langsung menyelinap ke ruang serdadu dan meminta anak buahnya membawa sekeranjang penuh tinja ke arena pertempuan.
Dengan segala rasa putus asa, Madelijn lalu memerintahkan anak buahnya untuk melempar tinja tersebut ke tubuh-tubuh prajurit Mataram yang sedang meradang dan merayapi dinding Hollandia. Ketika dihantam dengan peluru jenis bau ini, prajurit Mataram lari sambil berteriak dengan marah:
“O, seytang orang Hollanda de bakkalay samma tay!”—O, setan orang Belanda berkelahi sama tahi—demikian ucap prajurit Mataram dalam bahasa Melayu. Menariknya, bahasa tersebut menjadi bahasa Melayu pertama yang tercatat dalam buku berbahasa Jerman tentang Jakarta.
berkat serangan tinja, Prajurit Mataram mundur ke kemah mereka di pedalaman Batavia. Pun, hal itu semakin menambah catatan kekalahan serangan pertama Mataram ke Batavia. Lantaran pasukan Kompeni memiliki cara bertahan yang tak biasa. Pada akhirnya, prajurit Mataram lalu menjuluki Benteng Hollandia sebagai “Kota Tahi” yang lama-kelamaan merembet menjadi Batavia Kota Tahi.
Menurut Johan Neuhof, seorang Jerman yang menerjemahkan sebuah buku berbahasa Belanda tentang peristiwa itu, para garnisun Belanda melemparkan tinja ke arah pasukan Mataram dengan menggunakan meriam atau sekop.
Tinja itu berasal dari lubang-lubang pembuangan di dalam benteng, yang sudah menumpuk selama beberapa minggu.
Efek dari strategi tinja ini sangat mengerikan. Pasukan Mataram yang terkena tinja menjadi jijik dan muak, sehingga kehilangan semangat bertempur.
Selain itu, tinja juga menimbulkan bau busuk dan penyakit di antara pasukan Mataram. Banyak prajurit Mataram yang menderita disentri atau kolera akibat terpapar tinja.
Akhirnya, pasukan Mataram mundur dengan keadaan kocar-kacir. Mereka meninggalkan banyak korban jiwa dan luka-luka di medan perang.
Sementara itu, para garnisun Belanda berhasil bertahan hidup sampai bala bantuan datang dari Kastil Batavia. Mereka mendapat pujian dari Gubernur Jenderal VOC saat itu, Jan Pieterszoon Coen, atas keberanian dan ketabahan mereka.
Lantaran lawan memiliki cara bertahan yang tak biasa, prajurit Mataram pernah menjuluki Redoute Hollandia itu sebagai “Kota Tahi”. Kelak, orang Jawa mencatat ada dua kota di Batavia, Kota Intan dan Kota Tahi.***