Penulis: Jayadi | Editor: Aditya Prayoga
SURABAYA, KREDONEWS.COM-
Jakob Tobing, Ph.D., Ketua Panitia Ad Hoc (PAH) dan Badan Pekerja MPR RI periode 1999–2004, mengisahkan dinamika pembahasan amandemen UUD 1945, khususnya terkait penentuan sistem pemilihan umum.
Penjelasan tersebut disampaikan dalam kanal YouTube Tata Negara FHUI yang diunggah 10 bulan lalu.
Menurut Jakob, sejak awal pembahasan sudah muncul kesadaran bahwa rakyat harus memiliki hak untuk memilih wakilnya, baik secara langsung maupun melalui partai politik.
Ia menilai keberagaman suku, agama, serta kepentingan di Indonesia menjadi potensi besar yang perlu disalurkan melalui partai politik agar bisa dikomunikasikan kepada rakyat.
Namun, Jakob mengingatkan bahwa UUD 1945 asli sebenarnya tidak mengenal Pemilu. Ia menyinggung pandangan Supomo, yang menolak konsep pemilu dengan alasan jumlah orang bodoh dianggap lebih banyak daripada orang pintar, serta jumlah orang jahat lebih besar daripada orang baik.
“Dianggap kebodohan karena apa? Karena jumlah orang bodoh lebih banyak daripada orang pintar.” terang Jacob
Sehingga kalau dihitung jumlahnya maka orang bodoh menang. “Jadi kalau hanya dihitung jumlahnya kan sama-sama orang bodoh semua itu,” imbuhnya.
Demikian juga jumlah orang jahat juga lebih banyak dari orang baik jadi, hal ini juga sejalan dengan pandangan filsuf politik Eropa, Jean Bodin, yang pernah menyatakan kekhawatiran serupa.
“Jadi bukan karena lupa, memang secara konsepsional tidak ada Pemilu, tidak ada partai, bahkan HAM pun tidak diatur di dalam UUD 1945,” Tegas Jakob.
Ia menambahkan bahwa Pemilu pada masa Orde Baru sebetulnya hanya “rekayasa” karena tidak memiliki dasar hukum konstitusional.
Setelah reformasi, Pemilu kemudian menjadi bagian penting dari konstitusi hasil amandemen.
Jakob, yang juga pernah menjabat Ketua Panitia Pemilu 1999, menyaksikan langsung antusiasme rakyat mengikuti pemilihan tersebut.
Ia menegaskan, Pemilu yang diatur dalam UUD hasil amandemen mencakup pemilihan presiden, DPR, DPD, hingga DPRD. Sementara pemilihan kepala daerah baru ditambahkan kemudian.
Menurutnya, Pemilu di Indonesia menegaskan partai politik sebagai peserta utama. Hal itu karena partai dianggap sebagai wadah aliran pemikiran dan pandangan yang muncul dari keberagaman masyarakat, bukan sekadar kepentingan pribadi.
Jakob menekankan bahwa Pemilu seharusnya menjadi arena pertukaran gagasan dan persaingan konsep, bukan sarana perebutan kepentingan sempit.
“Mudah-mudahan Pemilu nanti tetap lebih mengetengahkan konsep-konsep, bukan kepentingan-kepentingan pribadi,” ujarnya.
Dengan refleksi tersebut, Jakob Tobing menegaskan pentingnya terus memperbaiki sistem demokrasi Indonesia agar Pemilu benar-benar menjadi ruang bagi rakyat dalam menyalurkan aspirasi dan membangun kehidupan bernegara yang lebih baik.****