Oleh Dr. Gregg Roman*
Setiap orang yang memiliki hati nurani mengelu-elukan pengumuman dari Presiden AS, Donald Trump. Setelah lebih dari dua tahun menderita, keluarga-keluarga Israel akhirnya bakal memeluk orang-orang terkasih mereka. Anak-anak akan melihat ayah mereka; orangtua akan menggendong anak-anak mereka dan pasangan akan dipersatukan kembali. Ini momen kebahagiaan murni yang bergema di seluruh dunia bebas. Mereka yang berdoa untuk hari ini, menuntut hari ini, kini menyaksikannya.
Kepada keluarga-keluarga yang berkemah di luar kediaman resmi Perdana Menteri Israel mimpi buruk mereka sudah berakhir. Unjukrasa yang mereka lakukan setiap Sabtu malam dan hidup dalam keadaan mati suri sejak 7 Oktober berbayar. Kekuatan jiwa mereka telah berhasil memindahkan gunung. Seluruh bangsa Israel berdiri bersama mereka saat mereka bersiap menyambut orang-orang terkasih mereka pulang. Tak seorang pun, benar-benar tak seorang pun, mempertanyakan keharusan untuk membawa mereka kembali.
Namun, ketika dunia mengelu-elukan peristiwa kemanusiaan bersejarah ini, kita harus bertanya: berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk perhelatan kemanusiaan ini? Dan yang lebih penting: apa yang akan terjadi selanjutnya?
Aritmatika pertukaran ini seharusnya membuat semua orang merenung. Israel akan membebaskan lebih dari 1.700 tahanan Palestina. Termasuk pembebasan 250 tahanan yang menjalani hukuman seumur hidup atas aksi terorisme yang paling keji. Mereka bukanlah pelempar batu atau pengunjukrasa. Mereka adalah para arsitek pembantaian Masa Paskah di Park Hotel, para perencana pengeboman restoran pizza Sbarro, para dalang serangan yang mengubah bus-bus sekolah menjadi TKP. Tangan mereka masing-masing berlumuran darah dengan keahlian licik dalam benak.
Hamas menukar 48 sandera Israel—20 hidup dan 28 tewas—dengan 1.700 operator terror berpengalaman. Hasil pertukaran ini justru menggandakan kekuatan besar-besaran yang bakal mengubah kekalahan taktisnya menjadi kemenangan strategis. Setiap tahanan yang dibebaskan kembali ke Gaza atau Tepi Barat sebagai pahlawan, simbol perlawanan berkat pelatihan tambahan selama bertahun-tahun dengan semangat baru membara.
Sejarah memberikan pratinjau suram tentang apa yang terjadi selanjutnya. Yahya Sinwar, arsitek 7 Oktober, menghabiskan 22 tahun di penjara Israel. Di sana, dia mempelajari bahasa Ibrani, menganalisis masyarakat Israel, dan merencanakan balas dendam. Dia dibebaskan dalam kesepakatan Shalit tahun 2011 bersama 1.026 tahanan lainnya lalu menggunakan kebebasannya untuk merancang hari paling mematikan dalam sejarah Israel. Hari ini, Israel membebaskan generasi Sinwar potensial lainnya.
Kerangka kerja kesepakatan itu berbicara optimistis tentang Hamas yang setuju melucuti senjata, meninggalkan Gaza, dan menerima koeksistensi damai. Namun Hamas tidak berkomitmen untuk semua ini. Mereka hanya menyetujui Fase 1, yaitu pertukaran sandera yang memperkuat posisi mereka. Poin 2-20 dari rencana Trump tetap aspiratif, bergantung pada kepatuhan sukarela Hamas terhadap tuntutan yang belum pernah diterima oleh gerakan genosida mana pun tanpa kekalahan militer.
Yang lebih meresahkan adalah siapa menjamin pengaturan ini. Turki secara terbuka menjadi tuan rumah bagi para pemimpin Hamas di Istanbul, menyediakan tempat perlindungan untuk merencanakan teror. Qatar bertahun-tahun menyalurkan miliaran dolar kepada Hamas, menjaga infrastruktur teror di bawah perlindungan kemanusiaan. Mereka bukan perantara perdamaian yang netral. Mereka penyelamat Hamas. Mereka memastikan organisasi tersebut bertahan dari perang ini secara utuh.
Kehadiran mereka mengungkapkan konsekuensi sebenarnya dari kesepakatan itu. Bukan eliminasi Hamas, tetapi melestarikannya. Turki ingin Hamas tetap hidup sebagai daya ungkit politik regional. Miliaran dolar Qatar tidak berhenti; Dana itu hanya dianggap sebagai “bantuan rekonstruksi” sementara untuk membangun kembali jaringan terowongan yang sama yang baru saja dihancurkan Israel.
Selain itu, mereka menuntut AS untuk memberikan jaminan keamanan yang mencegah Israel kembali ke Gaza untuk menyelesaikan tugasnya.
Pasukan Penjaga Perdamaian Internasional yang diusulkan menjanjikan keberhasilan walau setiap misi sebelumnya gagal. Kapankah pasukan internasional benar-benar menghadapi Hamas? Pasukan Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Lebanon menyaksikan Hizbullah mempersenjatai diri. Pasukan PBB di Suriah mengamati sementara pasukan jihad membangun pangkalan. Pasukan ini mau tidak mau hanya pengamat pasif, yang mendokumentasikan pelanggaran sementara kelompok teror mempersenjatai diri di bawah pengawasan mereka.
Sejarah mengajarkan bahwa gerakan ideologis yang berkomitmen pada genosida tidak bernegosiasi untuk menghilangkan keberadaan mereka. Sekutu tidak menawarkan rencana perdamaian dua puluh poin kepada Nazi Jerman dengan harapan SS melucuti senjata secara sukarela. Mereka menuntut penyerahan tanpa syarat, menghancurkan kemampuan militer Nazi, dan membangun kembali dari awal. Apalagi, piagam Hamas menyerukan Israel dimusnahkan dan para pemimpinnya berjanji untuk mengulangi tragedi 7 Oktober 2023 “berulang kali,” menuntut perlakuan yang sama.
Jadi ya, biarlah dunia merayakan kepulangan para sandera kali ini. Biarlah Israel merangkul mereka, menyembuhkan diri bersama mereka, menghormati kelangsungan hidup mereka. Namun, jangan sampai ada yang salah mengartikan keberhasilan taktis ini sebagai kemenangan strategis.
Israel membeli bantuan hari ini dengan keamanan masa depannya sendiri. Ia menyelamatkan sandera saat ini sekaligus menciptakan kondisi bagi sandera di masa mendatang.
Keluarga-keluarga sandera Israel yang menunggu di perbatasan berhak atas reuni. Namun, keluarga-keluarga lain—yang belum terbentuk, anak-anak yang belum lahir—berhak mendapatkan lebih dari sekadar menjadi sandera generasi berikutnya. Mereka berhak atas perdamaian abadi yang hanya datang melalui kekalahan Hamas sepenuhnya.
Para sandera Israel telah pulang ke rumah. Dunia pun bersukacita. Namun, hingga Hamas disingkirkan sebagai kekuatan militer dan politik, maka kita sebetulnya hanya berhenti sejenak di antara tragedi-tragedi. Pertanyaannya bukanlah apakah Israel harus memulangkan rakyatnya—tentu saja harus. Pertanyaannya adalah: akankah komunitas internasional belajar dari sejarah, atau mengutuk Israel untuk mengulanginya?
Hari ini pantas dirayakan, dielu-elukan. Esok harus membawa tekad untuk menyelesaikan apa yang dimulai pada 7 Oktober 2023. Bukan dengan negosiasi. Melainkan dengan kemenangan. Apa pun yang kurang dari peristiwa yang kita saksikan itu menjamin bahwa kegembiraan hari ini akan menjadi duka esok.
- Gregg Roman adalah Direktur Eksekutif Middle East Forum, AS. Ia dianggap sebagai satu dari 10 pemimpin muda Yahudi yang memberikan inspirasi kepada masyarakat. Pernah ia menjadi penasehat politik Wakil Menlu Israel dan bekerja untuk Kementerian Pertahanan Israel. Selain berbicara dalam berbagai saluran televisi, tulisannya bermunculan dalam berbagai media papan atas dunia. Jacobus E. Lato.