Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) IX adalah Sultan Yogyakarta kesembilan yang berperan besar dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Sri Sultan HB IX lahir di Ngasem, Yogyakarta, pada 12 April 1912 dengan nama asli Gusti Raden Mas Dorodjatun.

Saat Belanda kembali menyerang Tanah Air pasca kemerdekaan, kondisi ekonomi negara pada saat itu masuk dalam kategori lemah. Mulai dari kas kosong hingga pertanian dan industri rusak akibat perang.
Di tengah kondisi itu, Sultan BH IX memberikan sumbangsih besar terhadap negara. Ia mempersilakan Ibu Kota negara pindah sementara ke daerah Yogyakarta. Selain itu, ia juga menanggung segala urusan pendanaan pemerintahan.
Dikutip dari akun Youtube Monday TV, 29 Maret 2022, beberapa sumber harta yang diberikan Sultan HB IX kepada Negara sebesar 6,5 juta Gulden, dengan jumlah yang terhitung besar, namun Sultan HB IX tidak pernah perhitungan atau mengingat-ingat biaya yang ia berikan.
Ada kisah menyebutkan, saat itu Soekarno menyuruh stafnya untuk menyiapkan kuitansi sebagai tanda utang, tetapi Sri Sultan HB IX menolak. Dengan modal tersebut, Soekarno-Hatta sukses menjalankan roda pemerintahannya, terus hidup, tumbuh dan semakin kuat. Sampai sekarang. Hal itu dikutip dari jogjaprov.go.id, dengan judul “4 Januari, Heroiknya Jogja Selamatkan Indonesia”.
Selain itu, Sultan HB IX juga memberikan amanat kepada penerusnya untuk tidak membahas atau menghitung-hitung, apalagi meminta kembali harta keraton yang sudah ia berikan kepada Negara.
Pada saat Soekarno-Hatta beserta seluruh jajaran Kabinet RI akan kembali ke Jakarta pada 1949, Sultan HB IX menyampaikan pesan perpisahan yang mengandung haru. Ia mengatakan Yogyakarta sudah tidak memiliki apa-apa lagi, kemudian mempersilakan Soekarno-Hatta beserta seluruh jajaran Kabinet RI untuk melanjutkan pemerintahan RI di Jakarta.
“Yogyakarta sudah tidak punya apa-apa lagi. Silakan lanjutkan pemerintahan ini di Jakarta,” tutur Oetarjo menirukan ungkapan HB IX sambil mengeluarkan cek senilai 6 juta gulden dengan berurai air mata di hadapan Ir Soekarno dan menteri-menterinya.
Prof Oetarjo, sejarawan dan guru besar UGM, mengingat momen itu dan mengatakan air matanya jatuh tak terelakkan ketika mengingat ucapan Sultan Hamengku Buwono (HB) IX kepada Ir Soekarno saat memberikan kata perpisahan kembalinya Jakarta menjadi pusat pemerintahan pada 1949.
Tidak hanya Sultan HB IX yang menangis, katanya. Waktu itu pun para menteri kabinet Soekarno ikut menangis. Momen itulah yang membuat dirinya selalu tidak kuasa untuk meneteskan air mata ketika mengingatnya.
“HB IX adalah sosok yang all out dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan republik ini.”
Oetarjo menambahkan, Sultan dan rakyat Yogyakarta memiliki andil besar dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. “Sultan dan rakyat bersatu tanpa pamrih memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan,” ujarnya sambil menyeka air mata.
Mengungsi ke Yogyakarta
Belanda rupanya tidak ingin melepaskan Indonesia begitu saja, baik secara diplomatik maupun militer. Berbagai macam teror ditebar. Bahkan ada pula upaya penculikan Presiden Soekarno beserta pejabat negara lainnya. Pemerintah di Jakarta tercekik oleh ulah Belanda.
Tiba-tiba dari Jogja datang kabar gembira. Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, menawarkan diri menjadi ibukota. Tanpa pikir panjang karena memang tidak banyak pilihan, Soekarno-Hatta setuju.
”Kami setuju (pindah) ke Jogja,” begitu kira-kira respon Soekarno-Hatta, kala itu.
Maka disusunlah skenario untuk mengungsikan jajaran pemerintahan RI ke Jogja. Taktik pun disusun. Mengingat seluruh penjuru telah diawasi ketat oleh Belanda dan sekutunya, cara yang paling aman yaitu mengunakan kereta.
Tanggal 3 Januari 1946 jelang tengah malam, rombongan bergerilya melakukan berbagai cara agar kereta dapat berangkat dengan aman ke Jogja. Tanggal 4 Januari 1946 kereta dengan selamat tiba di Stasiun Tugu disambut Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII, Panglima TKR Jenderal Soedirman dan pejabat lain beserta rakyat. Rombongan bergerak menuju Gedung Agung.
Yogyakarta terbukti menjadi tempat yang sangat strategis untuk terus menggerakkan roda pemerintahan Republik Indonesia. Tidak berlebihan, karena Yogyakarta saat itu memang satu-satunya kota dengan tata pemerintahan yang terkoordinasi baik dan tertata rapi.
Posisi Sultan Hamengkubuwono saat itu sangat kuat, maka Belanda tak pernah mengutak-atik dan mengganggu sultan. Bahkan pasca-perundingan Renville dan Agresi Militer ke-2, saat Belanda mengasingkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir ke Pulau Bangka, Sultan tetap berada di Yogyakarta. Pemerintah Belanda saat itu sangat menghormati kekuatan dan pengaruh Sultan.
Tak aneh kalau Soekarno pernah berkata, lantang, ”Djogjakarta termasyhur karena jiwa-jiwa kemerdekaannya, hidupkanlah terus jiwa-jiwa kemerdekaan itu!”.
Perlu diketahui, Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah seorang tentara yang berdinas sebagai prajurit TNI AD dan berpangkat Letnan Jenderal.
Sebagai prajurit TNI, jenderal bernama lengkap Gusti Raden Mas Dorodjatun Hamengkubuwono IX yang terlahir pada 12 April 1912 itu pernah berjibaku berjuang mempertahankan kemerdekaan di masa-masa sulit setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
Sejumlah pertempuran yang pernah dilakoni sang tentara yang berdinas pada 1945-1953 itu antara lain, memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949, Revolusi Nasional Indonesia, Agresi Militer Belanda II serta Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil. Kesemuanya dihadapi dengan kemenangan dan tercatat dalam catatan sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Sultan pun pernah ditunjuk Presiden Soekarno saat itu untuk menjadi penjamin keamanan bagi tentara Belanda yang sedang memindahkan pasukannya dari Yogyakarta atas kesepakatan yang diperoleh dari Perjanjian Roem Royen.
Kian terdesak pada 27 Desember 1949, Belanda lalu menyerahkan kedaulatan di Istana Merdeka Jakarta yang saat itu adalah Istana Rijkswik. Pada saat sama, juga dilakukan penyerahan kedaulatan dari Wakil Tinggi Mahkota Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) dan diterima Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai wakil Pemerintahan RIS kala itu.***