KREDONEWS.COM, TOKYO– Pemerintah Jepang berani mengambil risiko untuk menjawab persoalan krisis bayi di negerinya. Bahkan Tokyo menantang norma-norma budayanya dan menjadi berita utama di seluruh dunia dengan keputusannya untuk menerapkan 4 hari kerja dalam seminggu.
Kebijaksanaan ini bukan hanya tentang memodernisasi budaya kerja, tetapi memecahkan dua masalah besar sekaligus, bahwa anjloknya angka kelahiran dan dinamika keluarga yang tegang di Jepang.
Jepang telah lama terkenal dengan budaya kerjanya yang intens, dengan karyawan yang secara rutin bekerja selama berjam-jam yang melelahkan. Kesibukan yang tiada henti ini telah berdampak pada hubungan, kesehatan mental, dan bahkan pertumbuhan populasi negara.
Rencana berani Tokyo bertujuan untuk membalikkan keadaan. Dengan memberikan pekerja satu hari libur ekstra, pemerintah berharap dapat mendorong keseimbangan kehidupan kerja yang lebih baik, memberikan lebih banyak waktu bagi keluarga untuk terhubung, menghabiskan waktu berkualitas bersama, dan bahkan mendorong keputusan untuk memiliki anak.
Ini bukan hanya teori. Studi global telah membuktikan bahwa jam kerja yang lebih pendek dapat meningkatkan produktivitas, mengurangi kelelahan, dan membuat karyawan lebih bahagia.
Sebagai contoh, di negara Islandia menghasilkan kesuksesan luar biasa, dengan 86% pekerja dan perusahaan menjadikan 4 hari kerja dalam seminggu menjadi permanen.
Tokyo mengambil inspirasi dari kisah-kisah sukses ini, namun dengan sentuhan khas Jepang: memperkuat tatanan sosial dan membalikkan angka kelahiran yang menurun.
Para kritikus berpendapat bahwa kebijakan ini saja tidak akan cukup untuk mengatasi tantangan yang sudah mengakar di masyarakat Jepang yang semakin menua. Namun, para pendukungnya berpendapat bahwa ini adalah percikan yang dibutuhkan untuk memicu perubahan budaya.
Perusahaan-perusahaan yang menerapkan perubahan ini telah melaporkan peningkatan semangat kerja, tingkat retensi yang lebih tinggi, dan kepuasan karyawan yang lebih besar.
Pertaruhan Tokyo dapat mendefinisikan kembali apa artinya bekerja di abad ke-21-bukan hanya untuk Jepang, tetapi juga untuk dunia. Mungkinkah ini merupakan cetak biru untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan kebahagiaan manusia? Hanya waktu yang bisa menjawabnya, tetapi revolusi ini sudah dimulai.**