
Foto-foto sandera yang diambil oleh Hamas pada 7 Oktober 2023 dipajang di Tel Aviv. Tujuh warga Amerika termasuk di antara mereka yang masih disandera.
Terjemahan dari artikel asli: The Ghost of Gaza: How Hamas Survived
Oleh Gregg Roman*
Gencatan senjata 10 Oktober 2025 merupakan titik penting dalam perang terpanjang Israel. Perjanjian ini memberikan manfaat langsung sekaligus nyata. Para sandera dipulangkan, bantuan kemanusiaan diberikan, tekanan internasional berkurang dan operasi militer ditangguhkan.
Semua itu memungkinkan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menyusun kembali kekuatan sekaligus bersiap diri menghadapi kemungkinan-kemungkinan masa mendatang.
Keuntungan-keuntungan ini penting bagi Israel. Tidak boleh diabaikan. Memulangkan satu sandera hidup-hidup saja sudah cukup untuk membenarkan biaya besar yang dikeluarkannya.
Dengan memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga Gaza, Israel melayani kepentingan moral dan kepentingan strategisnya. Soalnya, dia jelas memperlihatkan komitmennya untuk meminimalkan penderitaan warga sipil sekaligus menyasar teroris Hamas.
Persoalannya, arah strategis gencatan senjata ini justru mengarah pada konflik baru. Alih-alih mencapai perdamaian berkelanjutan. Berbagai kontradiksi fundamental perjanjian itu sendiri tidak dapat diselesaikan melalui negosiasi karena mereka mencerminkan posisi-posisi yang sungguh tidak dapat didamaikan.
Gencatan senjata pada dasarnya mempersyaratkan Hamas harus melucuti senjata, tidak terlibat dalam pemerintahan transisi, menarik pasukannya dan bergantung pada keamanan yang tidak akan ada sementara aspirasinya untuk membentuk negara tidak sesuai dengan kebijakan Israel.
Bukannya mentaati persyaratan-persyaratannya, Hamas malah bertahan walau kondisi militer merosot dengan mengandalkan organisasinya yang tetap utuh.
Ideologinya yang menekankan Israel mungkin bisa dan wajib dihancurkan tetap tidak berubah. Kepemimpinan eksternalnya terus beroperasi dari Doha. Para komandan militernya di Gaza masih selamat. Meski rusak, infrastruktur kelembagaannya, tetap mempertahankan kapasitas untuk rekonstruksi.
Pilihan strategis Israel semakin jelas dalam negosiasi Tahap Dua. Sebuah langkah Tahap Dua ini memaksa Israel untuk menerima sebagian hasil gencatan senjata. Menerima kenyataan bahwa Hamas menyerahkan sebagian besar senjata meski tidak semua, Israel harus menarik diri dari sebagian besar wilayah Gaza, tetapi tidak semua, transisi pemerintahan dijalankan di sebagian wilayah Gaza sementara Hamas mempertahankan pengaruh informalnya walau keinginan untuk memiliki negara tetap sebuah kemungkinan yang samar-samar.
Langkah ini sekaligus mempertahankan gencatan senjata, memuaskan opini internasional dan memberikan ruang bernapas yang memastikan Hamas terus hidup sehingga kembali terlibat dalam konflik ketika kemampuan militernya pulih.
Jalan lain dari negosiasi Tahap Dua memaksakan implementasi penuh semua ketentuannya. Khususnya soal pelucutan senjata secara total, penarikan penuh pasukan setelah diverifikasi, mengeluarkan Hamas secara mutlak dari pemerintahan, dan penolakan eksplisit status kenegaraan bagi entitas teroris.
Persoalannya, langkah ini kemungkinan besar menggagalkan negosiasi, memicu kembalinya operasi militer, dan membuat dunia internasional kembali melancarkan kritiknya. Namun, jalur ini berpotensi menyelesaikan misi kekalahan permanen Hamas.
Pilihannya kini bukanlah soal antara kemenangan dan kompromi, melainkan antara tindakan tegas dan pergeseran strategis.
Pemerintah Sri Lanka misalnya menghadapi pilihan serupa pada tahun 2009: menerima kesepakatan pembagian kekuasaan dengan Macan Tamil, sehingga mempertahankan kemampuan mereka, atau menyelesaikan operasi militer dengan menghancurkan mereka sepenuhnya meskipun ada tekanan internasional. Sri Lanka memilih melakukan Langkah penyelesaian. Kini, Macan Tamil tidak ada.
Peru menghadapi pilihan serupa dengan Shining Path: menegosiasikan pembagian kekuasaan atau merebut kepemimpinan mereka dan menghancurkan gerakan tersebut. Peru memilih untuk menangkap para pemimpinnya. Saat ini, Shining Path adalah kenangan sejarah.
Nazi Jerman dan Kekaisaran Jepang tidak dinegosiasikan untuk mencapai moderasi, tetapi dihancurkan sepenuhnya dengan masyarakat yang direformasi yang dibangun kembali dari awal.
Contoh-contoh historis ini berhasil bukan berkat kecanggihan diplomatik, tetapi melalui komitmen berkelanjutan untuk mencapai kemenangan sejati tanpa mempedulikan biayanya.
Gencatan senjata saat ini memberi Israel kesempatan untuk mempersiapkan diri jika negosiasi Tahap Dua gagal. Caranya dengan memperkuat pemerintahan koalisinya, mengamankan dukungan internasional untuk potensi dimulainya kembali operasi, menjaga kesiapan militer, dan mengembangkan struktur pemerintahan alternatif untuk Gaza yang tidak bergantung pada kemampuan Otoritas Palestina.
Jika negosiasi Fase Dua secara mengejutkan berhasil memaksa Hamas untuk melucuti senjata sepenuhnya dan keluar permanen dari pemerintahan, Israel harus menerima hasil tersebut sambil mempertahankan mekanisme verifikasi untuk mencegah kekuatan Hamas dipulihkan secara diam-diam.
Jika Fase Dua gagal seperti diperkirakan, Israel harus siap menyelesaikan operasi secara tegas daripada menerima gencatan senjata lain ketika posisi Hamas lemah.
Pelajaran mendasar dari 7 Oktober adalah bahwa pencegahan yang didasarkan pada saling pengertian gagal terhadap lawan yang berideologikan tuntutan agar Israel dihancurkan tanpa mempedulikan biayanya.
Dua tahun sejak 7 Oktober 2023 menunjukkan kerentanan Hamas terhadap tekanan militer yang berkelanjutan. Kepemimpinannya disingkirkan, kemampuan militer menurun, kendali teritorial berkurang, sumberdaya keuangan terkuras, dan jaringan dukungan internasional terganggu. Organisasi tersebut bertahan hidup, walau nyaris tidak mampu. Mungkin butuh waktu satu tahun operasi lagi untuk menghancurkannya. Dalam arti semua potensi militer dan kekuasaannya dihancurkan total. Mulai dari penghancuran terowongan, menyingkirkan sisa kepemimpinannya, membongkar kelembagaan, dan menggantikan lembaga pemerintahannya.
Cara itu tentu saja membutuhkan biaya: ada korban tambahan dari IDF, kritik internasional terus berlanjut, komitmen militer yang berkepanjangan, dan tekanan politik domestik.
Jadi, Israel tidak punya pilihan. Langkah alternatifnya justru membuat Hamas terus hidup sehingga diperlukan pengaturan politis-diplomatik yang mencegah organisasi itu kembali bangkit. Jika tidak, Israel justru bisa dikatakan menjamin konflik yang berpotensi kurang menguntungkannya pada masa datang dibandingkan dengan saat ini.
Pelajaran mendasar dari 7 Oktober adalah bahwa pencegahan yang didasarkan pada saling pengertian gagal terhadap lawan yang ideologinya menuntut penghancuran Israel tanpa mempedulikan biayanya.
Hamas melancarakan serangan yang secara militer dianggap irasional. Serangan itu memastikan Israel menanggapinya dengan menghancurkannya tanpa pemikiran realistis untuk menuju kemenangan strategis. Bagaimanapun, Hamas tetap melakukannya karena ideologinya membuatnya mengabaikan perhitungan rasional.
Keyakinan bahwa setelah mengalami bahwa militer Israel jauh lebih kuat, Hamas akan menerima koeksistensi damai melalui pembentukan (arrangements) pemerintahan teknokratis itu, keliru. Pemikiran ini identik dengan mengartikan pragmatisme taktis sebagai kekalahan strategis. Musuh yang benar-benar kalah tidak boleh menegosiasikan persyaratan. Mereka harus menyerah tanpa syarat atau lenyap.
Israel harus memutuskan: menerima manfaat langsung dari gencatan senjata dan mengakui bahwa gencatan senjata kemungkinan besar akan melestarikan konflik, bukan menyelesaikan konflik yang mendasarinya.
Atau Israel menggunakan negosiasi Fase Dua untuk bersikeras bahwa Hamas sudah sepenuhnya kalah dengan memahami bahwa hal ini mungkin memerlukan operasi militernya dilanjutkan.
Kedua jalur tersebut mengandung risiko besar. Namun, pilihan yang salah adalah meyakini kompromi yang dinegosiasikan dapat menjembatani kesenjangan antara keberadaan Israel dan ideologi Hamas yang menuntut penghancuran Israel.
Beberapa konflik berakhir melalui kompromi. Tetapi konflik lain berakhir berkat kemenangan. Peristiwa 7 Oktober 2023 menunjukkan dalam kategori mana konflik ini berada. Pertanyaannya, apakah Israel memiliki strategi yang jelas dan kemauan politik untuk bertindak sesuai dengannya.
Para sandera akan pulang. Gaza akan dibangun kembali. Gencatan senjata akan berlaku sementara.
Negosiasi Tahap Dua akan dimulai dengan keseriusan diplomatik yang sesuai. Dan pada suatu titik—berminggu-minggu, berbulan-bulan, mungkin setahun dari sekarang—kontradiksi mendasar yang tertanam dalam perjanjian ini akan muncul ketika Hamas menolak pelucutan senjata, Israel menolak penarikan penuh pasukannya, struktur pemerintahan terbukti tidak memadai, dan kedua belah pihak berada dalam posisi yang rentan terhadap konflik baru.
Ketika momen itu tiba, Israel harus memilih antara menerima pengaturan yang tidak memadai yang melestarikan ancaman teroris. Atau menyelesaikan misi yang diperlukan pada 7 Oktober 2023.
Pilihan hari ini bagaimanapun adalah mempersiapkan keputusan yang tak terelakkan itu pada masa datang (Habis).***
- Gregg Roman adalah Direktur Eksekutif Middle East Forum, AS. Ia dianggap sebagai satu dari 10 pemimpin muda Yahudi yang menginsipirasi masyarakat. Ia pernah menjadi penasehat politik Wakil Menlu Israel dan bekerja untuk Kementerian Pertahanan Israel. Selain berbicara dalam berbagai saluran televisi, tulisannya bermunculan dalam berbagai media papan atas dunia.










