Penulis: Jayadi | Editor: Aditya Prayoga
KREDONEWS.COM, TAKOMA PARK-
Daging kultur (cultivated meat atau lab-grown meat) adalah daging yang diproduksi dengan cara menumbuhkan sel hewan di laboratorium, tanpa perlu menyembelih hewan.
Proses ini menggabungkan bioteknologi dan teknik rekayasa jaringan untuk menciptakan produk daging yang mirip dengan daging konvensional, baik dari segi rasa, tekstur, maupun nutrisi.
Bagaimana Daging Kultur Dibuat?
1. Pengambilan Sel
– Diambil sampel sel otot (biasanya melalui biopsi) dari hewan hidup (misalnya sapi, ayam, atau ikan).
– Sel ini disebut **sel satelit** (*satellite cells*), yang memiliki kemampuan berkembang menjadi jaringan otot.
2. Pembiakan Sel dalam Bioreaktor
– Sel ditempatkan dalam media kultur (cairan kaya nutrisi seperti asam amino, vitamin, dan faktor pertumbuhan) untuk merangsang perkembangbiakan.
– Suhu, pH, dan oksigen diatur menyerupai kondisi dalam tubuh hewan.
3. Diferensiasi Sel
– Sel-sel yang sudah berkembang dirangsang untuk membentuk serat otot (mirip daging asli).
– Beberapa produsen menambahkan scaffold (struktur pendukung) untuk menciptakan tekstur seperti daging utuh (contoh: steak).
4. Pemanenan & Pengolahan
– Jaringan yang sudah matang dipanen dan diolah menjadi produk akhir (burger, nugget, dll.).
– Untuk meniru rasa daging, bisa ditambahkan lemak kultur atau zat alami seperti heme (dari tumbuhan).
Aspek | Daging Kultur | Daging Konvensional |
---|---|---|
Sumber | Sel hewan di lab | Penyembelihan hewan |
Penggunaan Antibiotik | Minim (lingkungan steril) | Sering digunakan di peternakan |
Dampak Lingkungan | Lebih rendah emisi gas rumah kaca & penggunaan lahan | Tinggi polusi & deforestasi |
Tekstur & Rasa | Mirip, tapi masih dalam pengembangan | Sudah familiar |
Harga | Masih mahal (produksi skala kecil) | Terjangkau |
Keuntungan Daging Kultur
1. Ramah Lingkungan
– Mengurangi emisi metana dari peternakan (penyumbang utama pemanasan global).
– Tidak memerlukan lahan peternakan yang luas, sehingga menghambat deforestasi.
2. Bebas Penyakit Zoonosis
– Risiko flu burung, E. coli, atau Salmonella lebih rendah karena diproduksi secara steril.
3. Etis & Berkelanjutan
– Tidak perlu menyembelih hewan dalam jumlah besar.
– Potensi memenuhi kebutuhan protein populasi global tanpa eksploitasi hewan.
Tantangan & Kontroversi
– Regulasi : Belum semua negara menyetujui konsumsi daging kultur (Singapura & AS sudah mulai, UE masih meninjau).
– Penolakan Konsumen: Beberapa orang ragu karena dianggap “tidak alami”.
– Ketergantungan Media Kultur: Sebagian produsen masih menggunakan fetal bovine serum yang dianggap bertentangan dengan prinsip animal-free.
Contoh Perusahaan Daging Kultur
– Eat Just (Singapura): Sudah menjual nugget ayam kultur di restoran.
– Mosa Meat (Belanda): Fokus pada burger daging sapi kultur.
– Wildtype (AS): Mengembangkan salmon kultur.
Kesimpulan
Daging kultur adalah terobosan teknologi pangan yang berpotensi mengatasi masalah krisis iklim, resistensi antibiotik, dan kesejahteraan hewan. Meski masih mahal dan perlu penyempurnaan, ia bisa menjadi alternatif berkelanjutan di masa depan.****