Menu

Mode Gelap

Uncategorized

Cerita Hari Ini: Setelah Menerima Bisikan Gaib HB IX Terima Kontrak Politik dengan Belanda

badge-check


					HB IX dan Gubernur Lucien Adam saat prosesi penobatan Perbesar

HB IX dan Gubernur Lucien Adam saat prosesi penobatan

Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya

KREDONEWS.COM, SURABAYA-Lahir di Ngasem, Sompilan, Yogyakarta dengan nama Gusti Raden Mas Dorodjatun, Hamengkubuwana IX merupakan anak kesembilan Gusti Pangeran Puruboyo dari istri utamanya, Raden Ajeng Kustilah

Suksesi politik yang mengiringi naiknya Hamengku Buwono IX menjadi cerita menarik tersendiri.
HB VIII hanya memiliki seorang putera lelaki dari permaisurinya. GRM Dorojatun namanya. Sesudah
hampir 9 tahun Dorojatun berada di Belanda untuk mengenyam studi di Universitas Leiden, tiba-tiba ia
dipanggil pulang oleh ayahandanya.

HB VIII memang belum berusia terlalu lanjut, ia baru 59 tahun. Namun penyakit diabetes yang dideritanya menjadikan ia terlampau lemah, dan ketika ia mulai mendapatkan firasat bahwa ajalnya telah dekat, seluruh puteranya dipanggilnya pulang. Dorojatunlah yang diutamakan untuk segera kembali ke Jogja.

Segera sesampainya di Tanjung Priok pada paruh Oktober 1939, Dorojatun terkejut dengan sikap penuh
hormat seluruh anggota keluarganya yang ikut menjemput di dermaga. Pertanda suksesi sudah tampak sejak awal.
Mereka berbahasa krama hinggil kepadanya seraya menaruh sembah hormat tiap kali berbicara kepadanya. Lalu seluruh keluarga kraton tinggal untuk sementara di Hotel des Indes (sekarang menjadi kompleks Pertokoan Duta Merlin).

Di salah satu kamar hotel inilah terjadi peristiwa penyerahan keris pusaka Kyai Joko Piturun dari tangan HB VIII kepada Dorojatun. Dengan penyerahan keris pusaka itu, menjadi jelaslah maksud HB VIII bagi Dorojatun dan seluruh kerabat kraton: Dorojatunlah yang kelak akan melanjutkan tahta.

Ketika dalam perjalanan pulang menuju Jogja, HB VIII jatuh sakit, dan diputuskan untuk segera dibawa menuju Rumah Sakit Onder de Bogen (sekarang RS Panti Rapih Jogjakarta). Ketika tubuhnya yang sudah pingsan sedari Cirebon diturunkan dari kereta api, mendadak muncullah petir dengan suara menggelegar di langit Jogjakarta.

Mengingat cuaca pada waktu itu jelas-jelas siang hari yang cerah, merupakan suatu keganjilan tersendiri dengan hadirnya petir tersebut.

Akhirnya, tepat di pagi buta pada hari yang sama dengan wafatnya Hamengku Buwono I, Sultan HB VIII meninggal dunia sesudah koma selama berjam-jam.

Sesudah HB VIII dinyatakan wafat, Gubernur Lucien Adam mengambil alih untuk sementara atas kekuasaan Kraton Jogja. Mengadopsi dari pembentukan Dewan Perwalian di masa penobatan HB IV dan HB V, maka dibentuklah sebuah panitia yang bertugas mengelola jalannya pemerintahan kraton untuk sementara waktu.

Panitia tersebut beranggotakan 5 orang yakni GRM Dorojatun sebagai pimpinan, GPH Mangkukusumo, GPH Tejokusumo, Pangeran Hangabehi dan Pangeran Puruboyo. Dorojatun jauh lebih muda dibanding pamannya, Mangkukusumo.

Namun demikian, Belanda tetap mendukung komposisi “Dewan Keraton” tersebut sebagai penghormatan atas diserahkannya Keris Kyai Joko Piturun kepada Dorojatun.

Untuk membicarakan suksesi maka diadakan suatu pertemuan internal kerabat Kraton Jogja pada 26 Oktober 1939, dua hari sesudah upacara pemakaman HB VIII. Dalam pertemuan itu, Dorojatun secara terbuka menyampaikan pertanyaan kepada seluruh kerabatnya apakah ada di antara mereka yang berkehendak menjadi pelanjut HB VIII.

Tak satupun kerabat kraton memberi jawaban kesanggupan, malahan seluruh kerabat sepakat untuk mendukungnya duduk di tahta raja. Ia didukung oleh semua kerabat.

Namun masih ada yang harus dilakukannya sebagai bagian proses suksesi politik yakni menandatangani kontrak politik dengan Belanda.

Rupanya intuisi Dorojatun tak seremeh yang dinilai Gubernur Lucien Adam. Dorojatun dengan cerdas menolak pasal-pasal krusial dalam kontrak politik itu sehingga proses negosiasi berjalan alot sampai empat bulan lamanya. Sekali lagi, peristiwa unik terjadi namun diakui sendiri oleh Sultan HB IX dalam biografinya “Tahta Untuk Rakyat”.

Pada suatu senja sesudah empat bulan negosiasi politik tak membuahkan hasil positif, dalam keadaan setengah tertidur Dorojatun merasa mendengar suara yang mengatakan dalam bahasa Jawa “Thole, tekena wae, Landa bakal lunga saka bumi kene (Nak, tandatangani saja, Belanda akan segera hengkang dari negeri ini)”.

Tak ambil pusing, Dorojatun segera menandatangani naskah kontrak yang membuat Gubernur Adam sendiri terkejut dan terheran-heran. Maka genaplah sudah empat legitimasi Dorojatun untuk duduk ke tahta raja Jogjakarta. Keempat legitimasi tersebut adalah:

1. GRM Dorojatun sebagai putera lelaki tertua dari
satu-satunya permaisuri;
2. Dorojatun diserahi pusaka Kyai Joko Piturun
langsung dari ayahandanya;
3. Bulatnya dukungan dukungan seluruh pangeran
dan anggota keluarga;
4. Ditekennya perjanjian politik antara Belanda
dengan dirinya.***

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Cerita Hari Ini: Goplem, Raksasa Gaib Pemimpin Para Danyang Penunggu Sitihinggil Keraton Solo

23 Juni 2025 - 11:13 WIB

Cerita Hari Ini: Meriam Legendaris Era Mataram Islam, Ada yang Berisyarat Cabul

22 Juni 2025 - 18:00 WIB

Beginilah Ujud Mother Ship, Drone Induk yang Mampu Angkut 100 Anak Drone

21 Juni 2025 - 20:00 WIB

Cerita Hari Ini: Gedung Sakral di Keraton Surakarta Ini Tempat Pertemuan Raja dan Ratu Kidul

21 Juni 2025 - 14:23 WIB

Cerita Gari Ini: Sri Sultan Hamengkubuwono IX PNS Pertama RI, Ini Penyebabnya

19 Juni 2025 - 14:04 WIB

Cerita Hari Ini: Ngideri Buwono Siasat Paku Buwono X Melawan Belanda, Lahirkan Tokoh Nasional dan Cendekiawan

18 Juni 2025 - 15:23 WIB

Cerita Hari Ini: HB IX Pernah Tak Lulus Pelajaran Geometri dan Trigonometri

17 Juni 2025 - 11:37 WIB

Cerita Hari Ini: Saat PD II, HB IX Menolak Diajak Mengungsi ke Australia

16 Juni 2025 - 14:28 WIB

Cerita Hari Ini: Crazy Rich Era Kolonial Itu Bernama Pakubuwono X

14 Juni 2025 - 15:34 WIB

Trending di Uncategorized