Menu

Mode Gelap

Uncategorized

Cerita Hari Ini: Sentot Alibasyah Panglima Muda Pangeran Diponegoro yang Hilang Pamor karena Uang

badge-check


					Sentot Alibasyah punya pangkat Letkol di Kesatuan Belanda Perbesar

Sentot Alibasyah punya pangkat Letkol di Kesatuan Belanda

Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya

KREDONEWS.COM, SURABAYA-Pangeran Diponegoro adalah pahlawan yang gigih melawan dan menentang Belanda. Dalam melakukan perlawanan, Diponegoro memiliki taktik bergerilya hal itu pula yang diturunkan kepada para pengikutnya.

Salah satu pengikutnya yang dikenal mewarisi kepandaian Pangeran Diponegoro dalam taktik gerilya hingga ditakuti lawan-lawannya adalah Sentot Ali Basyah, seorang pemuda yang memiliki semangat juang melawan penjajah Belanda.

Dari banyak tokoh pengikut Pangeran Diponegoro itu ada nama Sentot Ali Basyah. Sentot Ali Basyah pertama kali bergabung dengan pasukan Diponegoro di Gua Selarong pada Agustus 1825. Pada saat itu Sentot baru menginjak usia 17 tahun.

Pada awalnya, Pangeran Diponegoro hendak mendidik Sentot menjadi seorang santri. Namun ia tampa tidak berminat. Hingga kelak diketahui bahwa sesungguhnya anak muda itu ingin menjadi panglima perang.

Sentot Alibasyah Abdulmustopo Prawirodirdjo merupakan putra dari Raden Ronggo Prawirodirdjo, Bupati Montjonegoro Timur dengan salah seorang selir. Ibu dari Raden Ronggo adalah puteri Hamengku Buwono I. Jadi sama halnya dengan Pangeran Diponegoro, Sentot merupakan buyut dari Hamengku Buwono I.

Saat bergabung dengan pasukan Diponegoro, Sentot masih berusia sangat muda yakni berumur 17 tahun pada tahun 1825. Misinya bergabung dengan Pangeran Diponegoro karena dendam terhadap Belanda yang membunuh ayahnya, Ronggo Prawirodirjo, ipar Sultan Hamengku Buwono IV.

Karena keberanian dan kepandaiannya dia pun diangkat sebagai panglima perang Diponegoro pada tahun 1828. Selain karena keberaniannya, pengangkatan sebagai panglima perang karena usulan dari panglima perang Dipenogor Gusti Basyah, yang gugur di medan perang. Sebelum wafat, ia berpesan pada Pangeran Diponegoro agar yang menggantikannya adalah Sentot. Pangeran Diponegoro menyetujui usulan itu.

Setelah diangkat menjadi panglima perang oleh Pangeran Diponegoro kemudian menjadi Sentot Alibasyah Prawirodirjo. Sentot memiliki pasukan khusus gerilya berkuda sejumlah 1.000 orang yang semuanya bersorban.

Pasukan Sentot tak ada yang infanteri. Semua kavaleri berkuda dengan keutamaan serangan kilat, cepat, dan mematikan. Panglima militer muda yang jenius dan ditakuti lawan-lawannya ini terlibat dalam Perang Padri (1821 – 1837).

Dalam buku berjudul “De-Java-oorlog van 1825-1830” yang ditulis E.S de Klerck dia menceritakan, tak lama setelah diangkat jadi panglima perang, Sentot Ali Basyah langsung menunjukkan kemampuannya. Pada 5 September 1828, dia dikirim ke Progo Timur dan berhasil memukul mundur tentara Belanda di bawah pimpinan Sollewijn.

Beberapa minggu kemudian, dia juga berhasil mengatasi perlawanan Belanda di wilayah Banyumas dan Bagelen. Saat peperangan Sentot seringkali menggunakan penggerebekan sebagai taktik perang.

Kepandaiannya dalam perang gerilya membuat Sentot tak hanya dihormati oleh pasukannya melainkan juga oleh pasukan Belanda. Ia diakui sebagai musuh yang tangguh. “Oleh karena ia sangat pandai dalam peperangan gerilya, berani, dan gilang-gemilang dalam peperangan, ia mendapat nama yang harum dan dihormati oleh kawan dan lawan,” tulis H.P. Aukus dalam Het legioen van Mangkoe Nagoro, seperti dikutip Soekanto.

“Jika Sentot mundur, maka kemunduran itu terjadi secara teratur dan bijaksana. Tentaranya disebar sehingga susah menyusulnya dan kerap kali berbahaya. Jadi tak dapat dipastikan apakah pelarian itu tipu-tipu atau tidak. Tentara pemburu yang formasinya tak tertutup lagi, bisalah menjadi korban,” kata E.S de Klerck dalam bukunya yang berjudul “De-Java-oorlog van 1825-1830”.

Sebagai panglima perang, Sentot memang tak diragukan lagi. Namun, sayang dia jatuh di depan Pangerang Diponegoro karena urusan uang pajak.

Pada Desember 1828, Sentot meminta kepada Diponegoro untuk memimpin seluruh kekuatan pasukannya. Namun tak hanya itu, ia juga meminta untuk mengurusi penarikan pajak secara langsung demi keperluan prajuritnya.

Permintaan Sentot ini membuat Diponegoro khawatir karena ia merasa perlu menjamin kebijakan pajak ringan serta tersedianya sandang dan pangan yang murah. “Ia khawatir jika Sentot –yang terkenal dengan gaya hidupnya yang boros– diperbolehkan menggabungkan wewenang pemerintahan dan militer, karena rakyat biasa akan tertindas dan dukungan mereka terhadap perang sucinya akan sirna,” tulis Peter Carey.

Diponegoro juga menuliskan keprihatinannya dalam Babad Diponegoro. “Jika ia yang memegang pedang, juga diperbolehkan menggenggam uang, lantas bagaimana? Tidakkah itu membuat terbengkalai?” tulis Diponegoro.

Dengan berat hati, Diponegoro akhirnya setuju. Sentot mendapat dua pertiga bagian uang pajak cukai pasar di Kulon Progo dan Bagelen timur. Namun tak lama kemudian, kekhawatiran Diponegoro benar terjadi.

Satu kekalahan besar terjadi pada 8 Januari 1829. Kala itu Belanda telah membangun benteng yang baru dan besar di daerah Nanggulan. Namun, Sentot tidak bereaksi cepat karena sibuk dengan urusan keuangan. Ketika Sentot memerintahkan penyerangan, benteng Belanda sudah telanjur kuat. Pasukan Sentot harus menelan kekalahan.

Persoalan pajak juga kemudian berimbas pada ikatan baik antara Diponegoro dengan rakyat. Tanpa kepercayaan rakyat, gerilya Diponegoro tak akan berhasil. Pada September 1829, perlawanan terorganisasi di Jawa Tengah selatan berakhir.

Sentot akhirnya menyerah kepada Belanda pada 16 Oktober 1829. Penyerahannya menimbulkan kontroversi. Ia disebut mengambil keuntungan pribadi dari penyerahan itu. Alasan lain menyebut ia sebenarnya masih ingin meneruskan perang. Namun karena kondisi perekonomian rakyat yang semakin memburuk karena perang tak kunjung usai, Sentot memilih menyerah.

Di bawah perintah Belanda, Sentot sempat bertugas di Salatiga, Batavia, dan Karawang. Pada 1832, ia dikirim ke Padang untuk membendung pemberontakan para ulama di sana pimpinan Imam Bonjol.

Namun, bukannya meredam pemberontakan, pihak Belanda curiga bahwa Sentot memiliki hubungan dengan para pemberontak. Dia kemudian ditahan oleh Belanda dan kembali ke Batavia pada Maret 1833. Dari Batavia, pada Agustus 1833 Sentot dikirim ke Bengkulu untuk menjalani masa pembuangan.

Sebelum menjalani masa hukumannya di tahun 1833, Sentot diizinkan untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah. Dalam pembuangannya, ia banyak mengajarkan ilmu-ilmu dan kaidah-kaidah agama Islam kepada masyarakat Bengkulu. Sentot Alibasah Abdulmustopo Prawirodirdjo meninggal dunia di pembuangan pada 17 April 1855 dalam usia 48 tahun.

Makam Sentot Alibasyah Abdullah Mustofa Prawirodirjo yang terletak di Jalan Sentot Alibasyah, Kelurahan Bajak, Kecamatan Teluk Segara, Kota Bengkulu kini telah ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya Indonesia.***

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Cerita Hari Ini: Pujangga Keraton Ini Menolak Gaji 1.000 Gulden dari Belanda

31 Mei 2025 - 11:50 WIB

Cerita Hari Ini: PB IX Berseteru dengan Ronggowarsito Gara-gara Ramalan

30 Mei 2025 - 14:15 WIB

Alasan Sapi dan Babi Dilarang Dimakan, Dosa Buang Sampah Sembarangan Menurut Pendekatan Materialisme

30 Mei 2025 - 10:47 WIB

Cerita Hari Ini: PB IX Raja Solo Memakai Kalung Salib, Begini Kisahnya

29 Mei 2025 - 12:43 WIB

Cerita Hari Ini: PB VIII, Raja Pertama Mataram yang Memilih Tak Punya Selir

28 Mei 2025 - 12:29 WIB

Cerita Hari Ini: Tanam Paksa Belanda Menyebakan Ratusan Ribu Orang Mati Kelaparan

27 Mei 2025 - 13:45 WIB

Cerita Hari Ini: Tanam Paksa Memberi Keuntungan Belanda 832 Juta Gulden, Pegawai Pribumi Rame-rame Korupsi

26 Mei 2025 - 11:01 WIB

Cerita Hari Ini: Mangkunegaran Akhirnya Tak Bisa Netral dan Berperang Melawan Pasukan Diponegoro

25 Mei 2025 - 14:56 WIB

Wanita Meninggal 8 Menit dan Mengatakan Jiwa Tak Pernah Mati

24 Mei 2025 - 16:48 WIB

Trending di Uncategorized