Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Nama aslinya adalah Gusti Raden Mas Duksina, putra Pakubuwana VI. Ia masih berada di dalam kandungan saat ayahnya dibuang ke Ambon oleh Belanda karena mendukung pemberontakan Pangeran Diponegoro. Ia sendiri kemudian lahir pada tanggal 22 Desember 1830. Setelah menginjak dewasa, Raden Mas Duksina bergelar KGPH. Prabuwijaya.

Pakubuwana IX naik takhta menggantikan Pakubuwana VIII (paman ayahnya) pada tanggal 30 Desember 1861.
Pakubuwana IX memiliki dua permaisuri yakni GKR. Pakubuwana serta GKR. Maduretna, serta dikaruniai 57 putra-putri. Semasa kepemimpinan Pakubuwana IX, keadaan Kasunanan Surakarta mengalami kemajuan yang pesat.
Bangunan fisik Keraton Surakarta banyak yang direnovasi, seperti Siti Hinggil, Panggung Sangga Buwana, dan lain-lain, sehingga ia juga terkenal dengan sebutan Sinuhun Bangun Kedhaton. Sebagai seorang raja, Pakubuwana IX juga aktif menulis karya sastra, di antaranya Serat Wulang Putri, Serat Jayeng Sastra, Serat Menak Cina, Serat Wirayatna, dan beberapa karya sastra lainnya.
Pencetus Toleransi Beragama
Ada satu hal yang menarik dalam sebuah foto arsip milik Keraton Kasunanan Surakarta, tampak dirinya menggunakan kalung salib, padahal ia adalah seorang muslim yang taat.
Hal ini berkaitan dengan keberhasilannya memberikan perhatian kepada kaum non-muslim, tanpa memandang status keagamaan mereka.
Perhatian tersebut ia curahkan dalam bentuk keterlibatannya memberikan lahan untuk dibangun gereja di Surakarta, tepatnya di lahan milik kakaknya KGPH Purbayan. Atas jasanya tersebut, tahta suci Vatikan kemudian memberikan penghargaan medali kehormatan Rosario berbentuk salib.
Pada tahun 1916 mulailah dibangun sebuah gereja katolik yang kemudian diberi nama Gereja Santo Antonius Purbayan, sebagai tanda penghormatan bagi KGPH Purbayan atau Pakubuwono VIII.
Pembangunan gereja ini kemudian diprakarsai oleh Pastor Stiphout SJ, yang saat itu bertugas di Paroki Ambarawa.
Proses pembangunannya dimulai pada 29 Oktober 1905 dan selesai pada November 1916, menggunakan dana yang berasal dari hasil penjualan undian berhadiah serta dukungan dari Belanda.
Arsitektur gereja ini menjadi unik karena memadukan gaya kolonial Belanda dengan sentuhan tradisional Jawa, mencerminkan perpaduan budaya yang selaras.
Gereja Santo Antonius Purbayan tidak hanya berperan sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi saksi berbagai peristiwa bersejarah.
Salah satu momen penting adalah ketika Brigadir Jenderal Slamet Riyadi, pahlawan nasional Indonesia, menerima sakramen baptis di gereja ini pada tahun 1949.
Kebijakannya yang berpikiran terbuka merupakan cerminan dari keyakinannya akan persatuan dan kesatuan, terlepas dari agama yang mereka anut.
Era Pakubuwono IX melihat perubahan signifikan ketika kelompok minoritas agama diperlukan di dalam kerajaan.
Tidak seperti kebanyakan orang pada masa itu, ia mengakui kontribusi non-Muslim terhadap kehidupan budaya dan ekonomi Surakarta.
Dukungan raja terhadap komunitas non-Muslim terlihat jelas dalam beberapa kebijakan dan tindakannya:
1. Kebebasan Beragama: Pakubuwono IX memastikan bahwa umat non-Muslim dapat menjalankan keyakinan mereka tanpa takut akan penganiayaan.
Beliau menyediakan lahan untuk pembangunan kuil dan gereja, sehingga komunitas ini dapat beribadah dengan bebas.
2. Integrasi Budaya: Dia mendorong pertukaran budaya dan partisipasi non-Muslim dalam upacara dan perayaan kerajaan.
Hal ini membantu meruntuhkan hambatan dan menumbuhkan rasa saling memiliki di antara semua subjek.
3. Peluang Ekonomi: Menyadari kontribusi ekonomi dari para pedagang dan pengrajin non-Muslim, Pakubuwono IX menerapkan kebijakan yang mendorong praktik perdagangan yang adil dan memberikan kesempatan bisnis yang sama bagi semua, tanpa memandang agama.
Warisan Pakubuwono IX adalah bukti kekuatan toleransi dan inklusivitas. Masa pemerintahannya sering disebut-sebut sebagai masa keemasan dalam sejarah Kraton Surakarta, yang ditandai dengan kedamaian, kemakmuran, dan perkembangan budaya.
Pandangannya yang progresif tentang toleransi beragama menjadi panutan bagi generasi berikutnya dan terus menginspirasi para pemimpin saat ini.
Pendekatan toleransi beragama yang dilakukan Sri Susuhunan Pakubuwono IX terhadap kepemimpinan dan kepeduliannya terhadap non-Muslim mencerminkan visinya yang lebih luas tentang masyarakat yang harmonis dan bersatu.***