Menu

Mode Gelap

Uncategorized

Cerita Hari Ini: Pangeran Joyokusumo Panglima Perang Peranakan di Jajaran Pangeran Diponegoro

badge-check


					Makam Pangeran Joyokusumo Perbesar

Makam Pangeran Joyokusumo

Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya

KREDONEWS.COM, SURABAYA-Di balik gemuruh Perang Jawa (1825–1830), Pangeran Joyokusumo muncul sebagai figur sentral yang jarang tersorot. Sebagai seorang panglima dari kalangan peranakan, ia bukan hanya mencerminkan keberagaman dalam barisan Diponegoro, tetapi juga menunjukkan keberanian dan kecerdasannya sebagai ahli siasat.

Kisah Joyokusumo dimulai jauh sebelum Perang Jawa. Lahir dari perpaduan darah Cina dan Jawa, ia telah menunjukkan karakter unik yang membedakannya di lingkungan keraton. Ketika peristiwa Geger Sepehi (19–20 Juni 1812) terjadi, di mana pasukan Sir Thomas Stamford Raffles menghancurkan keraton Yogyakarta, Joyokusumo berdiri teguh di tengah-tengah kehancuran.

Dalam sebuah catatan yang jarang ditemukan pada pangeran lainnya, ia memilih bertahan di dalam keraton, menghadapi serangan brutal itu, sementara banyak bangsawan memilih melarikan diri.

Saat Perang Jawa pecah, tujuh dari 19 putra Hamengku Buwono II bergabung dengan Diponegoro. Di antara mereka, Pangeran Joyokusumo dan Wiromenggolo menjadi dua nama yang selalu berada di garis depan. Hubungan Joyokusumo dengan Diponegoro bukan sekadar hubungan keluarga; ia adalah besan sang pangeran, dan lebih dari itu, ia membawa pengalaman militer yang kaya.

Diponegoro sangat menghargai kecerdasan Joyokusumo, yang kemudian diberi mandat sebagai komandan senior dan panglima kavaleri. Dalam struktur militer gerilya yang dibangun oleh Diponegoro, Joyokusumo memainkan peran vital, memimpin serangan mendadak, mengatur strategi pengepungan, hingga menyelamatkan pasukan dari ambang kekalahan.

Berbeda dengan banyak figur lain yang bertarung demi ambisi pribadi atau status, Joyokusumo dikenal sebagai seorang pemimpin yang rendah hati. Para prajurit mengenalnya sebagai sosok yang tak segan berbagi logistik, bahkan dalam kondisi paling genting. Dalam “Babad Dipanagara,” tercatat bahwa Joyokusumo sering kali turun langsung ke lapangan, mendampingi pasukan kavaleri yang menjadi kekuatan inti dalam strategi gerilya Diponegoro.

Namun, kelebihan Joyokusumo tidak hanya terbatas pada kecerdasan dan keberanian di medan perang. Sebagai seorang peranakan, ia memahami pentingnya keberagaman dalam memperkuat solidaritas barisan. Keberadaan tokoh peranakan seperti Joyokusumo dan Sayid Ibrahim Ba’abud (peranakan Yaman) memperlihatkan bagaimana perjuangan Diponegoro melibatkan berbagai elemen masyarakat, melampaui sekat-sekat etnis dan agama.

Ia masih paman Diponegoro (Joyokusuma kakak lain ibu Sultan ketiga, ayah Diponegoro). Pangeran Joyokusuma juga dikenal dengan nama Pangeran Ngabehi (sekitar 1787-1829). Dia adalah salah satu panglima perang dan penasihat andal Diponegoro dalam Perang Jawa.

Pangeran Joyokusuma lahir dari ibu peranakan China yang bernama Mas Ayu Sumarsonowati yang terkenal dengan kecantikannya karena dia adalah seorang penari dan penyanyi pujaan hati semua pria saat itu.

Karena kecantikannya, Sultan Hamengku Buwono II (Sultan Sepuh) tertarik meminangnya untuk dijadikan selir. Pernikahan antara Sultan Sepuh dengan Sumarsonowati itulah yang melahirkan Pangeran Joyokusuma yang berkulit kuning-putih bersih warisan trah peranakan China.

Sikap kepahlawanan Joyokusuma sudah mulai tampak sejak terjadinya Geger Sepoy pada tahun 1812, saat Keraton Yogyakarata digempur habis-habisan oleh Inggris di bawah komando Letnan Gubernur Raffles.

Dalam pertempuran itu, ketika banyak para pangeran lari tunggang langgang menyelematkan diri lewat pintu rahasia keluar istana Yogyakarta, Pangeran Joyokusuma tampil berperang habis-habisan menghadapi tentara Sepoy (India) yang terkenal dengan keganasannya.

Saat Perang Jawa berlangsung, dia bergabung dengan keponakannya Pangeran Diponegoro. Tentu saja bergabungnya orang yang cerdas, tampan dan tajam analisisnya mengenai strategi perang ini memperkokoh barisan pasukan Diponegoro dalam menghadapi Kolonial Belanda.

Pangeran Joyokusumo digambarkan sebagai “bangsawan yang bertubuh bagus, cerdas, serta penuh kewaspadaan”.

Sebagai peranakan Cina-Jawa yang mewarisi kulit kuning ibunya, penampilan Pangeran Joyokusumo memang tampak berbeda dibanding keturunan Hamengku Buwono II yang lain.

Di kalangan keluarga keraton, kulit kuning dipandang sebagai puncak kecantikan seorang wanita. Tak heran Hamengku Buwono II menggemari wanita berkulit kuning dan lazim mengutus para pesuruhnya ke pesisir utara Pulau Jawa untuk menangkap wanita peranakan Cina dan menjadikannya pengiring atau bagian dari korps srikandi bernama Langen Kusuma.

Seturut Hendra Kurniawan dkk dalam “Public History of Chinese-Javanese Harmony in Yogyakarta for History Learning with Diversity Insights” (2023:143), dalam Perang Jawa, Diponegoro juga terbantu oleh keberadaan sejumlah prajurit wanita yang sebagian anggotanya merupakan kaum peranakan Cina.

Kepemimpinan Joyokusuma mulai nampak pada Perang di Gawok 15 Oktober 1826. Saat itu sebelum penyerangan, Joyokusuma menyarankan bahwa jika menghadapi Belanda dengan pasukan yang terlatih jangan dihadapi dengan frontal saling berhadap-hadapan secara terbuka.

Rupanya saran Joyokusuma tidak digubris pengikut Diponegoro termasuk Kiai Mojo. Menurut Kiai Mojo Belanda harus segera diserbu dengan kekuatan penuh secara terbuka sehingga dapat mudah dikalahkan.

Benar saja ketika perang di Gawok berlangsung, pasukan Diponegoro kalah telak kocar-kacir karena kalah dalam persenjataan dan keahliah berperang. Diponegoro sendiri terkena tembak di dada dan tangan kanannya tetapi masih hidup.

Setelah perang di Gawok, Diponegoro semakin percaya dengan kepemimpinan Pangeran Joyokusuma. Tentu saja pasukan Belanda mencari Joyokusuma untuk ditangkap hidup-hidup atau mati agar perang cepat selesai.

Di setiap pertempuran Pangeran Joyokusuma berserta dua putranya, Raden Atmakusuma dan Joyokusuma II terus membantu Diponegoro memperoleh kemenangan-demi kemenangan.

Tetapi naas, dalam sebuah pertempuran sengit Pangeran Joyokusuma dan dua putranya beserta 20 prajurit berkuda telah dikepung pasukan Belanda di Sengir dekat pengunungan Kelir pada 21 September 1829.

Sumber-sumber Belanda mengatakan setelah dikepung dan sadar bahwa Joyokusuma dan anak buahnya tidak mungkin selamat, dia mengaku sebagai Kanjeng Gusti (sebutan untuk putra raja) yang memang saat itu sangat dihormati.

Mendengar pengakuan itu pasukan kolonial tidak menggubrisnya. Pasukan Ternate sebagai pasukan bayaran kolonial yang dipimpin Kapten Kooy menyuruh Joyokusuma dan kedua anaknya menyerahkan keris pusakanya. Kapten itu mengatakan bahwa dia tidak mengenal Kanjeng Gusti.

Ketika Joyokusuma itu menolak menyerahkan keris, kapten itu segera memerintahkan untuk menghabisi Joyokusuma dan kedua putranya beserta pasukannya. Begitu tewas kepala Pangeran Joyokusuma dipancung dan ditaruh diujung bambu runcing. Sedangkan badan mereka dibuang ke jurang.

Namun setelah perwira Belanda mengenali kepala Pangeran Joyousuma dan dua putranya kemudian kepala itu dibawa ke Magelang agar disaksikan oleh Jenderal De Kock untuk memastikan kebenaran bahwa kepala itu adalah bagian tubuh dari Pangeran Joyokusuma.

Sumber Jawa (Babad Kedung Kebo) mengatakan bahwa yang memerintahkan memenggal kepala Pangeran Joyokusuma dipancung dan ditaruh di ujung bambu runcing serta diserahkan kepada Jenderal De Kock adalah Tumenggung Resodiwiryo yang dulu teman belajar Diponegoro ketika berguru terhadap Kiai Taptojani di Melagi Sleman Yogyakarta.

Tumenggung Resodiwiryo dalam Perang Jawa menjadi musuh Diponegoro karena memihah Kolonial Belanda. Tumenggung Resodiwiryo adalah komandan pasukan Surakarta yang bertempur melawan Diponegoro di daerah Bagelen. Setelah perang selesai, Resodiwiryo diangkat Belanda menjadi bupati Purworejo yang pertama dengan nama Tumenggung Cokronegoro I.

Setelah yakin bahwa itu kepala Joyokusuma, Jenderal De Kock memerintahkan agar kepala itu dibawa ke Keraton Yogyakarta. Setelah kepala itu ditaruh dalam peti kemudian Keraton Yogyakarta memerintahkan mengubur kepala itu di pemakaman Banyusumurup sebuah pemakaman di daerah Imogiri untuk para bangsawan yang dituduh sebagai penghianat dinasti Mataram dan keturunannya.

Sementara itu, badan Joyokusuma yang dibuang di jurang ditemukan oleh warga setempat dan dimakamkan 2 hari setelah kejadian.

Joyokusuma dan dua putranya kini dimakamkan di atas Bukit Depok, Dusun Sengir, Desa Kalirejo, Kecamatan Kokap, Kulonprogo dan hingga kini dirawat oleh masyarakat setempat.

Tahun 1998 makam itu dipugar oleh pihak Keraton Yogyakarta dan setiap Bulan Sapar dilangsungkan upacara adat Saparan dengan disertai doa-doa untuk Pangeran Joyokusuma.

Ketika mendengar tentang petaka besar yang menimpa pamannya itu, Diponegoro dalam bababnya mengungkapkan kesedihannya yang sangat mendalam. Dia juga mengatakan sekarang hanya sendirian di dunia ini dan merasa tidak bisa mengendalikan pengikutnya yang tersisa.

Ketika berita kematian Pangeran Joyokusumo dan dua anaknya sampai ke telinga Diponegoro, ia sangat terpukul. Babad Dipanagara mengisahkan bagaimana perasaan sang pangeran tatkala mengetahui kabar duka itu.

Sarta mijil wespanèki/

rumaos kantun pribadya/

lawan ing Tanah Jawané/

rumaos tan saged nata/

lamun amrih salaminya/

dhumateng kang samya kantun.

“Air mata menggenang dan sultan

merasa dirinya ditinggal sendiri

di Tanah Jawa.

Dia merasa tak bisa mengendalikan,

meski dirinya terus berusaha,

bagi mereka yang tersisa.”

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Cerita Hari Ini: Pujangga Keraton Ini Menolak Gaji 1.000 Gulden dari Belanda

31 Mei 2025 - 11:50 WIB

Cerita Hari Ini: PB IX Berseteru dengan Ronggowarsito Gara-gara Ramalan

30 Mei 2025 - 14:15 WIB

Alasan Sapi dan Babi Dilarang Dimakan, Dosa Buang Sampah Sembarangan Menurut Pendekatan Materialisme

30 Mei 2025 - 10:47 WIB

Cerita Hari Ini: PB IX Raja Solo Memakai Kalung Salib, Begini Kisahnya

29 Mei 2025 - 12:43 WIB

Cerita Hari Ini: PB VIII, Raja Pertama Mataram yang Memilih Tak Punya Selir

28 Mei 2025 - 12:29 WIB

Cerita Hari Ini: Tanam Paksa Belanda Menyebakan Ratusan Ribu Orang Mati Kelaparan

27 Mei 2025 - 13:45 WIB

Cerita Hari Ini: Tanam Paksa Memberi Keuntungan Belanda 832 Juta Gulden, Pegawai Pribumi Rame-rame Korupsi

26 Mei 2025 - 11:01 WIB

Cerita Hari Ini: Mangkunegaran Akhirnya Tak Bisa Netral dan Berperang Melawan Pasukan Diponegoro

25 Mei 2025 - 14:56 WIB

Wanita Meninggal 8 Menit dan Mengatakan Jiwa Tak Pernah Mati

24 Mei 2025 - 16:48 WIB

Trending di Uncategorized