Menu

Mode Gelap

Uncategorized

Cerita Hari Ini: Pangeran Diposono Berontak ke HB IV, Kerahkan Rampok dan Jin, Dihukum Cekik Sampai Mati

badge-check


					Tentara Belanda pemecah belah bangsa Perbesar

Tentara Belanda pemecah belah bangsa

Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya

KREDONEWS.COM, SURABAYA-Kisah Pangeran Diposono saat berperang melawan Belanda menarik diulas. Pangeran Diposono merupakan salah satu kerabat Sultan Hamengkubuwono IV yang gigih berjuang melawan Belanda.

Di masa itu, perlawanan kepada Belanda kembali dilakukan oleh rakyat Jawa bagian tengah selatan semasa Pangeran Diponegoro. Perlawanan itu menjadi pemantik perlawanan besar melalui Perang Jawa yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro.

Salah satu perlawanan yang juga menjadi perhatian Belanda yakni pemberontakan yang dilakukan oleh Pangeran Diposono. Sosok Pangeran Diposono dideskripsikan sebagai pribadi yang terkena polio.

Konon Pangeran Diposono juga menderita semacam penyakit jiwa sejak mudanya. Namun, Pangeran Diposono juga memiliki kelebihan yakni bisa kontak dengan makhluk halus.

Ia diisukan menikahi anak perempuan roh penunggu Gunung Merapi, yang diisukan membantunya dalam melakukan pemberontakan.

Lelembut yang membantu Diposono tidak saja roh dari Gunung Merapi itu, terapi juga Ratu Kidul, penguasa laut selatan. Ia juga dibantu dukun perempuan.

Hal ini pula yang coba dimanfaatkannya untuk mengusir Belanda dan Tionghoa, serta menggantikan Sultan Hamengkubuwono IV untuk menduduki takhtanya, sebagaimana dikutip dari “Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro: 1785-1855”.

Tetapi dengan keterbatasannya seperti itu dia memberikan perlawanan kepada Belanda dan kongsi dagang Tionghoa yang berkomplot dengan Belanda.

Setelah merekrut bantuan dari berbagai kepala (gembong) rampok di Kedu dan seorang dukun perempuan, Pangeran Diposono merencanakan dua pemberontakan yang dilakukan serentak.

Satu di selatan Kedu, di sekitar Bendo, sebuah desa perdikan yang diperuntukkan bagi para ulama, dan satu lagi di selatan Yogya, di Gading Temahan dan Lipuro.

Tempat yang terakhir ini merupakan tempat yang sangat penting artinya bagi yang berhak atas tahta Mataram. Rencana Diposono yakni memancing bala tentara Yogya untuk keluar saat memulai pemberontakan di Kedu, dan kemudian menyerbu ke ibu kota kesultanan.

Pada 27 Januari 1822, Diposono menyewa komplotan perampok untuk menyerang para pedagang Cina di Kedu. Residen Kedu pun meminta bantuan dan Residen Yogyakaata Nahuys langsung menjawabnya dengan mengirim pasukan terdiri dari 150 prajurit.

Apa yang dibayangkan oleh Diposono berjalan sesuai rencana. Maka di Yogyakarta, Diposono segera bertindak menggempur benteng.

Dipososo salah duga. Rupanya Belanda mendatangkan bantuan dari Semarang untuk menjaga Yogyakarta, ketika pasukan Yogyakarta dikirim ke Kedu.

Namun, strategi ini gagal. Dukungan dari pejabat-pejabat pribumi sangat terbatas dan Belanda mampu mengatasi gerakan tanggal 27-28 Januari 1822 itu di Kedu tanpa perlu mendatangkan bala bantuan dari Yogya. Pemberontakan Diposono di Yogya sendiri kemudian dengan cepat dapat dipadamkan di sekitar Lipuro di awal Februari.

Pasukan Diposono melarikan diri ke Bagelen setelah mendapat perlawanan dari pasukan bantuan dari Semarang. Pasukan Belanda berhasil mengejar mereka.

Hanya dalam waktu empat hari Nahuys berhasil mengamankan Kedu dan Yogyakarta. Diposono ditangkap, senjata anak buahnya dilucuti.

Kepada HB IV, residen memberi tahu bahwa Diposono telah melakukan perbuatan buruk dan serangan pengkhianatan. Hukumannya adalah hukuman mati.

Nahuys mengusulkan Magelang sebagai tempat eksekusi. Tapi HB IV tidak mau menghukum mati paman buyutnya itu.

Pangeran pemberontak itu dibawa ke Yogyakarta untuk diadili dan kemudian dijatuhi hukuman mati dengan cara dicekik, meski hukuman itu akhirnya diubah oleh Van der Capellen dengan pengasingan seumur hidup di Ambon.
Pemberontakan Pangeran Diposono pada Januari-Februari 1822 ini merupakan gangguan yang sangat serius bagi takhta Sultan Hamengku Buwono IV.

Peristiwa itu menandai suatu pemberontakan tradisional oleh seorang kerabat Sultan sendiri terhadap takhta kerajaan. Pengerahan para pemimpin bandit adalah cara tipikal menggalang dukungan dari anggota elite keraton. Namun, terlepas dari elemen-elemen tradisional ini, besarnya kemarahan rakyat pada umumnya terhadap orang Eropa dan Tionghoa merupakan pertanda penting pada masa itu.

Diponegoro yang berusia beberapa tahun di bawah Diposono, penasaran dengan tindakan Diposono ini.
Diponegoro sempat berpikir ulang tentang pemberontakan ketika Diposono ditangkap Belanda.***

 

 

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Cerita Hari Ini: Pujangga Keraton Ini Menolak Gaji 1.000 Gulden dari Belanda

31 Mei 2025 - 11:50 WIB

Cerita Hari Ini: PB IX Berseteru dengan Ronggowarsito Gara-gara Ramalan

30 Mei 2025 - 14:15 WIB

Alasan Sapi dan Babi Dilarang Dimakan, Dosa Buang Sampah Sembarangan Menurut Pendekatan Materialisme

30 Mei 2025 - 10:47 WIB

Cerita Hari Ini: PB IX Raja Solo Memakai Kalung Salib, Begini Kisahnya

29 Mei 2025 - 12:43 WIB

Cerita Hari Ini: PB VIII, Raja Pertama Mataram yang Memilih Tak Punya Selir

28 Mei 2025 - 12:29 WIB

Cerita Hari Ini: Tanam Paksa Belanda Menyebakan Ratusan Ribu Orang Mati Kelaparan

27 Mei 2025 - 13:45 WIB

Cerita Hari Ini: Tanam Paksa Memberi Keuntungan Belanda 832 Juta Gulden, Pegawai Pribumi Rame-rame Korupsi

26 Mei 2025 - 11:01 WIB

Cerita Hari Ini: Mangkunegaran Akhirnya Tak Bisa Netral dan Berperang Melawan Pasukan Diponegoro

25 Mei 2025 - 14:56 WIB

Wanita Meninggal 8 Menit dan Mengatakan Jiwa Tak Pernah Mati

24 Mei 2025 - 16:48 WIB

Trending di Uncategorized