Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Pangeran Diponegoro merupakan putra dari Raja Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono (HB) III. Sultan HB II wafat pada 3 November 1814 setelah berkuasa selama 865 hari.

Dikisahkan sebelum meninggal dunia itu Raja Yogyakarta ini memang tengah sakit panas dingin.
Hal itu berlangsung selama satu bulan sejak Oktober 1814. Di akhir masa kekuasaannya, Sultan HB III tidak pernah menikmati kehidupan yang sehat betul.
Apalagi sejumlah persengkongkolan pada masa akhir kekuasaannya memperburuk kesehatan ayahhanda Pangeran Diponegoro itu.
Waktu demi waktu, sakit Sultan Yogya itu kian mencapai puncaknya. Peter Carey dalam bukunya “Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro: 1785 – 1855” menggambarkan suasana di sekeliling ranjang sakratul maut itu, ketika tabib meracik obat-obatan dan ulama terus-menerus berzikir.
Raja Keraton Yogyakarta itu yang sedang mengalami sakratul maut memang konon diberikan sejumlah ritual adat istiadat Jawa.
Salah satu ritual yakni menjilati pusar Sultan, yang bertujuan untuk mempermudah keluarnya daya hidup. Diponegoro bergerak maju dan dengan tegas menutup tubuh ayahnya dengan selimut.
Sang pangeran membatalkan di tengah jalan ritual tersebut. Tindakan in menunjukkan bahwa sekalipun ia penganut mistik Islam- lawa, Pangeran tidak setuju dengan beberapa aspek praktek adat istiadat kebatinan Jawa yang takhayul pada masa itu.
Diponegoro sejak kecil belajar agama ala pendidikan pesantren di Tegalrejo.
Ia belajar Alquran dan hadis. Ia juga mempelajari Kitab Tuhfah yang membahas sufisme, mempelajari Usul dan Tasawwuf, traktat yang berisi teologi mistik Islam.
Saat fajar menyingsing tanggal 3 November setelah berkuasa persis 865 hari, Sultan HB III wafat.
Serat Anbiya dan Tafsir Quran pun ia pelajari. Termasuk pula Siratussalatin dan Tajussalatin. Tentang hukum Islam, Diponegoro mempelajari buku Taqrib, Lubab al-Fiqh, Muharrar, dan Taqarrub.
Ia juga mempelajari kitab klasik Arab dan Persia seperti Fatah al-Muluk (Kemenangan Para Raja), Hakik al-Modin dan Nasihat al-Muluk (Pelajaran Moral bagi Para Raja). Kitab-kitab klasik Jawa seperti Serat Rama, Bhoma Kawya, Arjuna Wijaya, dan Arjuna Wiwaha juga ia dalami.
Joyo Lengkoro Wulang yang berisi aspek-aspek kenegarawanan juga ia baca. Kitab ini berkisah tentang pangeran muda yang berkelana bertemu dengan banyak guru, mulai dari guru sekuler hingga guru mistik.
“Ini adalah teks yang punya daya tarik universal di antara elite keraton, yang menjadi lambang cita-cita pendidikan ideal bagi para ksatria muda. Diponegoro memberikan ekspresi praktisnya dengan berziarah ke Pantai Selatan pada sekitar 1805,” tulis Peter Carey mengenai Joyo Lengkoro Wulang.
Ia juga membaca Serat Gondokusumo, Asmoro Supi, Serat Angreni, Serat Manikmoyo. Naskah-naskah Jawa itu berkisah tentang kehidupan para bangsawan.
Ia pun ingin membaca Menak Amir Hamza, kisah kehidupan paman Nabi Muhammad. “Tetapi permintaan itu ditolak oleh Belanda dengan pertimbangan ‘terlalu mahal’ (padahal pertimbangan sebenarnya adalah karena isinya yang Islami,” kata Peter Carey.
Buku-buku yang dipelajari Diponegoro memperlihatkan bahwa ia adalah seorang intelektual. Belajar mulai dari mistik-Kejawen, mistik-Islam, ilmu-ilmu ketatanegaraan, Alquran dan hadis.
Ia menjalankan ajaran Islam, tetapi juga menyukai dunia mistik. Kendati begitu, ia tidak rela pusar ayahnya dijilati saat ayahnya mengalami sekarat.
Residen Inggris, Kapten Garnham segera memerintahkan tentara Sepoy untuk menjaga segel- segel dan gembok ruang-ruang kerajaan untuk mempersiapkan penguasa baru.
Dalam babadnya, Pangeran Diponegoro banyak berbicara tentang hal ini, bahwa tak seorang pun di Yogyakarta yang menduga Sultan wafat dalam usia begitu muda.***