Menu

Mode Gelap

Uncategorized

Cerita Hari Ini: Pangeran Diponegoro Tamparkan Selop dan Siramkan Anggur ke Wajah Sang Pengkhianat

badge-check


					Patih Danurejo IV saat ditampar selop oleh Diponegoro Perbesar

Patih Danurejo IV saat ditampar selop oleh Diponegoro

Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya

KREDONEWS.COM, SURABAYA-Tahun 1813 menjadi titik balik yang penuh paradoks dalam sejarah Kasultanan Yogyakarta. Di tengah kepemimpinan Sultan Hamengkubuwono III, Pangeran Diponegoro, sang pangeran visioner yang disegani, menyerahkan rekomendasinya kepada sang ayah untuk mengangkat Tumenggung Sumodipuro, Bupati Japan di Mojokerto, sebagai Pepatih Dalem.

Dengan gelar Patih Danurejo IV, ia memasuki jantung kekuasaan keraton, sebuah arena yang selama ini dimonopoli oleh keturunan Trah Yudhonegoro.

Namun, tak butuh waktu lama bagi Danurejo IV untuk membelokkan kepercayaan menjadi pengkhianatan. Sosok yang awalnya tampil “lugu” dan merakyat ini justru menjelma sebagai simbol degradasi moral dan korupsi struktural.

Babad-babad Jawa mencatatnya sebagai “setan kulambi manungsa”—iblis berbaju manusia—yang menjual martabat kraton demi kepentingan pribadi dan hubungan kolonial. Sebuah kesalahan intuitif yang pada akhirnya memicu kemarahan monumental Pangeran Diponegoro.

Sebelumnya, Pangeran Diponegoro melihat sesuatu yang istimewa pada sosok Sumodipuro. Sebagai Bupati Japan, ia dinilai berhasil membangun kedekatan dengan rakyat. Di usia muda, ia menyentuh perhatian Sultan Hamengkubuwono III berkat kharisma yang kontras dengan para bangsawan lain yang sarat dengan kemewahan.

Pangeran Diponegoro memandang ini sebagai tanda kepercayaan baru: memberikan kesempatan bagi “orang luar” untuk menduduki posisi sentral kraton.

Pada 2 Desember 1813, atas rekomendasi Pangeran Diponegoro, Sumodipuro resmi dilantik menjadi Patih Danurejo IV. Namun, penunjukan ini menyimpan kontroversi. Tradisi kraton yang ketat menolak “orang luar”, apalagi dari wilayah Brang Wetan, untuk menduduki jabatan penting. Meski demikian, rekomendasi sang pangeran tetap dijalankan.

Setahun kemudian, Sultan Hamengkubuwono III wafat, meninggalkan kekuasaan di tangan Sultan Hamengkubuwono IV yang kala itu masih berusia 10 tahun. Di sinilah segala ironi bermula.

Alih-alih memperkuat fondasi pemerintahan, Danurejo IV justru membawa kraton ke dalam jurang krisis moral. Jabatan-jabatan penting dijadikan komoditas untuk para kroninya. Pajak dari rakyat diperjualbelikan, dan hukum menjadi tumpul oleh kesewenangan.

Laporan-laporan menyebutkan bahwa “kebijakan dijual dengan harga tertentu”, merampas hak rakyat kecil yang dipaksa membayar pajak berganda.

Dalam catatan Babad Kedhungkebo, Patih Danurejo IV dikenal sebagai pejabat yang “merampok dari singgasananya.” Candu dan zina menjadi pemandangan biasa, bahkan di kalangan elit kraton. Simbol-simbol kebesaran Sultan pun diabaikan. Ia mengenakan atribut-atribut kekuasaan yang hanya diperbolehkan bagi raja, simbol kesombongan seorang penguasa yang lupa diri.

Di balik kekuasaannya, Danurejo IV menjalin aliansi strategis dengan dua tokoh berpengaruh: Ratu Ibu (kelak menjadi Ratu Ageng) dan Tumenggung Wironegoro, kepala pengawal Sultan. Ketiganya membentuk blok politik yang berseberangan dengan kalangan santri dan ulama yang diwakili oleh Pangeran Diponegoro.

Untuk memperkokoh akses finansial dan politik, Patih Danurejo IV menjalin hubungan erat dengan Tan Jin Sing, seorang Tionghoa yang diangkat oleh Inggris sebagai pejabat kraton. Lebih jauh lagi, ia merapat ke kekuatan kolonial Belanda—sebuah pengkhianatan terang-terangan terhadap kedaulatan Kasultanan Yogyakarta.

Tamparan Selop di Paseban

Puncak konflik terjadi pada 1822, ketika Pangeran Diponegoro memanggil Patih Danurejo IV untuk mempertanggungjawabkan penjualan aset-aset kraton kepada kolonial. Dalam sebuah pertemuan resmi di Paseban, di hadapan para pejabat dan sentana kraton, Pangeran Diponegoro menginterogasi sang Patih.

Danurejo IV, yang terkenal licik, mencoba mengelak dengan dalih-dalih yang dibuat-buat. Namun kesabaran Pangeran Diponegoro akhirnya habis. Dalam momen yang tercatat sebagai salah satu insiden paling monumental dalam sejarah Jawa, Pangeran Diponegoro berdiri, melepas selop dari kakinya, lalu menampar wajah Danurejo IV.

Tamparan itu bukan sekadar hukuman fisik, melainkan simbol kemarahan rakyat terhadap penguasa yang korup. Danurejo IV hanya bisa bersimpuh, menyadari bahwa penghinaan tersebut adalah buah dari kejahatan dan pengkhianatannya.

Bataviaasch Nieuwsblad pada 1900 pernah menulis cerita soal selop Diponegoro. “Konon perang di Jawa dipicu oleh Residen Smissaert dan Patih Danurejo yang membenci Diponegoro karena telah memukul mukanya dengan selop,” tulis koran itu.

Hendrik Smissaert dalam penelusuran Peter Carey, menjadi residen yang tidak bisa membangun komunikasi dengan keraton. Ia banyak tinggal di lereng Merapi, karena rumah dinas residen belum direnovasi akibat letusan Gunung Merapi. Ia banyak bergantung pada sekretaris karesidenan yang mengambil keuntungan dari Danurejo. Pulang ke Belanda, skretaris karesidenan itu membawa lebih satu juta gulden yang ia dapatkan dari Danurejo.

Insiden besar lainnya terjadi dalam sebuah pesta yang diadakan Belanda. Minuman keras seperti anggur dan arak mengalir deras—sebuah tradisi yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang dipegang teguh oleh Pangeran Diponegoro. Danurejo IV, yang mengetahui prinsip sang pangeran, sengaja menawarkan segelas wine kepadanya.

Namun, alih-alih meminum anggur itu, Pangeran Diponegoro justru menyiramkan isi gelas ke wajah Danurejo IV. Peristiwa ini memperdalam dendam sang Patih, namun juga sekaligus memperlihatkan jurang nilai antara kedua tokoh tersebut.

Pada 22 Februari 1847, atas tekanan kolonial dan laporan penyalahgunaan wewenang, Danurejo IV resmi diberhentikan. Pemerintah Belanda memberikan “alasan formal” bahwa ia sudah terlalu tua, padahal penggelapan pajak menjadi akar persoalan sebenarnya. Ia diberi gelar Pangeran Kusumoyudo dan dipensiunkan dengan 1.000 gulden.

Sebagai bentuk “pengasingan politik”, Danurejo IV dipulangkan ke Mojokerto, tanah asalnya. Belanda berusaha menjauhkan pengaruhnya dari pusat kekuasaan Yogyakarta. Namun, hasrat kekuasaan Danurejo IV tak pernah padam. Ia beberapa kali diketahui kembali ke Yogyakarta, menjalin komunikasi dengan loyalisnya. ***

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Cerita Hari Ini: Pujangga Keraton Ini Menolak Gaji 1.000 Gulden dari Belanda

31 Mei 2025 - 11:50 WIB

Cerita Hari Ini: PB IX Berseteru dengan Ronggowarsito Gara-gara Ramalan

30 Mei 2025 - 14:15 WIB

Alasan Sapi dan Babi Dilarang Dimakan, Dosa Buang Sampah Sembarangan Menurut Pendekatan Materialisme

30 Mei 2025 - 10:47 WIB

Cerita Hari Ini: PB IX Raja Solo Memakai Kalung Salib, Begini Kisahnya

29 Mei 2025 - 12:43 WIB

Cerita Hari Ini: PB VIII, Raja Pertama Mataram yang Memilih Tak Punya Selir

28 Mei 2025 - 12:29 WIB

Cerita Hari Ini: Tanam Paksa Belanda Menyebakan Ratusan Ribu Orang Mati Kelaparan

27 Mei 2025 - 13:45 WIB

Cerita Hari Ini: Tanam Paksa Memberi Keuntungan Belanda 832 Juta Gulden, Pegawai Pribumi Rame-rame Korupsi

26 Mei 2025 - 11:01 WIB

Cerita Hari Ini: Mangkunegaran Akhirnya Tak Bisa Netral dan Berperang Melawan Pasukan Diponegoro

25 Mei 2025 - 14:56 WIB

Wanita Meninggal 8 Menit dan Mengatakan Jiwa Tak Pernah Mati

24 Mei 2025 - 16:48 WIB

Trending di Uncategorized