Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Setelah larut dalam perang saudara, pada 1755 Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi, kemudian bergelar Hamengku Buwono I, menyepakati Perjanjian Giyanti. Akibat perjanjian itu, Kasultanan Mataram pecah menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Pada tahun yang sama, seorang perantauan Arab bernama Sayid Alwi Ba’abud mendarat di pantai utara Jawa. Selain saudagar kuda dari Hadramaut (Yaman), ia adalah ulama dan tabib.
Menurut cerita, Sayid Alwi Ba’abud sudah menjalin hubungan dengan Keraton Yogyakarta ketika Hamengku Buwono I bertakhta. Ia bahkan bersahabat dengannya, dan karena kedalaman ilmunya tentang Islam, ia dipercaya menjadi penasihat agama di lingkungan keraton.
Versi lain menyebutkan bahwa kontak antara Sayid Alwi Ba’abud dengan keluarga keraton terjadi di Ceylon (Sri Lanka), ketika Hamengku Buwono II diasingkan Inggris ke negeri tersebut. Saat kembali ke Yogyakarta, Hamengku Buwono II menjodohkan putrinya yang bernama Raden Ayu Samparwadi dengan Sayid Husain Ba’abud, putra Sayid Alwi Ba’abud.
Menurut Siti Hidayati Amal dalam Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar Tembok Keraton Yogyakarta (hlm. 164-165), perjodohan tersebut bermula saat Samparwadi–kala itu 14 tahun–sakit keras dan tak kunjung sembuh.
Seperti dalam cerita-cerita, Hamengku Buwono II kemudian mengadakan sayembara. Siapa yang bisa menyembuhkan putrinya, jika perempuan akan diangkat sebagai saudara anaknya, dan jika laki-laki akan dinikahkan dengannya.
Singkat cerita, Samparwadi sembuh di tangan Sayid Alwi Ba’abud yang saat itu sudah 65 tahun. Merasa tak pantas menikahi gadis remaja, diaturlah perjodohan antara Samparwadi dengan putranya, Sayid Husain Ba’abud.
Ketika Perang Jawa (1825-1830) meletus, menurut Peter Carey dalam The Power of Prophecy (hlm. 627), Sayid Husain Ba’abud yang juga dikenal dengan nama Kiai Haji Hasan Munadi atau Tumenggung Samparwadi, menjabat panglima Barjumungah, sebuah resimen khusus pengawal Pangeran Diponegoro.
Seturut Siti Hidayati Amal dalam “Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar Tembok Keraton Yogyakarta” (2005:164), putra sulung Sayid Husein Ba’abud adalah Sayid Ibrahim Ba’abud alias Pekih Ibrahim, juga aktor penting dalam Perang Jawa. Tugasnya sebagai juru runding Diponegoro.
Salah satu misi yang pernah dijalankannya adalah menemui Kolonel Cleerens untuk membicarakan rencana perundingan antara sang pangeran dengan pucuk pimpinan pasukan Belanda, yakni Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock di Magelang, 28 Maret 1830.
Belakangan terbukti perundingan itu hanya akal-akalan Belanda untuk menjebak Diponegoro.
Setelah Perang Jawa dipadamkan, Sayid Ibrahim Ba’abud dibuang Belanda ke Ambon, sementara Diponegoro ke Makasar. Hingga akhir hayatnya, mereka tidak pernah kembali ke Yogyakarta. Masing-masing meninggal di Benteng Victoria dan Benteng Rotterdam.
Sayid Ibrahim Ba’abud sadar betul dalam tubuhnya mengalir darah Arab. Namun, pria yang oleh Hamengku Buwono II diberi nama Raden Mas Haryo Madiokusumo itu tak bisa mengingkari bahwa dirinya adalah bagian dari keluarga Keraton Yogyakarta.
Adalah Ratu Ageng Tegalrejo, permaisuri Sultan Hamengku Buwono I yang juga anggota persaudaraan sufi Syattariyah, yang berjasa mendidiknya dengan nilai-nilai Islam dan budaya Jawa. Bersama nenek buyutnya itu, ia meninggalkan keraton dan hidup laiknya kawulo alit di sebuah desa yang berada di tengah-tengah persawahan, Tegalrejo.
Sayid Ibrahim Ba’abud tidak sendiri. Sepupunya yang merupakan pewaris takhta Keraton Yogyakarta yakni Raden Mas Ontowiryo juga ikut. Nama yang terakhir, selanjutnya dikenal dengan Pangeran Diponegoro, kelak menolak statusnya sebagai putra mahkota dan memilih bergerilya melawan Belanda.
Meski berdarah Arab, Sayid Ibrahim Ba’abud lebih suka memakai pakaian Jawa, berbeda dengan Diponegoro, yang meski Jawa tulen tapi gemar memakai jubah dan sorban. Bagi Diponegoro, busana Arab secara simbolis menegaskan dirinya sebagai pemimpin spiritual umat Islam di Tanah Jawa dalam perang melawan Belanda.
Dari pernikahan antara Habib Hasan Munadi dan Raden Ayu Samperwadi lahir empat keturunan. Diantaranya Ibrahim Ba’abud (1790-1850) yang bergelar RMH (Raden Mas Haryo) Madiokusumo, Raden Ayu Reksodiwiryo (istri Bupati Cokronegoro I, Bupati Purworejo Pertama), Ali Ba’abud yang bergelar Raden Mas Puspodipuro (Kakek Buyut Habib Hasan Agil Ba’abud) dan Raden Ayu Kertopati (Mengambil nama suaminya, Kertopati seorang Patih di Kutoarjo yang kelak akan hijrah ke Magetan.
Dibantu Santri
Sekitar 200 santri gabungan baik laki-laki dan perempuan, bergabung ke pasukan Pangeran Diponegoro, pada Perang Jawa. Mereka datang dari berbagai etnis mulai dari Arab, hingga konon ada santri peranakan Tionghoa yang bergabung.
Dikutip dari buku “Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 – 1825″ tulisan Peter Carey, selain santri pondok pesantren itu, ada beberapa santri istana. Santri istana ini yakni golongan santri istana.
Mereka merupakan anggota hierarki pejabat resmi Islam dan resimen pasukan yang direkrut dari para santri keraton. Beberapa di antaranya adalah Suranatan dan Suryogomo, serta penduduk desa – desa bebas pajak di Yogyakarta dan pondok – pondok pesantren.
Kelompok besar lain dibawa oleh Kiai Mojo, ketika ia bergabung dengan Pangeran Diponegoro di Selarong, awal Agustus. Kelompok ini merupakan anggota keluarga besarnya dan santri dari tiga pesantren di Mojo dan Baderan, dekat Delanggu, dan Pulo Kadang, dekat Imogiri.
Delapan pemuka agama dan pejabat masjid serta sepuluh guru agama atau kiai guru juga menjadi bagian dari pasukan Pangeran Diponegoro. Mereka ini juga termasuk para pemimpin pondok pesantren mulai dari Bagelan, Kedu, Mataram, Pajang, Ponorogo, dan Madiun.
Sisanya yang 121 orang disebut kiai, suatu istilah yang secara longgar dipakai di Jawa sebagai gelar kehormatan bagi sepuluh desa, guru agama, serta guru kebatinan.
Konon para pemuka agama dan pondok pesantren ini lantaran dipercaya pangeran memilki kekuatan magis, yang membuatnya bisa terbang dan mempengaruhi cuaca.
Hal ini yang membuat para pemimpin pondok pesantren mencoba meminta jimat hidup, berupa darah dari pangeran, dalam diri saudara perempuan Pangeran, Raden Ayu Sosrodiwiryo, untuk memperat ikatan kekerabatan dengan Pangeran Diponegoro.
Dikisahkan para santri dan tokoh agama ini merapat ke Pangeran Diponegoro karena adanya peristiwa saat ribuan tokoh agama dan kaum kerabatnya dibantai di alun – alun Keraton Plered, sekitar tahun 1650.
Perang – perang suksesi di Jawa pada akhir abad ke – 17 hingga awal abad ke-18, menjadi saksi ketegangan antara keraton dengan kauman, sebuah komunitas agama yang kuat. Para ulama seperti di Kajoran, Panembahan Rama, ikut memberontak melawan kekuasaan raja.
Hal ini sama dengan pemberontakan yang dipimpin oleh bangsawan muda asal Madura yang saleh, bernama Raden Trunojoyo di tahun 1676 – 1680.
Komitmen pribadi Pangeran Diponegoro terhadap Islam dan kontak – kontaknya yang luas dengan para santri di Jawa tengah bagian selatan, menjadikan Pangeran Diponegoro dianggap seorang bangsawan Jawa, tetapi tidak seperti bangsawan umumnya.***