Menu

Mode Gelap

Uncategorized

Cerita Hari Ini: Hulptroepen, Satuan Hindia Belanda Asal Minahasa Musuh Berat Pangeran Diponegoro

badge-check


					Hermanus Willem Dotulong (1795-1888) mayor pasukan Minahasa dalam hulptroepen yang berperan untuk menangkap Pangeran Dipanagara dalam lukisan Raden Saleh. Perbesar

Hermanus Willem Dotulong (1795-1888) mayor pasukan Minahasa dalam hulptroepen yang berperan untuk menangkap Pangeran Dipanagara dalam lukisan Raden Saleh.

Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya

KREDONEWS.COM, SURABAYA-Dalam Perang Jawa Belanda tidak melulu mengandalkan pasukan Eropa atau tentara dari kerajaan-kerajaan di Jawa yang merupakan sekutunya. Dalam hal ini Belanda punya andalan lain yaitu pasukan gerak cepat Hulptroepen.

Sejarawan Inggris, Peter Carey mengatakan kemenangan Hindia Belanda atas Dipanagara tidak dapat terjadi tanpa hulptroepen (pasukan tulungan), pasukan pribumi yang mendukung mereka. Sebenarnya penggunaan hulptroepen sering dilakukan dalam ekspedisi penaklukan kolonial Hindia Belanda. Termasuk, Perang Padri di Sumatera Barat.

Umumnya, hulptroepen (baca: hulptrupe) berasal dari wilayah timur seperti Makassar, Madura, Bali, dan Minahasa. Tetapi ada juga beberapa hulptroepen yang berasal dari Pulau Jawa itu sendiri.

Carey memaparkan dalam kuliah umum yang diadakan Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sam Ratulangi, Manado.

Menurut Carey, penyebab mengapa ada kalangan lokal, khususnya dari Minahasa, bersedia membantu pemerintah kolonial lantaran perjanjian yang memikat mereka. Awalnya Minahasa tak sendiri tak sudi untuk membantu. Pasca Perang Tondano, sejumlah penguasa Minahasa bersedia memberikan pasukan sebagai jasa yang menguntungkan.

Hampir sepuluh persen dari keseluruhan 15.000 hulptroepen yang dikerahkan Belanda pada masa akhir Perang Jawa (1829-1830), menurut Carey, adalah berasal dari Minahasa. Hulptroepen, dikenal dengan kemampuan yang luar biasa di situasi genting dan sulit. Bahkan, dianggap memiliki keunggulan dari tentara kolonial sendiri sebagai pasukan gerak cepat.

Bahkan ungkapan ini tertuang oleh Errembault, salah satu komandan kolonial yang dikutip oleh Carey: “Bagi saya sendiri, saya lebih suka memimpin prajurit pribumi daripada prajurit Eropa; Saya tidak banyak menghadapi [prajurit] yang sakit-sakitan, dan kalau mereka dipimpin dengan baik, mereka bertarung sehebat [orang Eropa].”

Carey juga mengutip pendapat Paku Alam I terkait hulptroepen, “Sewaktu pasukan dari Sumenep saja sampai didatangkan ke Jawa, barulah kita sadar bahwa pemberontakan Pangeran Dipanagara adalah suatu hal yang penting.”

Hulptroepen sebagai pasukan gerak cepat dan intel kolonial, terlibat dalam pertempuran besar terakhir di Siluk, sebelah barat Yogyakarta pada 17 September 1829. Pertempuran ini membuat Dipanagara kalah telak.

Giat mereka berlanjut hingga ke Sengir, Kecamatan Kokap, Kulon Progo. Hulptroepen menyergap dan memenggal kepala komandan senior pasukan Dipanagara, Pangeran Ngabehi (Joyokusumo I) bersama kedua anaknya, Joyokusumo II dan Raden Mas Atmokusumo pada 21 September.

Pada 11 November 1829, Dipanagara sendiri disergap di pegunungan Gowong. Pasukan Minahasa pun merebut tombak pusakanya, setelah sang pangeran melompat dari kuda ke lembah dan bersembunyi.

Selanjutnya, Dipanagara sendiri dikejar lima unit Pasukan Gerak Cepat yang memiliki hulptroepen yang mayoritas dari Minahasa. Perjalanan Dipanagara dari pegunungan Gowong sampai ke Banyumas selama November 1829 hingga Februari 1830.

Hingga akhirnya, mereka bisa melacak dan mengajak Dipanagara untuk melakukan negosiasi damai dengan Jenderal de Kock di Magelang.

“Awalnya dia [Dipanagara] jadi buronan, lalu dikawal pada April 1830. Di Menoreh, banyak para pengikutnya yang ikut seperti magnet untuk mengiring negosiasi dengan Jenderal de Kock,” terang Carey.

Keberadaan hulptroepen juga terekam dalam dua lukisan peristiwa penangkapan Pangeran Dipanagara, baik oleh Raden Saleh maupun Nicolaas Pieneman.

Pemimpin pasukan dari Minahasa yang sangat jelas terpampang itu adalah Benjamin Thomas Sigar alias Tawjlin Sigar (1790-1879) dan Hermanus Willem Dotulong (1795-1888).

Peninggalan mereka pun masih tersisa dalam memorial atas Hermanus Willem Dotulong di Cilincing, Jakarta.

Hulptroepen kemudian dilanjutkan pada periode kolonial selanjutnya ketika Belanda membuat KNIL. Berpihaknya para orang lokal dalam militer Hindia Belanda, membuat sentimen para nasionalis dengan ‘anjing Belanda’ yang biasanya ditorehkan pada KNIL yang mayoritas dari kawasan timur koloni.***

 

 

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Cerita Hari Ini: Pujangga Keraton Ini Menolak Gaji 1.000 Gulden dari Belanda

31 Mei 2025 - 11:50 WIB

Cerita Hari Ini: PB IX Berseteru dengan Ronggowarsito Gara-gara Ramalan

30 Mei 2025 - 14:15 WIB

Alasan Sapi dan Babi Dilarang Dimakan, Dosa Buang Sampah Sembarangan Menurut Pendekatan Materialisme

30 Mei 2025 - 10:47 WIB

Cerita Hari Ini: PB IX Raja Solo Memakai Kalung Salib, Begini Kisahnya

29 Mei 2025 - 12:43 WIB

Cerita Hari Ini: PB VIII, Raja Pertama Mataram yang Memilih Tak Punya Selir

28 Mei 2025 - 12:29 WIB

Cerita Hari Ini: Tanam Paksa Belanda Menyebakan Ratusan Ribu Orang Mati Kelaparan

27 Mei 2025 - 13:45 WIB

Cerita Hari Ini: Tanam Paksa Memberi Keuntungan Belanda 832 Juta Gulden, Pegawai Pribumi Rame-rame Korupsi

26 Mei 2025 - 11:01 WIB

Cerita Hari Ini: Mangkunegaran Akhirnya Tak Bisa Netral dan Berperang Melawan Pasukan Diponegoro

25 Mei 2025 - 14:56 WIB

Wanita Meninggal 8 Menit dan Mengatakan Jiwa Tak Pernah Mati

24 Mei 2025 - 16:48 WIB

Trending di Uncategorized