Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Herman Willem Daendels (21 Oktober 1762 – 2 Mei 1818) adalah seorang perwira militer Belanda dan administrator kolonial yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari tahun 1808 hingga 1811.

Pada tahun 1780 dan 1787, ia ikut para kumpulan pemberontak di Belanda dan kemudian melarikan diri ke Prancis. Di sana ia menyaksikan dari dekat Revolusi Prancis dan lalu menggabungkan diri dengan pasukan Batavia yang republikan.
Akhirnya, ia mencapai pangkat Jenderal dan pada tahun 1795, ia masuk Belanda dan masuk tentara Republik Batavia dengan pangkat Letnan-Jenderal. Sebagai kepala kaum Unitaris, ia ikut mengurusi disusunnya Undang-Undang Dasar Belanda yang pertama.
Bahkan ia mengintervensi secara militer selama dua kali. Namun, invasi Inggris dan Rusia ke Provinsi Noord-Holland berakibat buruk baginya. Ia dianggap kurang tanggap dan diserang oleh berbagai pihak. Akhirnya, ia kecewa dan mengundurkan diri dari tentara pada tahun 1800. Ia memutuskan pindah ke Heerde, Gelderland.
Pada tahun 1806, ia dipanggil oleh Raja Belanda, Raja Louis (Koning Lodewijk) untuk berbakti kembali di tentara Belanda. Ia ditugasi untuk mempertahankan provinsi Friesland dan Groningen dari serangan Prusia. Lalu setelah sukses, pada tanggal 28 Januari 1807 atas saran Kaisar Napoleon Bonaparte, ia dikirim ke Hindia Belanda sebagai Gubernur-Jenderal.
Daendels tiba di Batavia pada 5 Januari 1808 menggantikan Gubernur-Jenderal Albertus Wiese. Daendels mengemban tugas yang diberikan oleh Raja Louis dari Hollandia untuk melakukan reformasi pemerintahan yang korup peninggalan VOC. Ia juga diberi pangkat militer tertinggi sebagai marsekal Hollandia —yang diberikan setahun sebelumnya— pada 28 Januari 1807 untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris.
Pangkat ini mulai berlaku ketika ia tiba di Jawa. Pengangkatan Daendels sebagai Marsekal Hollandia memunculkan rasa tidak senang dari Napoleon. Ia menganggap bahwa bangsa Belanda bukanllah bangsa yang bisa berperang dan tidak layak memiliki perwira dengan pangkat setinggi itu. Pada akhirnya ia menegur adiknya, Louis Bonaparte, yang pada saat itu menjadi Raja Hollandia.
Daendels tahu bahwa Batavia tidak akan pernah bisa dipakai sebagai pusat utama pertahanan Pulau Jawa. Istana tuanya, dengan tembok-tembok yang rapuh dapat dihancurkan dari laut Inggris yang superior. Iklimnya bisa membunuh serdadu garnisun bahkan sebelum musuh menyentuh pantai, serdadunya yang bisa mati karena iklim, tentu saja akan hancur dalam sekali gebrak oleh pasukan Inggris.
Instruksi kepada Daendels memberinya hak untuk memindahkan pusat kota ke daerah yang lebih sehat dan Gubernur Jenderal pendahulunya, Van Overstraten, telah membuat rencana untuk memindahkan kedudukan pemerintahan ke pedalaman Jawa Tengah, tempat kekuatan gabungan Belanda dan raja-raja Jawa dapat melawan kekuatan yang berjumlah lebih besar dalam jangka waktu yang lebih lama.
Daendels berpikir untuk memindahkan kota ke Surabaya namun ia urung melakukan rencana tersebut karena kesulitan memindahkan seluruh permukiman Batavia, gudang-gudangnya, dan kapal-kapal dengan barang dagangan yang berharga.
Surabaya sudah ia reorganisasi sebagai basis operasi militer yang lebih mumpuni ketimbang Batavia. Akhirnya ia menyerah. Tak jadi. Ia kesulitan memindah semua permukiman Batavia, yang penuh gudang-gudang dan berkapal-kapal barang dagangan berharga.
Pendahulunya yang mewarisi kebangkrutan VOC, Pieter Gerardus van Overstraten (1796-1801), juga sudah mengemukakan wacana pemindahan pemerintahan ke pedalaman Jawa Tengah pada akhir 1700-an. Menurut Leonard Blusse dalam bukunya Persekutuan Aneh; Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC (2004: 63-64), ia hendak memindahkan markas besarnya ke Surabaya atau Semarang.***