Menu

Mode Gelap

Headline

Masih Ada Sejumlah Kelemahan, Tapi OJK Malah Fokus Urusi Co-payment Asuransi

badge-check


					Masih Ada Sejumlah Kelemahan, Tapi OJK Malah Fokus Urusi Co-payment Asuransi Perbesar

Penulis: Jayadi | Editor: Aditya Prayoga

KREDONEWS.COM, JAKARTA- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kembali mengungkap kelemahan serius dalam pengawasan sektor jasa keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), khususnya di bidang asuransi dan pasar modal. Temuan ini tertuang dalam laporan hasil pemeriksaan atas kegiatan OJK selama tahun 2022 hingga semester II 2023. Meskipun sebagian besar kegiatan dinilai sesuai kriteria, BPK mencatat sejumlah masalah yang dapat mengganggu perlindungan konsumen dan stabilitas sektor keuangan.

Pemeriksaan ini dilakukan dalam rangka mendukung Pilar Pertumbuhan dan Daya Saing Ekonomi serta mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ke-8, yang mendorong penguatan lembaga keuangan domestik dan perluasan akses ke jasa keuangan.

1. OJK Belum Atur Subdana PAYDI

BPK menyoroti belum adanya aturan khusus mengenai subdana dalam Produk Asuransi yang Dikaitkan dengan Investasi (PAYDI) atau unit link. OJK belum memiliki kebijakan perizinan maupun mekanisme pengawasan atas pembentukan dan pengelolaan subdana.

“Hal tersebut mengakibatkan dana kelolaan PAYDI tidak dapat dievaluasi dan dimonitor secara optimal, sehingga menyulitkan perlindungan konsumen dalam memperoleh manfaat investasi sesuai strategi yang dijanjikan,” tulis BPK.

BPK mendesak agar Ketua Dewan Komisioner OJK memerintahkan Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian untuk segera menyusun regulasi bersama Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal terkait pengelolaan subdana PAYDI, dikutip dari Bloomberg Technoz, 10 Juni 2025

2. Investasi Perusahaan Asuransi Langgar Aturan

Temuan berikutnya adalah adanya pelanggaran dalam penempatan investasi oleh sejumlah perusahaan asuransi. BPK menemukan:

Satu perusahaan tidak memenuhi ketentuan batas minimum investasi di Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 30% dari total investasi.

Tiga perusahaan menempatkan investasi pada pihak terkait melebihi batas maksimum yang ditetapkan oleh Peraturan OJK.

Hal ini tidak hanya menggagalkan tujuan mendorong pembiayaan pembangunan melalui SBN, tetapi juga berpotensi menciptakan risiko sistemik akibat eksposur pada afiliasi yang bermasalah. Beberapa perusahaan bahkan terancam penurunan kesehatan keuangan akibat keterlibatan dengan anak usaha bermasalah.

BPK merekomendasikan OJK untuk segera mengambil tindakan pengawasan tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang melanggar guna melindungi pemegang polis dan menjaga ketahanan industri asuransi nasional.

3. Kebijakan Co-payment OJK Picu Polemik

OJK menetapkan aturan baru yang mewajibkan nasabah asuransi kesehatan membayar co-payment minimal 10% dari nilai klaim untuk produk indemnity dan managed care. Ketentuan ini mulai berlaku 1 Januari 2026, berdasarkan Surat Edaran OJK Nomor 7/SEOJK.5/2025. Batas maksimal co-payment ditetapkan sebesar Rp300.000 untuk rawat jalan dan Rp3 juta untuk rawat inap per klaim.

Kebijakan ini menuai kritik dari Komisi XI DPR. Anggota Komisi XI, Mukhamad Misbakhun, menyatakan aturan tersebut belum pernah dibahas sebelumnya dengan DPR dan akan mendorong rapat kerja untuk meminta penjelasan OJK mengenai dasar dan alasan kebijakan ini.

“Co-payment belum pernah dibahas dengan Komisi XI. Saya akan mendorong pimpinan komisi untuk mengagendakan rapat dengan OJK agar kami tahu latar belakang dan argumentasinya,” kata Misbakhun.

Ia mengakui bahwa lonjakan klaim asuransi kesehatan menjadi tekanan bagi industri, namun mengingatkan agar kebijakan baru tidak justru mengurangi kepercayaan publik terhadap asuransi.

“Dalam polis sudah ada kesepakatan bisnis antara nasabah dan perusahaan. Jika itu cukup, kenapa masih perlu co-payment? OJK seharusnya fokus membangun industri yang sehat dan melindungi konsumen,” ujarnya.

4. OJK Klaim Co-payment untuk Efisiensi dan Kendalikan Inflasi Medis

Menanggapi hal ini, Plt Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK, M. Ismail Riyadi, menyatakan bahwa kebijakan co-payment bertujuan mendorong efisiensi biaya kesehatan jangka panjang. Menurutnya, inflasi medis terus meningkat dan jauh melampaui inflasi umum, baik di Indonesia maupun secara global.

Ismail menyebut co-payment dapat mendorong penggunaan layanan kesehatan secara lebih bijak dan meningkatkan kualitas layanan, sekaligus menjaga premi tetap terjangkau.***

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Pameran Jogja Paradise 2025, Stand UMKM Pemkab Jombang Raih Juara 2 Nasional

15 September 2025 - 14:59 WIB

Tujuh ASN Inspektorat Jombang Ikuti Pelatihan 120 Jam Analis Standar Belanja

15 September 2025 - 14:18 WIB

100 Warga Gresik Ikuti Edukasi Keamanan Umum dari PT PGN, Arief Nurrachman: Jangan Segan Melapor

15 September 2025 - 13:51 WIB

56 ASN di lingkungan Pemerintah Kota Mojokerto menerima SK Kenaikan Pangkat

15 September 2025 - 13:03 WIB

Viral Aksi Demo Siswa SMK 1 Kampak Trenggalek: Urusan Uang tak Pernah Selesai!

15 September 2025 - 03:09 WIB

Delapan Tewas, Bus Wisata Angkut 52 Penumpang Alami Rem Blong di Jalur Bromo

15 September 2025 - 02:43 WIB

Investasi Rp 7,5 T, Satelit Komunikasi N5 Jamin Internet Lebih Cepat dan Lebih Luas

14 September 2025 - 20:16 WIB

Bupati Warsubi Meletakkan Batu Pertama Pembangunan SD Ar-Rahman Green School

14 September 2025 - 18:13 WIB

Harga Rp 150/Kg, DKPP Jombang Beri Bimtek 30 Warga Budidaya Losbter Air Tawar

14 September 2025 - 14:10 WIB

Trending di Headline