Menu

Mode Gelap

Uncategorized

Cerita Hari Ini: Pangeran Diponegoro Menolak Menjadi Sultan Yogyakarta Gegara Ini

badge-check


					Pangeran Diponegoro sangat benci Belanda Perbesar

Pangeran Diponegoro sangat benci Belanda

Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya

KREDONEWS.COM, SURABAYA-Boleh dikata siapa pun para pangeran Kerajaan Mataram baik yang lahir dari permaisuri maupun dari selir ingin menjadikan dirinya sebagai raja. Di zaman Anyakrawati (pengganti Senapati) misalnya, pada 1605 Pangeran Puger adipati Demak yang masih kakak lain ibu Anyakrawati memberontak kepada Mataram hanya ingin menggantikan Anyakrawati menjadi raja.

Pemberontakan Pangeran Puger akhirnya dapat diatasi dan Pangeran Puger beserta keluarga dibuang ke Kudus. Itu sekedar contoh. Namun tidak demikian dengan Pangeran Diponegoro (Dipanegara).

Sebenarnya penguasa Jawa, Raffles menginginkan agar Diponegoro nantinya menggantikan ayahandanya Sultan Hamengku Buwono III menjadi raja, apabila Sultan ketiga meninggal dunia.

Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta pada 11 November 1785. Ibunya merupakan seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati yang berasal dari Pacitan. Ayahnya bernama Gusti Raden Mas Suraja, yang di kemudian hari naik takhta bergelar Hamengkubuwana III.

Ketika dilahirkan, Diponegoro diberi nama Bendara Raden Mas Mustahar, kemudian diubah menjadi Bendara Raden Mas Antawirya. Nama Islamnya adalah Abdul Hamid. Setelah ayahnya naik takhta, Antawirya diwisuda sebagai pangeran dengan nama Bendara Pangeran Harya Dipanegara.

Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang cerdas, banyak membaca, dan ahli di bidang hukum Islam-Jawa. Dia juga tertarik kepada masalah-masalah keagamaan daripada masalah pemerintahan keraton. Itulah yang membuatnya dapat membaur dengan rakyat.

Dia lebih memilih tinggal di Tegalrejo, berdekatan dengan tempat tinggal eyang buyut putrinya, yakni Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, daripada tinggal di keraton.

Diponegoro mulai menaruh perhatian kepada masalah keraton ketika dirinya ditunjuk menjadi salah satu anggota perwalian untuk mendampingi Sultan Hamengkubuwana V yang saat itu baru berusia tiga tahun.

Dikarenakan masih kecil, pemerintahan keraton sehari-hari dikendalikan oleh Patih Danureja IV dan Residen Belanda. Dia tidak menyetujui cara perwalian seperti itu, sehingga melakukan protes. Pada akhirnya, Diponegoro dan Mangkubumi memilih mundur sebagai wali karena tidak setuju dengan pengelolaan keuangan yang merugikan keraton dan hanya menguntungkan Belanda dan kroni-kroninya, termasuk Danurejo IV.

Urusan-urusan dalam keraton kemudian diputuskan oleh Residen Smissaert dan Asisten Residen Chevallier, Ratu Ageng, Danurejo IV, komandan pengawal sultan Wironegoro, dan penerjemah Karesidenan Johannes Godlieb Dietreé.

Dalam Babad Diponegoro versi Manado, Sang Pangeran menulis bahwa pada masa pemerintahan Inggris di Jawa (1811-1816) sebelum ayahnya Pangeran Surojo dinobatkan menjadi sultan, Residen Yogyakarta John Crawfurd bertemu dengan Letnan Gubernur Raffles di Semarang.

Raffles berancana menggulingkan kekuasaan Sultan Hamengku Buwono II (Sultan Sepuh) yang selalu membangkang perintah Raffles. Setelah Sultan Sepuh ditaklukkan Inggris, maka Raffles berencana menaikkan Putra Mahkota (Pangeran Surojo) menjadi raja dan mengakui Pangeran Diponegoro (putra Pangeran Surojo) sebagai Pangeran Adipati (Putra Mahkota) yang baru.

Benar saja, pada tanggal 20 Juni 1812 Kesultanan Yogyakarta bedah. Raffles dengan tentara Inggris dan Sepoy yang dibantu Pangeran Natakusuma dan Tan Jin Sing dapat menggulingkan Sultan Sepuh dan kemudian dibuang ke Penang. Selanjutnya, Pangeran Surojo dinobatkan Raffles sebagai Sultan Yogyakarta, di wisma Residen John Crawfurd (sekarang Gedung Agung, Istana Presiden di Yogyakarta).

Ketika Pangeran Diponegoro akan diangkat Raffles menjadi Pangeran Adipati Anom (Putra Mahkota) tiba-tiba Diponegoro tidak bersedia. Alasan Diponegoro sederhana, bahwa dia tahu diri karena dia lahir dari seorang Raden Ayu Mangkorowati yang statusnya sebagai istri selir. Apabila dia bersedia menjadi Putra Mahkota maka itu akan merusak paugeran atau aturan kerajaan.

Untuk meyakinkan bahwa dia tidak akan pernah mau diangkat menjadi raja Yogyakarta, Sang Pangeran mengangkat sumpah di depan dua sahabatnya, anggota Suronatan (para ulama kerajaan). Dua sahabat Sang Pangeran itu bernama Kiai Rahmanuddin dan Kiai Muhammad Bahwi.

Dalam babadnya, Sang Pangeran berkata “Jika sampai aku lupa, aku jadikan kamu saksi atas tekad hatiku yang kukuh, biarlah aku tidak dijadikan Pangeran Adipati (Putra Mahkota). Bahkan jika aku kelak dijadikan sultan sekalipun oleh ayah (Pangeran Surojo) atau kakekku (Sultan Sepuh) aku tidak ingin terpaksa dan aku minta ampun kepada Yang Maha Kuasa. Tidak peduli berapa lama aku berada di dunia ini, aku akan selalu berdosa.”

Ujian yang menggiurkan itu akhirnya tiba juga. Sultan Hamengku Buwono III meninggal dunia di usia muda. Dia memerintah mulai 1812 dan meninggal pada tahun 1814.

Ketika Diponegoro ditawari menjadi raja oleh para sesepuh kerajaan, Sang Pangeran tetap tidak bersedia. Diponegoro hanya bersedia membimbing adiknya yang lain ibu, Putra Mahkota, Ibnu Jarot yang kelak menjadi Sultan Hamengku Buwono IV, yang saat itu baru berusia 8 tahun. Ibnu Jarot lahir dari permaisuri, Ratu Kencono.

Tentang tuduhan Kiai Mojo bahwa dalam Perang Jawa, perjuangan Sang Pangeran sudah bergeser dari perang membela agama Allah (fi sabilillah) ke perang untuk mencapai takhta dengan mendirikan kerajaan Islam di Dekso Kulonprogo itu soal lain, karena memang sejak Diponegoro memindahkan basis perjuangannya dari Selarong ke Dekso Kulonprogo, Sang Pangeran ditetapkan oleh para pengikutnya sebagai sultan dengan gelar Ingkang Jumeneng Kanjeng Sultan Ngabdul Khamid Erucakra Kabirul Mukminin Sayidin Panatagama Rasulullah SAW ing Tanah Jawi.

Artinya, Dia yang dinobatkan menjadi Yang Mulia Sultan Ngabdul Khamid Erucakra, Perdana di antara kaum Beriman, Pemimpin Iman, Penata Agama (Khalifah) Nabi Allah, semoga damai bagi-Nya, Di Jawa).***

 

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Cerita Hari Ini: Daendels Merekrut Tentara 20.000 Orang, Tak Mau Orang Jawa

27 Juni 2025 - 14:16 WIB

Cerita Hari Ini: Daendels Nyaris Pindahkan Batavia ke Surabaya

26 Juni 2025 - 12:49 WIB

Cerita Hari Ini: Hukuman Khas Daendels, Membariskan Manusia Menjadi Tiang Pancang Jembatan

25 Juni 2025 - 12:12 WIB

Cerita Hari Ini: Kasunanan Surakarta Punya Ghostbusters Namanya Legiun Canthang Balung

24 Juni 2025 - 13:30 WIB

Cerita Hari Ini: Goplem, Raksasa Gaib Pemimpin Para Danyang Penunggu Sitihinggil Keraton Solo

23 Juni 2025 - 11:13 WIB

Cerita Hari Ini: Meriam Legendaris Era Mataram Islam, Ada yang Berisyarat Cabul

22 Juni 2025 - 18:00 WIB

Beginilah Ujud Mother Ship, Drone Induk yang Mampu Angkut 100 Anak Drone

21 Juni 2025 - 20:00 WIB

Cerita Hari Ini: Gedung Sakral di Keraton Surakarta Ini Tempat Pertemuan Raja dan Ratu Kidul

21 Juni 2025 - 14:23 WIB

Cerita Gari Ini: Sri Sultan Hamengkubuwono IX PNS Pertama RI, Ini Penyebabnya

19 Juni 2025 - 14:04 WIB

Trending di Uncategorized