Menu

Mode Gelap

Headline

75.000 Ha Hutan Batang Toru Dibatat Penyebab Banjir Bandang Sumut, WALHI Sebut Ulah Tujuh Perusahaan

badge-check


					Inilah kerusakan eco sistem kawasan hulu hutan Batang Toru yang mengalami penggundulan hutan hingga 75.000 ha, menurut WALHI sebagai penyebab utama taerjadinya banjir bandang dan longsor di kwasan Sumatera Utara. Foto: mongabay Perbesar

Inilah kerusakan eco sistem kawasan hulu hutan Batang Toru yang mengalami penggundulan hutan hingga 75.000 ha, menurut WALHI sebagai penyebab utama taerjadinya banjir bandang dan longsor di kwasan Sumatera Utara. Foto: mongabay

Penulis: Yusran Hakim    |    Editor: Priyo Suwarno

KREDONEWS.COM, SUMUT-  WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) bersuara lantang penyebab banjir longsor yang membawa jutaan meter kubik kayu tebangan  yang menyebabkan bencana bagi jutaan warga di wilayah itu.

Disebutkan bahwa terjadi pembalakan skala besar antara 50.000-75.000 di kawasan Batang Toru terletak di provinsi Sumatera Utara, Indonesia, meliputi wilayah administratif di tiga kabupaten: Tapanuli Selatan (termasuk Kecamatan Batang Toru sebagai pusat), Tapanuli Utara, dan Tapanuli Tengah.​

Demikian pernyataan Jubir atau perwakilan resmi WALHI Sumut yang memberi keterangan terkait kerusakan hutan, deforestasi, dan tuduhan terhadap perusahaan di Batang Toru adalah Rianda Purba (Direktur Eksekutif WALHI Sumut) dan Jaka Kelana Damanik (Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Sumut).​

Rianda Purba menyatakan bahwa banjir dan longsor di Sumut disebabkan kerusakan Ekosistem Batang Toru oleh tujuh perusahaan, dengan bukti citra satelit menunjukkan area gundul dan gelondongan kayu yang terseret banjir, serta menuntut pemerintah hentikan aktivitas ekstraktif

Luas deforestasi hutan di ekosistem Batang Toru bervariasi menurut sumber dan periode, dengan estimasi kumulatif mencapai50.000–75.000 hektar dalam 10–15 tahun terakhir akibat berbagai aktivitas industri seperti tambang, PLTA, dan perkebunan, menurut Global Forest Watch dan WALHI Sumut.​

Estimasi Kumulatif
  • Total DAS Batang Toru (~250.000–330.000 ha) mengalami deforestasi signifikan ~30% dalam 5 tahun terakhir, atau sekitar 75.000–99.000 ha, terutama di hulu sungai yang memicu banjir dan longsor.​

  • Kontribusi spesifik PT Agincourt Resources (tambang Martabe): 603,21 ha per Oktober 2025 (dari 509 ha pada 2022), termasuk ekspansi tailing facility.​

  • PLTA Batang Toru: >350 ha hilang sepanjang 13 km sungai; PT Toba Pulp Lestari: ~37.000 ha hutan alam di hulu.​

Angka ini didasarkan pada analisis citra satelit, laporan WALHI/Satya Bumi, dan data independen, menunjukkan degradasi progresif yang memperburuk bencana hidrologis.​

Ekosistem Batang Toru mencakup Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru seluas sekitar 3.300 km² atau 163.000 ha hutan, membentang dari Siborongborong (Tapanuli Utara), Tarutung (Humbang Hasundutan), hingga muara di Sawongon, Muara Upu (Tapanuli Selatan), sekitar 256 km selatan Medan. Secara administratif, 66,7% berada di Tapanuli Utara, 22,6% di Tapanuli Selatan, dan 10,7% di Tapanuli Tengah, sebagai bagian dari perbukitan Bukit Barisan yang kaya biodiversitas.​

Wilayah ini dikenal sebagai habitat asli Orangutan Tapanuli, dengan tambang emas Martabe di Desa Aek Pining (Tapanuli Selatan), PLTA Batang Toru di Distrik Marancar-Sipirok-Batang Toru, serta perkebunan karet PTPN dan sawit.

Sumut menyoroti ketimpangan nyata di mana Ben Keswick, pemilik Jardine Matheson (induk Astra), menikmati keuntungan besar di Inggris, sementara warga Tapanuli menghadapi bencana banjir dan longsor yang dipicu oleh kerusakan hutan di daerah tersebut.
Kerusakan hutan ini sangat terkait dengan aktivitas PT Agincourt Resources, bagian dari Grup Astra, yang diduga kuat bertanggung jawab atas deforestasi yang memperparah bencana alam di Batang Toru.
WALHI juga menegaskan bahwa meskipun perusahaan mendapatkan pendapatan besar, kesejahteraan warga sekitar operasionalnya belum terpenuhi, dengan angka kemiskinan di sana masih tinggi sekitar 6,92%.​

 

Kerusakan hutan di hulu Batang Toru yang memicu banjir dan longsor adalah hasil pembukaan hutan yang berlebihan, yang menyebabkan area rawan bencana makin meluas.

Aktivitas pembukaan lahan oleh perusahaan-perusahaan, termasuk tambang emas dan perkebunan, telah memperparah kerusakan ekosistem yang penting bagi kelestarian lingkungan dan habitat satwa langka seperti Orangutan Tapanuli.

Citra satelit menunjukkan jelas area gundul di sekitar lokasi bencana, memperkuat dugaan keterlibatan perusahaan dalam perusakan hutan.​

Meskipun PT Agincourt Resources sebagai bagian dari Grup Astra memperoleh keuntungan finansial yang signifikan dari aktivitas tambang, warga lokal di sekitar Batang Toru masih hidup dalam kemiskinan dengan angka kemiskinan mencapai 6,92%.

Hal ini menunjukkan ketimpangan dalam distribusi manfaat ekonomi dari sumber daya alam yang ada, di mana keuntungan besar yang mengalir ke perusahaan dan pemilik modal tidak otomatis menyejahterakan masyarakat sekitar yang justru menanggung risiko besar bencana alam akibat kerusakan lingkungan.​

WALHI Sumut menuntut pemerintah menghentikan aktivitas industri ekstraktif di Ekosistem Batang Toru dan menegakkan hukum terhadap para pelaku perusakan lingkungan. Mereka juga mendesak perlindungan ekosistem Batang Toru lewat perencanaan tata ruang yang terpadu serta penyediaan bantuan dan mitigasi bagi warga terdampak bencana.​

Dasar WALHI menuduh Jardine Matheson dan Astra terkait kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial di Batang Toru adalah berdasarkan:
  • Aktivitas tambang emas PT Agincourt Resources (anak perusahaan Jardine Matheson yang juga induk Astra) yang telah menyebabkan deforestasi luas lebih dari 114 hektar dalam 15 tahun terakhir, yang berdampak langsung pada kerusakan habitat Orangutan Tapanuli dan ekosistem Batang Toru, memicu banjir dan longsor besar.​

  • WALHI menilai bahwa operasi tambang dan proyek energi yang dijalankan oleh perusahaan di bawah kendali Jardine Matheson/Astra merupakan penyebab utama kerusakan hutan dan bencana ekologis, yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka secara hukum dan moral.​

  • Selain kerusakan lingkungan, WALHI juga menuding perusahaan-perusahaan anak Jardine Matheson yang beroperasi di Sulawesi melakukan perampasan tanah masyarakat adat serta melakukan intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga yang memperjuangkan hak mereka, sehingga ada persoalan serius hak asasi manusia di balik operasional perusahaan ini.​

  • WALHI menuntut agar Jardine Matheson dan Astra bertanggung jawab dengan menghentikan aktivitas merusak lingkungan dan mengembalikan hak serta kesejahteraan masyarakat di wilayah terdampak.​

Jadi, tuduhan WALHI atas Jardine Matheson dan Astra berdasar pada bukti deforestasi, dampak ekologis serius, pelanggaran hak masyarakat adat, dan ketidakadilan dalam mengelola kekayaan alam yang mengakibatkan bencana dan kemiskinan di masyarakat lokal.

Angka 114 hektar berasal dari analisis WALHI Sumut menggunakan citra satelit dan data Global Forest Watch, yang mencatat hilangnya tutupan hutan di area tambang aktif sebesar 509 ha per Januari 2022, dengan 114 ha tumpang tindih langsung dengan ekosistem Batang Toru.

Laporan Mongabay dan Aliansi Tolak Tambang Martabe (Lantam) juga mengonfirmasi deforestasi ini terkait pembukaan lahan untuk pit tambang dan tailing management facility (TMF), yang merusak habitat orangutan Tapanuli.

Beberapa perusahaan telah membuka lahan di kawasan ekosistem Batang Toru dan sekitarnya, terutama untuk tambang emas, PLTA, geothermal, dan perkebunan, yang menyebabkan deforestasi signifikan.​

WALHI Sumut menyebut tujuh korporasi sebagai biang kerok kerusakan ekosistem:

  • PT Agincourt Resources: Tambang emas Martabe, deforestasi 300 ha (2015–2024), tumpang tindih 114 ha dengan Batang Toru.​

  • PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE): PLTA Batang Toru, hilang 350 ha hutan sepanjang 13 km sungai.​

  • PT Pahae Julu Micro-Hydro Power: PLTMH Pahae Julu.​

  • PT SOL Geothermal Indonesia: Geothermal di Tapanuli Utara.​

  • PT Toba Pulp Lestari: Perkebunan Kayu Rakyat (PKR) eukaliptus, ribuan ha di DAS Batang Toru.​

  • PT Sago Nauli: Perkebunan sawit di Tapanuli Tengah.​

  • PTPN III: Perkebunan sawit di Batang Toru, Tapanuli Selatan.​

Aktivitas ini mencakup pit tambang, tailing facility, bendungan, dan konversi hutan menjadi perkebunan, yang mempercepat banjir, longsor, dan sedimentasi sungai di hulu DAS Batang Toru seluas 1.639 km². Konsesi Agincourt mencapai 130.429 ha dengan proyeksi tambang 918 ha.​ **

 

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Aceh Tamiang Lumpuh Total, 120.000 Jiwa Terisolasi Jalan Rusak Jemabatan Putus

1 Desember 2025 - 05:37 WIB

Konflik Berakar dari Pengelolaan Tambang, KH Sarmidi Bantah Pernyataan Mahfud MD

1 Desember 2025 - 04:52 WIB

TNI AL Kerahkan KRI dan Bantuan Kemanusiaan Besar ke Sumut, Sumbar dan Aceh

30 November 2025 - 19:41 WIB

Massa dan Ketua DPRD Sumut Erni Sitorus dan Anggota di Jalanan Tanah Becek

30 November 2025 - 18:46 WIB

Rais Aam PBNU Sampaikan Segera Gelar Muktamar

30 November 2025 - 18:14 WIB

Empat Orang Sekeluarga Tewas Seketika Satu Balita Luka-luka, Akibat KA Mutiara Hantam Accord di Beji Pasuruan

30 November 2025 - 18:07 WIB

Peringatan Hari Ulang Tahun ke-54 KORPRI Kota Mojokerto Digelar dengan Sederhana

30 November 2025 - 13:09 WIB

Bupati Mojokerto Salurkan BLT Sementara Senilai 47 M

30 November 2025 - 12:53 WIB

Gunung Semeru Meletus Tiga Kali Sehari setelah Statusnya Diturunkan

30 November 2025 - 12:02 WIB

Trending di Nasional