KREDONEWS, YOGYAKARTA – Perang antara Etnis, Agama, Ras serta Bencana menjadi masalah yang harus mendapatkan perhatian khusus. Pasalnya, menurut data United Nations High Commisioner for Refugees (UNHCR) menerangkan, pada akhir 2022 lalu terdapat 108,4 juta jiwa pengungsi migrasi dari seluruh dunia yang terpaksa berpindah tempat tinggal, dengan sebanyak 76% dari mereka ditampung di negara-negara dengan penghasilan rendah hingga menengah. Hal ini menyebabkan wilayah perkotaan menjadi garda terdepan dalam membantu pengelolaan masalah tersebut.
Menanggapi perihal tersebut, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (FIB UGM) bersama dengan Resilience Development Initiative Urban Refugees (RDI UREF) Research Group berencana menyelenggarakan Konferensi International Association for the Study of Forced Migration (IASFM) yang akan berlangsung pada 20-23 Januari 2025 mendatang di Kampus UGM.

Dilansir dalam ugm.ac.id, dekan FIB UGM, Prof. Dr. Setiadi, M.Si mengatakan konferensi internasional yang mengambil tajuk “Forced Displacement in an Urbanizing World” ini bertujuan untuk memajukan pengetahuan dan aktivisme, dengan fokus khusus pada isu-isu kota dan perpindahan penduduk, khususnya di kawasan Asia-Pasifik. Dalam acara ini pula nanti akan menghadirkan kontribusi para ahli dari internasional dan lokal, serta para peneliti pemula, mahasiswa, dan para peminat yang akan memperkaya diskusi.
“Diharapkan mereka dapat saling bertukar pengetahuan dari berbagai macam disiplin ilmu, terkait isu migrasi paksa dan manajemen kota ini sehingga yang memungkinkan adanya kolaborasi dan kerja sama di masa depan,” kata Setiadi dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (3/1).
Melalui kolaborasi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional serta berbagai pihak lain, ujarnya, konferensi ini dapat berkontribusi dalam penyusunan ringkasan kebijakan tentang perpindahan paksa yang dapat menjadi acuan arahan penyusunan kebijakan dalam pemerintahan di masa mendatang. Sebab, permasalahan migrasi paksa pada kawasan Asia-Pasifik yang telah mengalami peningkatan signifikan seiring dengan adanya migrasi reguler.
Pada tahun 2023, kawasan ini menampung sekitar 14,7 juta orang yang menjadi perhatian UNHCR, termasuk 7 juta pengungsi dan pencari suaka, 4,9 juta pengungsi dalam negeri, dan 2,5 juta orang tanpa kewarganegaraan. “Sayangnya, banyak negara berkembang di kawasan ini tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk merespons kebutuhan para pengungsi, dengan contoh-contoh praktik ideal dan mekanisme yang terbatas,” ungkapnya.
Di Indonesia sendiri, kata Setiadi, risiko pengungsian internal meningkat akibat kerentanan terhadap bencana alam, urbanisasi yang cepat, pertumbuhan penduduk, dan konflik internal. Menurut Internal Displacement Monitoring Center (IDMC), pada akhir tahun 2021, Indonesia mencatat 749.000 pengungsi internal.
Jumlah tersebut termasuk 73.000 pengungsi akibat konflik dan kekerasan, serta 155.000 pengungsi akibat bencana dan faktor lingkungan. Apalagi Indonesia menjadi tuan rumah bagi lebih dari 12.000 pengungsi dan pencari suaka yang terdaftar di UNHCR di beberapa kota besar berdasarkan laporan UNHCR April Fact Sheet tahun 2024 lalu.
Konferensi internasional, IASFM 2025 pun menawarkan berbagai program untuk para pesertanya yang beragam. Kegiatan pra-konferensi mencakup dua lokakarya yang dirancang untuk mahasiswa dan peneliti pemula dengan tajuk “Creative Research Methods and Ethics of Conducting Research on Forced Displacement” dan ”Design Thinking and Forced Displacement as a Wicked Problem”. Tak hanya itu, selama konferensi, para peserta dapat menghadiri sesi pleno, ignite stage, special stage, atau menikmati instalasi seni dan pameran stan.
Kemudian, puncak dari acara ini adalah sesi pleno, yang menampilkan tiga topik penting yaitu “Refleksi tentang Agenda Global untuk Migrasi Internasional” “(Re)Konsepsi Penggusuran Perkotaan dan Hak atas Kota” dan “Pendekatan Kontemporer terhadap Penggusuran Perkotaan”. Topik-topik ini dipilih untuk membahas bagaimana isu migrasi dan perpindahan penduduk ke perkotaan yang telah berkembang selama bertahun-tahun.
Sedang sesi utama yang ditawarkan, berfokus pada pendekatan regional dan perpindahan perkotaan di Asia-Pasifik dalam format meja bundar. Adapun topik yang diangkat diantaranya mencakup proses Bali, ASEAN, SAARC, Forum Kepulauan Pasifik, dan kerja sama multilateral lainnya di kawasan di kawasan Asia-Pasifik, pengungsian Rohingya, dan gerakan yang dipimpin oleh pengungsi dan advokasi untuk mendapatkan hak atas kota.
Selanjutnya, penyelenggara konferensi IASFM 2025, yang merupakan bagian dari jaringan advokasi untuk manajemen pengungsi di Indonesia, akan menerapkan hasil diskusi menjadi solusi praktis. Diharapkan pula dari penyelenggaraan IASFM 2025 ini akan memberikan kontribusi signifikan terhadap perubahan kebijakan berbasis bukti di Indonesia dan kawasan yang lebih luas.