Penulis: Saifudin | Editor: Priyo Suwarno
KREDONEWS.COM, SURABAYA- Kasus tanah seluas 220,4 hektar (2.202 juta m2) di kawasan Darmo Hill, Surabaya, sedang menjadi sengketa antara warga Perumahan Darmo Hill dan PT Pertamina (Persero). PT Pertamina mengklaim sebagian lahan di kawasan itu sebagai aset eks eigendom (dokumen kepemilikan dari masa kolonial Belanda).
NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) tanah di kawasan Darmo Hill Surabaya pada tahun 2025 diperkirakan berkisar antara Rp7,5 juta hingga Rp40 juta per meter persegi, tergantung lokasi dan tipe kavling di kawasan tersebut. Taksiran nilai tanah tersebut antara Rp 16,53 triliuan hingga Rp 88,16 triliun.
Kasus ini mulai terungkap dan deras meluncur ke medsos dari akun instagram@cakj1, Wakil Walikota Surabaya, M Armuji, yang tengah berupaya membantu menyelesaikan ancaman kasus besar persengketaan tanah di wilayah Surabaya.
Akibat klaim ini, sekitar 300 kepala keluarga (KK) di Darmo Hill mengalami kesulitan dalam mengurus legalitas tanah, terutama untuk mengubah Hak Guna Bangunan (HGB) menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM). Bahkan transaksi jual beli properti menjadi terhambat.
Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji, sudah turun tangan dan mendampingi warga, mendesak Pertamina melakukan verifikasi lapangan secara komprehensif, bukan hanya mengandalkan dokumen lama semata. BPN Surabaya juga memberi jaminan perlindungan hak warga yang memiliki bukti kepemilikan sah.
Permasalahan ini menjadi perhatian serius karena Darmo Hill adalah kawasan hunian resmi yang sudah puluhan tahun dihuni, dan klaim mendadak ini berpotensi menimbulkan kegaduhan. Armuji mendorong warga agar pengaduan disampaikan sampai tingkat DPR RI untuk solusi hukum yang jelas.
Singkatnya, kasusnya adalah sengketa lahan lama yang melibatkan klaim aset bekas eigendom Pertamina atas tanah-tanah di Darmo Hill, berdampak pada kesulitan hukum bagi warga pemilik tanah yang telah menghuni kawasan tersebut puluhan tahun, dengan nilai tanah yang dilaporkan sekitar 200 juta dan nilai kerugian dari hambatan sertipikat.
-
Puluhan tahun warga Darmo Hill menghuni dan memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) maupun Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah tersebut. Warga merasa tanah tersebut sah secara hukum dan sudah dilakukan transaksi jual beli dari pengembang resmi.
-
Pada November 2023, PT Pertamina mengirim surat ke Kantor Pertanahan Surabaya I dengan klaim berdasarkan perjanjian tahun 1965 terkait aset eks Eigendom Verponding No. 1278. Klaim ini adalah hasil rekonstruksi batas fisik dan verifikasi dokumen lama milik BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) yang kemudian menjadi aset negara dan dipegang Pertamina.
-
Setelah klaim tersebut, Kantor Pertanahan disarankan oleh Pertamina untuk menangguhkan sementara pendaftaran hak atas tanah di wilayah eks Eigendom 1278 sampai proses verifikasi dan rekonstruksi selesai, yang berdampak pada warga sulit mengurus perpanjangan HGB dan transaksi jual beli.
-
Sejak September 2024, warga mulai merasakan dampak klaim tersebut, beberapa sertifikat SHM terindikasi sebagai bagian dari eigendom Pertamina, sehingga transaksi properti mereka terhambat.
-
Pada September 2025, situasi memuncak ketika warga Darmo Hill resah karena status tanah mereka terancam dicaplok dan kalah dari klaim Pertamina. Sekitar 300 KK terdampak langsung.
-
Wakil Wali Kota Surabaya Armuji turun tangan mendampingi warga. Ia menilai klaim baru muncul setelah puluhan tahun perumahan berdiri, tanpa sosialisasi sebelumnya. Armuji mendesak agar klaim tidak hanya berdasar dokumen lama, tapi juga verifikasi lapangan.
-
Warga dan DPRD Surabaya juga mengawal kasus ini ke tingkat kementerian BUMN dan berencana membawanya ke Komisi VI DPR RI untuk mendapatkan solusi dan kejelasan hukum karena sengketa ini melibatkan aset BUMN.
-
Luas tanah yang diklaim mencapai 220,4 hektare, bukan hanya di Darmo Hill tapi juga beberapa area lain yang membuat kekhawatiran warga makin besar.
Singkatnya, kasus ini berawal dari klaim aset lama Pertamina berdasarkan dokumen dan batas fisik yang direkonstruksi, yang bentrok dengan kepemilikan legal warga yang sudah tinggal puluhan tahun dan memiliki sertifikat resmi. Dampaknya penangguhan hak tanah dan kesulitan hukum merugikan warga secara sosial dan ekonomi.**