Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Nama asli Sultan Hamengkubuwana VI adalah Gusti Raden Mas Mustojo, merupakan putra kedua belas Sultan Hamengkubuwana IV yang lahir pada tahun 1821 dari permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Kencono.

Hamengkubuwana VI naik takhta menggantikan kakaknya, yaitu Hamengkubuwana V pada tahun 1855, setelah Hamengkubuwana V tewas dibunuh oleh selirnya sendiri (istri ke-5) Kanjeng Mas Ayu Hemawati ditengah ketidakstabilan politik di kesultanan Yogyakarta.
Pada tahun 1839, Raden Mas Mustojo diberi gelar Pangeran Adipati Mangkubumi. Ia juga mendapatkan pangkat letnan kolonel dari pemerintah Hindia Belanda.
Kemudian, permaisuri kedua Sultan Hamengkubuwono V yaitu Gusti Kanjeng Ratu Sekar Kedaton melahirkan putra pada 18 Juni 1855.
Seharusnya yang naik tahta menggantikan Sultan Hamengkubuwono V adalah putra mahkota tersebut yang bernama Gusti Raden Mas Timur Muhammad.
Akan tetapi, Raden Mas Mustojo memaksakan diri untuk menjadi raja dan membuat perjanjian dengan Gusti Kanjeng Ratu Sekar Kedaton.
Perjanjian itu berisi bahwa Raden Mas Mustojo menjadi raja hanya sementara sambil menunggu Gusti Raden Mas Timur Muhammad dewasa.
Ketika Gusti Raden Mas Timur Muhammad dewasa, Sultan Hamengkubuwono VI mengulur waktu dan hanya mengangkatnya menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Suryaning Alaga.
Ketika Sultan Hamengkubuwono VI semakin tua, ia malah mengangkat anaknya sebagai putra mahkota untuk menjadi raja penggantinya.
Hal ini bertentangan dengan janji yang telah dibuat dengan Gusti Kanjeng Ratu Sekar Kedaton sebelumnya.
Pada masa Hamengkubuwana V, Gusti Raden Mas Mustojo adalah seorang penentang keras kebijakan politik perang pasif kakaknya yang menjalankan hubungan dekat dengan pemerintahan Hindia Belanda yang ada di bawah Kerajaan Belanda. Namun, setelah kakaknya meninggal dan dia dinobatkan menjadi raja, semasa pemerintahannya dia justru melanjutkan kebijakan dari kakaknya yang sebelumnya dia tentang keras.
Oleh karena itu, timbul pemberontakan yang tidak mengakui masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VI. Pada akhirnya, pemberontakan dapat ditumpas oleh Patih Danurejo V.
Semasa pemerintahan Hamengkubuwana VI Hubungan dengan berbagai kerajaan pun terjalin, apalagi setelah beliau menikah dengan putri Kesultanan Brunai.
Walaupun sempat menimbulkan beberapa sengketa dengan kerajaan-kerajaan lain, tercatat bahwa Sultan Hamengkubuwono VI dapat mengatasinya dengan arif bijaksana. Akan tetapi, lambat laun hubungan dengan pemerintahan Hindia Belanda agak mulai menuai konflik terutama karena keraton Yogyakarta kala itu banyak menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan yang menjadi musuh pemerintah Hindia Belanda dan Kerajaan Belanda.
Pemerintahan Hamengkubuwana VI berakhir ketika ia meninggal dunia pada tanggal 20 Juli 1877. Ia digantikan putra tertuanya, Gusti Raden Mas Murtejo, sebagai sultan selanjutnya bergelar Hamengkubuwana VII.
Naiknya Hamengkubuwana VII menggantikan ayahnya Hamengkubuwana VI sebagai raja Yogyakarta yang baru mendapat tentangan dari permaisuri Almarhum Sultan Hamengkubuwana V, Gusti Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton, karena seharusnya yang naik takhta adalah Gusti Raden Mas Timur Muhammad putra Hamengkubuwana V.
Keduanya lalu ditangkap dengan tudingan telah melakukan pembangkangan terhadap raja dan istana. Hukuman pun dijatuhkan, sekaligus untuk menghapus trah Sultan Hamengkubuwana V dan demi melanggengkan kekuasaan Sultan Hamengkubuwana VII beserta keturunannya nanti. Gusti Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton dan Gusti Raden Mas Timur Muhammad harus menjalani hukuman buang ke Manado, Sulawesi Utara, hingga keduanya meninggal dunia di sana.***