Penulis: Satwiko Rumekso | Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Iran melakukan serangan balasan ke pangkalan udara militer Amerika Serikat di Qatar, sebagai respons terhadap serangan udara AS ke tiga fasilitas nuklir utama Iran. Namun, serangan ini dinilai bersifat simbolis, lebih sebagai pesan politik daripada upaya nyata memulai eskalasi militer baru.

Sumber terpercaya mengungkapkan bahwa serangan ini merupakan hasil perintah langsung dan rahasia dari Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, yang disampaikan dari bunker perlindungan di Teheran.
Khamenei, menurut empat pejabat senior Iran, secara tegas memerintahkan agar tidak ada korban dari pihak Amerika Serikat. Tujuannya jelas: menunjukkan perlawanan, namun tetap menghindari balasan militer besar-besaran dari Washington.
Lebih menarik, sebelum peluncuran 14 rudal ke arah pangkalan militer AS di Qatar, Iran dilaporkan telah memberi tahu Qatar dan bahkan pihak Amerika. Pesan diplomatik dikirimkan melalui perantara, menandai keinginan kuat Iran untuk menghindari tragedi yang lebih luas. Qatar pun menutup wilayah udara nasionalnya, dan pasukan AS meningkatkan siaga hingga ke level tertinggi. Hasilnya, 13 rudal berhasil ditembak jatuh di udara, sedangkan satu sisanya jatuh tanpa menimbulkan kerusakan atau korban.
Presiden Donald Trump, yang saat itu menghadiri KTT NATO di Den Haag, Belanda, secara terbuka menyampaikan apresiasi kepada Iran atas peringatan dini tersebut. Melalui akun Truth Social, Trump mengucapkan terima kasih dan menekankan pentingnya komunikasi untuk menghindari jatuhnya korban serta mendorong segera tercapainya gencatan senjata antara Israel dan Iran.
Momentum Baru Diplomasi Timur Tengah
Pejabat Gedung Putih menegaskan bahwa Trump menghargai langkah Iran yang memilih menahan diri. Sementara itu, Wakil Presiden AS, JD Vance, dalam unggahan di platform X menyebut, “Berkat kepemimpinan Trump yang berani, program nuklir Iran kini telah dihancurkan. Ini adalah momen bersejarah dan langkah besar menuju perdamaian abadi di Timur Tengah.”
Analis politik melihat keputusan Trump dan manuver diplomasi yang terjadi telah menekan tombol reset bagi kawasan. Upaya ini membuka harapan baru bagi stabilitas dan perdamaian jangka panjang, meskipun ancaman konflik belum sepenuhnya menghilang.
Iran sendiri telah secara terbuka menyatakan tidak berniat memperluas konflik. Kondisi sistem pertahanan udara yang rusak, kekuatan misil yang lumpuh, serta batalnya rencana serangan lanjutan menunjukkan bahwa Iran kini dalam posisi defensif. Amerika Serikat pun menegaskan komitmennya untuk terus mengawasi dan mencegah Iran membangun kembali kemampuan nuklir dan rudalnya.
Meskipun secara fakta serangan balasan Iran tidak menyebabkan kerusakan berarti, media pemerintah Iran tetap menggembar-gemborkan keberhasilan Garda Revolusi yang konon berhasil menghantam “jantung pertahanan” AS di kawasan. Sementara itu, Badan Energi Atom Iran menyatakan tekad untuk tetap melanjutkan program nuklir, bahkan siap mengaktifkan kembali pengayaan uranium jika diperlukan.
Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, dalam wawancara dengan Al Jazeera menegaskan:
“Kami telah mengorbankan banyak hal untuk kemajuan teknologi ini. Para ilmuwan kami telah rela mempertaruhkan nyawa. Bangsa Iran telah melalui berbagai tantangan, termasuk perang yang panjang. Kami tidak akan pernah menyerah terhadap pengembangan teknologi nuklir.”
Namun demikian, guncangan internal tetap terasa, apalagi setelah kematian Reza Sedighi Saber, salah satu ilmuwan nuklir senior Iran, dalam serangan malam Israel di Iran utara. Sabir diketahui masuk dalam daftar sanksi Amerika Serikat dan merupakan salah satu target kunci dalam operasi rahasia.
Penyelidikan mendalam Washington Post mengungkap bahwa skenario perang dengan Iran sudah dirancang jauh-jauh hari oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Sejak musim gugur tahun lalu, Netanyahu memerintahkan militer Israel untuk mempersiapkan skenario penyerangan, termasuk sistematis menghancurkan sistem pertahanan udara di negara-negara tetangga Iran.
Israel juga menyusun “daftar target eksekusi” yang berisi nama puluhan ilmuwan dan pejabat tinggi militer Iran. Mossad, badan intelijen Israel, telah menanam jaringan mata-mata, memasang drone bunuh diri dan sistem rudal dalam wilayah Iran sebelum operasi besar-besaran dimulai.
Hasilnya sudah terlihat: hingga saat ini, sedikitnya 10 ilmuwan nuklir utama Iran dilaporkan tewas, dan program nuklir Teheran praktis lumpuh.
Dalam pernyataan resminya pada 24 Juni, Trump kembali menegaskan:
“Iran tidak akan mengayakan uranium. Mereka tidak akan pernah memiliki senjata nuklir. Iran seharusnya menjadi negara dagang yang hebat dengan kekayaan minyak dan potensi sumber dayanya. Inilah waktu untuk berkembang, bukan untuk perang. Saat ini, prioritas Iran bukan lagi senjata nuklir.”
Direktur Program Iran di International Crisis Group, Ali Vaez, menilai bahwa seluruh pihak kini berupaya menyelamatkan muka:
“Amerika bisa mengklaim telah menghancurkan fasilitas nuklir Iran. Israel bisa merasa berhasil melumpuhkan musuh utamanya. Sedangkan Iran, tetap menjaga harga diri di hadapan rakyatnya dengan mengumumkan bahwa mereka telah melawan balik. Semua pihak menjaga martabat politik sekaligus menghindari perang besar.”
Media Iran melaporkan bahwa Presiden Iran Masoud Pezeshkian dan Putra Mahkota Saudi, Mohammed bin Salman, telah melakukan pembicaraan intensif, menyepakati perlunya mencari solusi damai bersama Amerika Serikat dengan melibatkan forum internasional. Inisiatif ini diharapkan dapat meredakan ketegangan dan membuka jalan rekonsiliasi di kawasan yang selama ini diwarnai konflik.
Sementara itu, Kepala Staf Militer Israel, Eyal Zamir, menegaskan bahwa operasi militer terhadap Iran belum selesai, namun kini militer Israel akan kembali memfokuskan prioritas pada konflik di Gaza melawan Hamas.
Konflik panas antara Iran, Israel, dan Amerika Serikat kembali menunjukkan bahwa kekuatan diplomasi dan komunikasi masih sangat menentukan arah perang dan damai di kawasan Timur Tengah. Meski aksi balasan dan operasi militer terus berlangsung, masing-masing pihak berusaha menahan diri untuk menghindari pecahnya perang yang lebih luas. Peristiwa ini menjadi penanda babak baru, di mana pertarungan kepentingan, kekuatan militer, dan strategi diplomasi saling berpacu menentukan masa depan stabilitas kawasan.***