Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Keputusan Federasi Bola Voli Internasional (FIVB) untuk memberikan Vietnam tiga kekalahan dan mengubah skor pertandingan lain di Kejuaraan Bola Voli Dunia Wanita U21 2025, setelah kurang dari 24 jam penyelidikan, telah memicu perdebatan dan pertanyaan yang meluas.
Vietnam memulai debut mereka di turnamen dunia remaja di Indonesia tahun ini dan tampil mengesankan dengan mengalahkan tuan rumah Indonesia 3-0, kemudian mengalahkan Serbia, Kanada, dan Puerto Riko masing-masing 3-1. Satu-satunya kekalahan mereka di babak penyisihan grup adalah kekalahan 1-3 dari unggulan kedua Argentina, yang menempatkan mereka di posisi kedua Grup A dan lolos ke babak 16 besar melawan Turki.
Namun, tepat setelah babak penyisihan grup berakhir, FIVB mengumumkan Selasa malam bahwa kemenangan Vietnam atas Serbia, Kanada, dan Indonesia akan diubah menjadi kekalahan 0-3, dan kekalahan 1-3 mereka dari Argentina berubah menjadi 0-3. Badan pengatur tersebut menyebutkan pelanggaran aturan kelayakan kompetisi oleh seorang pemain, tetapi tidak memberikan detail tentang atlet tersebut atau alasannya. Pemain tersebut tidak bertanding dalam kemenangan atas Puerto Riko pada hari Selasa, sehingga hasil pertandingan tersebut tetap berlaku.
Dang Thi Hong dan Nguyen Phuong Quynh absen dari pertandingan melawan Puerto Riko. Hong, pencetak poin kunci dengan 83 poin, peringkat ketiga di turnamen ini di belakang Santi (86) dari Indonesia dan Rejmanova (85) dari Republik Ceko, telah menjadi bagian penting dari kesuksesan Vietnam.
Hukuman tersebut menjatuhkan Vietnam dari posisi kedua di grup ke posisi terbawah, yang memaksa mereka bermain di pertandingan klasifikasi ke-17-24 alih-alih bersaing untuk memperebutkan tempat di semifinal.
Potensi pelanggaran
Dalam olahraga tingkat atas, pelanggaran kelayakan yang umum terjadi meliputi penipuan usia, doping, berkompetisi saat sedang diskors, atau kelayakan gender, yang terakhir menjadi topik yang sangat sensitif dan kontroversial.
Di Kejuaraan Dunia U-21, pemain diidentifikasi melalui akta kelahiran dan paspor. Biasanya, panitia penyelenggara hanya memeriksa dokumen-dokumen dasar, tetapi jika muncul masalah atau keluhan selama turnamen, FIVB dapat mengirimkan subkomite untuk menyelidiki tanpa memberi tahu tim. Sanksi dapat dijatuhkan meskipun tim telah mematuhi prosedur standar.
Menurut Administrasi Olahraga Vietnam, peraturan kelayakan atlet FIVB dalam kasus ini bersifat darurat dan belum diinformasikan kepada federasi anggota sebelumnya.
“Apa dasar FIVB mengeluarkan peraturan tambahan dan memberikan sanksi kepada atlet Vietnam?” tanya pihak administrasi, seraya menambahkan bahwa untuk saat ini tim akan mematuhi peraturan FIVB, tetap profesional, dan terus berkompetisi.
Pada hari Rabu, Federasi Bola Voli Vietnam (VFV) mengonfirmasi pihaknya mengajukan pengaduan resmi berdasarkan prosedur FIVB dan bekerja sama dengan otoritas Vietnam untuk melindungi hak-hak para atlet dan reputasi bola voli Vietnam.
VFV telah menuntut klarifikasi terkait pelanggaran spesifik dan standar yang diterapkan. Jika terdapat pengujian yang terlibat, federasi ingin mengetahui jenis pengujian yang dilakukan dan apakah laboratorium tersebut memenuhi standar Komite Olimpiade Internasional (IOC).
Seorang perwakilan VFV mengatakan FIVB awalnya mengambil sampel darah dan urine dari beberapa atlet Vietnam tanpa menjelaskan tujuannya, sambil juga meminta catatan pemain asli untuk perbandingan.
“Ini tidak melanggar peraturan, tapi kami menganggapnya hanya permintaan tes doping biasa,” ujarnya dengan nada kecewa, seraya menambahkan bahwa sanksi berat tersebut mungkin langsung dijatuhkan karena pertandingan sistem gugur dijadwalkan keesokan harinya.

Saat melawan Argentina
Pertanyaan kelayakan gender
Peraturan umum FIVB menyatakan bahwa jenis kelamin atlet disertifikasi melalui akta kelahiran. Atlet dapat mengubah jenis kelamin satu kali, tetapi harus membuktikan kepada Komite Status Gender FIVB bahwa hal tersebut tidak memberikan keuntungan kompetitif, berdasarkan proses peninjauan yang terperinci.
FIVB tidak mewajibkan pengujian gender seperti World Athletics, tetapi dapat meminta pengujian acak berdasarkan suatu proses.
Dalam kasus Vietnam, proses dari pengambilan sampel hingga pemberian sanksi memakan waktu kurang dari 20 jam, sebuah insiden yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah FIVB. Hal ini memicu skeptisisme di kalangan penggemar Vietnam dan Asia Tenggara, bahkan ada yang membandingkannya dengan kasus pemain Indonesia Aprilia Manganang.
Manganang, 33, terkenal karena permainannya yang kuat, sering mendominasi pemain perempuan lain, memicu spekulasi tentang gendernya. Meskipun ada keluhan dari Filipina dan Thailand di SEA Games, tidak ada investigasi yang dilakukan, dan FIVB bahkan dipuji karena membela kebebasan pribadi para atlet.
Pada tahun 2021, tes medis mengungkapkan bahwa Manganang menderita hipospadia, suatu kondisi bawaan yang menyebabkan perkembangan alat kelamin tidak sempurna, yang berarti ia secara biologis berjenis kelamin laki-laki. Ia kemudian menjalani operasi, menikah, dan memiliki anak.
“Saya tidak tahu apakah ada bias, tetapi FIVB jelas tidak konsisten dalam menangani kasus serupa,” kata seorang pakar bola voli Vietnam, memperingatkan bahwa sanksi cepat tersebut dapat merugikan atlet muda Vietnam dan menciptakan preseden yang meresahkan.
Seorang perwakilan dari Departemen Sains dan Kedokteran Olahraga di Pusat Pelatihan Olahraga Nasional Vietnam mencatat bahwa menentukan kromosom XX (perempuan) atau XY (laki-laki) pun tidak selalu mudah. Penentuan tersebut harus dilakukan dengan hati-hati karena dampaknya yang signifikan terhadap atlet dan negara.
Para pakar medis IOC dan federasi atletik, renang, dan tinju telah mengakui bahwa anatomi, hormon, dan kromosom mungkin tidak selalu selaras. Misalnya, seorang perempuan dengan kromosom XY, tanpa rahim, alat kelamin perut, dan testosteron tinggi mungkin masih secara hukum diklasifikasikan sebagai perempuan. PBB memperkirakan bahwa 0,05–1,7% populasi global adalah interseks.
Kelayakan gender khususnya menjadi kontroversi dalam beberapa tahun terakhir, termasuk pada Olimpiade Paris 2024 dengan kasus petinju Taiwan Lin Yu Ting dan Imane Khelif dari Aljazair.
Khelif didiskualifikasi dari Kejuaraan Dunia Wanita 2023 karena kadar testosteronnya yang tinggi. Asosiasi Tinju Internasional kemudian mengonfirmasi bahwa ia memiliki kromosom XY, dan merekomendasikan agar ia dikeluarkan dari Paris. Namun, IOC mengizinkannya bertanding berdasarkan paspor dan dokumen medis, standar yang juga digunakan di Olimpiade Tokyo 2020, dan ia kemudian memenangkan medali emas di kategori 66kg putri.***