Penulis : Jayadi | Editor : Aditya Prayoga
KREDONEWS.COM- JAKARTA- Perum Bulog menargetkan penyerapan 2 juta ton gabah selama musim panen (Februari-April 2025) dengan harga Rp6.500/kg sesuai keputusan Bapanas. Direktur Utama Bulog, Mayjen Novi Helmy, menyiapkan langkah strategis, termasuk:

1. Kolaborasi Multisektor: Sinergi dengan TNI (Babinsa) untuk pengawasan panen, pasca-panen, dan sosialisasi harga.
2. Penyiapan Infrastruktur: Optimalisasi gudang Bulog dan penggunaan fasilitas Kodim sebagai cadangan penyimpanan gabah.
3. Pengawasan Terstruktur: Keterlibatan Kemendagri untuk memastikan pemerintah daerah (bupati, camat, kades) memonitor penyerapan gabah secara mingguan.
4. Penegakan Harga: Aparat kepolisian akan menindak pihak yang menyerap gabah di bawah HPP, seperti kasus di Sumsel.
Program ini bertujuan melindungi petani, menjaga stok beras nasional, dan menstabilkan harga pangan melalui pendekatan terintegrasi.
Rencana Perum Bulog patut diapresiasi sebagai upaya sistematis dalam menjamin kesejahteraan petani dan ketahanan pangan nasional. Dengan melibatkan TNI, pemerintah daerah, dan aparat hukum.
Bulog menunjukkan komitmen untuk menyerap gabah secara masif, mengamankan harga, serta memastikan distribusi yang transparan. Kolaborasi ini berpotensi mengurangi praktik spekulasi harga dan meminimalkan kebocoran stok.
Polemik Pengangkatan Mayjen Novi Helmy
Meski rencana Bulog dinilai progresif, pengangkatan Mayjen Novi Helmy sebagai Dirut Bulog menuai kritik. Terutama terkait kritik dan pertanyaan dari publik maupun ahli. Berikut poin-poin kontroversial yang umumnya menjadi sorotan yang dikumpulkan oleh Tim Redaksi Kredonews.
1. Latar Belakang Militer vs. Kompetensi Sektor Sipil
– Kekhawatiran Kompetensi Teknis: Bulog merupakan lembaga yang mengurusi logistik pangan strategis (seperti beras, gula, minyak), sehingga memerlukan keahlian di bidang manajemen logistik, ekonomi pangan, atau kebijakan publik. Latar belakang Novi Helmy yang berasal dari militer (TNI-AD) dipertanyakan relevansinya dengan kebutuhan teknis Bulog.
– Pola Pikir Militer dalam Institusi Sipil: Ada kekhawatiran bahwa gaya kepemimpinan militer mungkin kurang sesuai dengan dinamika lembaga sipil yang membutuhkan kolaborasi dengan stakeholders sipil seperti petani, distributor, dan pasar.
2. Isu Militerisasi Institusi Sipil
– Kritik atas Dominasi TNI/POLRI di Lembaga Sipil: Pengangkatan perwira aktif/purnawirawan TNI ke posisi strategis di lembaga sipil sering dianggap sebagai langkah mundur dari reformasi 1998 yang membatasi peran militer di ranah sipil. Hal ini memicu kekhawatiran akan normalisasi “militerisasi” di sektor publik.
3. Proses Seleksi yang Dianggap Tidak Transparan
– Pertanyaan tentang Mekanisme Penunjukan: Publik mempertanyakan apakah proses seleksi dilakukan secara terbuka dan kompetitif, atau sekadar “political appointment” tanpa mempertimbangkan kualifikasi teknis. Beberapa pihak menilai penunjukan ini lebih bersifat politis untuk mengamankan kontrol atas Bulog.
4. Potensi Konflik Kepentingan
– Keterkaitan dengan Kebijakan Pemerintah: Bulog memiliki peran kritis dalam stabilisasi harga pangan, yang kerap berkaitan dengan agenda politik pemerintah. Penunjukan perwira militer bisa menimbulkan kecurigaan bahwa Bulog akan diarahkan untuk kepentingan politik tertentu, bukan kebijakan berbasis data/keahlian.
Tantangan Kedepan Membuktikan Kinerja
Mayjen Novi Helmy yang berada di bawah sorotan untuk membuktikan kemampuan mengelola Bulog, terutama dalam menjaga stok pangan nasional, mencegah korupsi, dan menstabilkan harga di tengah inflasi dan krisis global.***