Penulis: Mulawarman | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, JAKARTA-Head of Asia Pacific Macro Strategy BNY di Singapura, Aninda Mitra, menilai, kejatuhan pasar saham Indonesia sepertinya tidak akan merembet lebih jauh ke pasar valuta dan surat utang menyusul pasokan dolar AS yang melimpah ditambah porsi kepemilikan asing di SBN yang rendah.

“Saya tidak akan mengesampingkan kemungkinan tekanan yang kecil. Namun, masih diragukan apakah tekanan ini akan menyebar lebih luar ke pasar valas dan obligasi,” kata Mitra.
Ia menambahkan, “Kerentanan Indonesia yang lebih luas terhadap pembalikan cepat arus modal portofolio tampaknya lebih rendah dibanding episode sebelumnya,” kata Mitra.
Pertumbuhan ekonomi yang melambat ditambah peraturan yang lebih ketat terkait repatriasi devisa memberi dukungan akan ketersediaan likuiditas dolar AS di dalam negeri.
Di sisi lain, kepemilikan asing di SBN juga masih rendah sekitar 15% dari total yang beredar di pasar. Sudah jauh di bawah puncak proporsi asing sebelum pandemi yang mencapai 40% dari total outstanding SBN. Sebagian besar kepemilikan oleh asing itu kemungkinan juga sudah dihedging atau lindung nilai.
Risiko Defisit APBN
Dalam laporan kinerja fiskal terakhir pada pekan lalu, Pemerintah RI mengumumkan terjadinya defisit sebesar 0,13% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekitar Rp31 triliun. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada awal tahun menjadi hal yang langka di mana terakhir kali terjadi pada 2021 lalu ketika perekonomian terhantam pandemi.
Defisit terjadi akibat penurunan penerimaan negara terutama penerimaan pajak yang terkontraksi hingga 30,19% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Defisit APBN tahun ini berpotensi menyentuh batas atas yang diperbolehkan Undang-Undang, bahkan potensial melampauinya apabila Pemerintah RI tidak mengatasinya dengan mengurangi belanja atau menambah penerimaan demi menambal anggaran yang tekor.
Dalam pertemuan dengan para analis dan ekonom pekan lalu usai konferensi pers kinerja APBNKita, Kementerian Keuangan menyatakan tidak akan menarik dividen BUMN tahun ini yang sudah dianggarkan sebesar Rp90 triliun.
Dividen tersebut akan diserahkan pada Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara untuk diinvestasikan pada sektor smelter nikel, energi dan infrastruktur data center.
Hal itu, menurut analis, potensial membuat APBN 2025 menghadapi kekurangan pendapatan senilai Rp150 triliun hingga Rp160 triliun. “Apabila hal ini tidak diatasi melalui pengurangan belanja atau mencari penghasilan dari pos lain, maka defisit fiskal tahun ini berisiko naik menjadi -3,16% hingga 3,19% terhadap GDP [Gross Domestic Product],” kata tim analis Mega Capital Sekuritas pekan lalu.
Lembaga pemeringkat global, Fitch Ratings, sebelumnya juga melansir peringatan risiko yang mungkin timbul terkait kehadiran Danantara.
Dalam laporan yang dirilis pekan ini, Fitch menilai pembentukan Danantara berpotensi meningkatkan liabilitas kontijensi Pemerintah RI. Potensi pembiayaan melalui Danantara atau atau badan usaha milik negara (BUMN) di bawahnya dapat meningkatkan risiko fiskal dalam jangka panjang.
“Pemanfaatan Danantara untuk pembiayaan proyek-proyek nasional dapat menciptakan kewajiban utang tambahan bagi pemerintah, terutama jika dana yang dikelola tidak cukup untuk menutupi kebutuhan investasi,” tulis Fitch dalam laporannya, dikutip Rabu (12/3/2025).
Dalam paparan kinerja APBNKita, Pemerintah RI juga melaporkan penarikan utang di porsi yang lebih besar di awal tahun. Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono melaporkan realisasi pembiayaan utang adalah Rp224,3 triliun per Februari 2025. Angka ini setara 28,9% terhadap APBN.
Pembiayaan utang itu terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) neto Rp238,8 triliun atau 37,2% terhadap APBN. Selain itu, terdapat pinjaman (neto) -Rp14,4 triliun per Februari 2025.
Pembiayaan utang itu meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pada Februari 2024, pembiayaan utang adalah Rp184,9 triliun atau 28,5% terhadap APBN. Angka itu terdiri dari Rp177,9 triliun untuk SBN (neto) dan Rp7 triliun dari pinjaman (neto).***