Penulis: Jayadi | Editor: Aditya Prayoga
KREDONWES.COM, SURABAYA– Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Nanik Sudaryati Deyang, menegaskan agar mitra dan pemilik yayasan pengelola Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) tidak hanya berfokus pada dapur Makan Bergizi Gratis (MBG), tetapi juga peduli terhadap kondisi fisik sekolah penerima manfaat.
Ia mencontohkan kepedulian yang diharapkan berupa partisipasi aktif yayasan dalam memperbaiki sarana sekolah yang tidak layak, seperti atap bocor atau ketiadaan fasilitas sanitasi.
“Tolonglah ya pemilik yayasan ini, Anda juga peduli dengan sekolah-sekolah yang Anda kasih,” imbaunya.
“Mbok kalau ada yang gentingnya bocor itu disumbang, dibenerin. Mbok kalau ada yang enggak punya WC dibangunkan WC,” tegasnya.
Nanik juga mengingatkan bahwa visi awal Presiden Prabowo menghendaki mitra berasal dari entitas sosial, pendidikan, atau keagamaan, bukan badan usaha murni seperti PT atau CV.
Ia menyoroti munculnya yayasan baru yang berorientasi profit dan berpotensi menurunkan kualitas pangan.
“Jangan semangka setipis tisu, jangan anggurnya cuma tiga. Anda kan sudah dapat insentif Rp 6 juta per hari,” ujarnya dalam Sosialisasi dan Penguatan Tata Kelola MBG serta Pengawasan SPPG di Pasuruan, Jawa Timur.
Untuk menjaga integritas program, BGN tengah menyiapkan regulasi yang mewajibkan alokasi pendapatan mitra bagi kepentingan sosial dan pendidikan.
6″Saya sudah ngomong-ngomong dengan Pak Soni, tolong bikin juknis 30% dari pendapatan mitra harus untuk sosial dan pendidikan,” pintanya.
Langkah ini, menurut Nanik, diambil agar pelaksanaan MBG tetap selaras dengan mandat Presiden Prabowo Subianto.
“Paling enggak ini kita tidak mencederai atau tidak mengkhianati keinginan Presiden,” ungkapnya.
Namun pernyataan tersebut memunculkan persoalan baru. Secara teknis birokrasi dan anggaran negara, terdapat potensi tumpang tindih (double accounting).
Perbaikan fisik sekolah biasanya sudah memiliki pos anggaran sendiri melalui Dana BOS, DAK, atau APBD.
Selain itu, pencatatan aset dari pihak ketiga harus jelas agar tidak menimbulkan masalah hibah atau gratifikasi.
Di sisi lain, beban tambahan infrastruktur bisa mengaburkan tanggung jawab yayasan yang seharusnya fokus pada suplai gizi, sehingga standar pangan berisiko menurun.***






