Penulis: Novi Kusuma | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, JEMBER-Konflik antara kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan fenomena berulang dalam sistem pemerintahan lokal di Indonesia. Meskipun pasangan kepala-wakil kepala daerah terpilih melalui sistem satu paket dalam Pilkada, hubungan mereka seringkali tidak harmonis setelah menjabat. Ketegangan ini bukan hanya persoalan pribadi, melainkan memiliki implikasi serius terhadap kualitas tata kelola pemerintahan dan pembangunan daerah.
Fenomena yang Kerap Terulang
Konflik antara kepala daerahdan wakilnya memang bukan hal yang diharapkan, namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa konflik seperti ini cukup sering terjadi di Indonesia. Contoh : Lampung (Ridho Ficardo – Bachtiar Basri), Surabaya (Risma – Wisnu Sakti Buana).
Pada Tahun 2020 Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)lembaga independen yang fokus pada pemantauan, kajian, dan advokasi terkait pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi di Indonesia, merilis laporan yang menyebutkan bahwa sekitar 30% pasangan kepala-wakil kepala daerah di Indonesia mengalami ketegangan atau konflik terbukaselama masa jabatan mereka. Bentuk konfliknya beragam, seperti pengucilan terhadap wakil kepala daerah, tidak dilibatkannya dalam rapat strategis, hingga saling sindir di media.
Pakar otonomi daerah dan mantan Dirjen Otonomi Daerah KemendagriDr. Djohermansyah Djohan pada Kompas mengatakan, bahwa konflik ini kerap muncul karena tidak adanya struktur tugas yang jelas bagi wakil kepala daerah. “Perannya seringkali dibiarkan mengambang, tergantung selera kepala daerah. Kalau hubungan mereka retak, maka wakil akan dipinggirkan,”

Novi Kusuma
Dampak Nyata terhadap Pembangunan, Konflik di level pimpinan daerah ;
- Terganggunya Koordinasi Pemerintahan
Disharmoni Kepala Daerah memperlambat pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan. luasnya sektor-sektor Pemerintahan Daerah yang semestinya diawasi apabila Kepala Daerah dan Wakilnya tidak sama – sama kerja selaras maka akan kehilangan kendali dan membuat banyak blank spot pengawasan pelaksanaan kepemerintahan daerah yang dilakukan oleh aparatur sipil negara yang memungkinkan terjadinya pelanggaran.
- Penurunan Kinerja Birokrasi
Hasil penelitian tahun 2019 yang dilakukan oleh Hendri Saparini mengungkapkan bahwa konflik politik di daerah berdampak pada menurunnya indeks efektivitas pemerintahan hingga 15% dibanding daerah dengan kepemimpinan yang solid.
Konflik politik didaerah memungkinkan untuk dimanfaatkan bahkan memberi peluang kepada oknum Birokrat nakal untuk melakukan penyimpangan dalam menyelenggarakan pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan.
Supervisi Birokrat yang tidak dilakukan secara baik , kompak, dan terpadu oleh Kepala Daerah dan Wakilnya menciptakan kerenggangan atau konflik yang bisa diekploitasi untuk kepentingan pribadi mereka.
- Terhambatnya Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Investasi butuh jaminan stabilitas, ketika ada konflik di pucuk pimpinan daerah, keputusan strategis bisa tertunda atau berubah bahkan menciptakan standar ganda yang bersifat personal yangjelas akan menciptakan ketidakpastian, ini menjadi beban investor selain juga persaingan usaha yang semakin kompetitif.
Investor akan tertarik menanamkan modal jika regulasi pemerintah memberikan kepastian hukum, stabilitas, dan kemudahan dalam berinvestasi, serta memberikan insentif yang menarik, dan regulasi yang jelas dan terintegrasi, tanpa tumpang tindih atau inkonsistensimerupakan kunci utama.
- Citra Pemerintah Daerah Menurun
Cepat dan terbukanya informasi lewat media lokall, nasional, maupun media sosial kerap mengangkat konflik ini ke publik. Akibatnya, kepercayaan masyarakat bisa menurun, terutama jika konflik berdampak pada pelayanan publik.
Pemerintah tidak harus kdieramatkan namun harus berintegritas agar masyarakat tidak memandang bahwa Pemerintah hanya main – main yang dapat menghilangkan kepercayaan masyarakatnya. Dukungan dan partisipasi aktif masyarakat adalah kunci dalam memajukan daerah.
Setiap permasalahan hadir bukan hanya untuk dikritisi, tapi juga perlu evaluasi untuk dicari jalan keluarnya.Setidaknya ada 4 hal yang bisa menjadi solusi atau setidaknya rekomendasi.
- Revisi Undang-Undang Pemerintah Daerah
Perlu ada regulasi yang menjelaskan secara eksplisit pembagian peran kepala dan wakil kepala daerah. Hal ini untuk mencegah dominasi sepihak.
Prof. Mahfud MD ketika menjabat Menko Polhukammengusulkan agar ke depan sistem pemilihan wakil kepala daerah dipertimbangkan ulang, atau setidaknya ada regulasi tegas yang menetapkan tugas pokok dan fungsi wakil kepala daerahsecara hukum, bukan hanya perjanjian politik.
Lambatnya perubahan regulasi juga menjadi hal yang disayangkan, cepatnya perubahan pada zaman ini membuat masyarakat lebih adaptif dalam segala aspek, artinya masyarakat akan siap mengikuti perubahan regulasi jika memang itu dianggap perlu untuk kebaikan bersama.
- Penguatan Etika Politik dan Pendidikan Kepemimpinan
Pada zaman yang serba kompetitif sekarang ini, partai politik kerap terjebak pada logika elektoral semata dalam mengusung calon kepala daerah. Padahal, kepemimpinan bukan hanya tentang menang dalam kontestasi, tetapi juga soal integritas, tanggung jawab, dan keberpihakan pada rakyat.
proses kaderisasi politik harus menjadikan etika kepemimpinan sebagai fondasi utama. Seorang pemimpin daerah memiliki tanggung jawab besar, tidak hanya menjalankan roda pemerintahan, tetapi juga menjadi teladan moral, sehingga sebagai pilar demokrasi, partai politik tidak hanya berperan namun juga memiliki tanggungjawab etik terhadap kepemimpinan pemimpin yang berasal dari kadernya.
- Mekanisme Resolusi Konflik Internal
Peran pemerintah pusat juga dibutuhkan aktif melakukan evaluasi terhadap para pemimpin di daerah, melewati Kementrian Dalam Negeri pemerintah pusat bisa membentuk tim mediasi jika muncul konflik serius antarpimpinan daerah, sebelum berdampak sistemik.
- Transparansi dan Akuntabilitas Kinerja Pimpinan Daerah
Dalam sistem pemilihan langsung menjadikan kepala daerah dan wakilnya bukan lagi satu paket ideologis, tetapi lebih keperluan elektoral. Akibatnya, setelah terpilih, mereka bisa punya agenda berbeda, oleh karena itu Publik harus diedukasi untuk menilai kinerja pemimpin bukan dari popularitas, tapi dari hasil nyata dan integritas kerja sama mereka.
Konflik antara kepala daerah dan wakilnya adalah pemborosan energi politik yang semestinya bisa dihindari. Di tengah tantangan pembangunan yang kompleks, sinergi antar-pemimpin lokal adalah fondasi penting dalam mewujudkan daerah yang maju dan berdaya saing. Kepemimpinan yang kompak dan kolaboratif bukan hanya ideal, tapi kebutuhan mutlak dalam tata kelola pemerintahan yang modern dan berorientasi pada rakyat.
Namun meskipun tampak merugikan, sebenarnya jika konflik dikelola dengan pendekatan yang matang, perbedaan pandangan antara kepala dan wakil bisa memunculkan diskusi yang memperkaya kebijakan. Dalam politik yang sehat, perbedaan pendapat bisa menjadi check and balance, dan hal ini hanya mungkin terjadi jika kedua pihak dewasa secara politik dan berorientasi pada kepentingan publik, bukan ego pribadi.
Konflik antara kepala daerah dan wakilnya bukan merupakan pelanggaran hukum,setidaknya selama tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan, namunsebaiknya dihindari. Konflik sering muncul karena perbedaan kepentingan politik dan ambisi pribadi, dan umumnya jika sang wakil merasa tidak diberi peran(terkesan seperti ban serep) walaupun hal itu sesuai dengan aturan perundangan yang menyatakan bahwa Wakil kepala daerah membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah sebagai satu kesatuan yang secara implisit bisa diterjemahkan dengan analogi “tidak ada matahari kembar dalam tata surya kita”, yang ada matahari sebagai sumber cahaya dan bulan memantulkannya, namun kerja sama antara kepala daerah dan wakilnya adalah amanat undang-undang.tersebut.
Penting untuk dicamkan, bahwa dalam konflik kepala daerah masyarakat jangan sampai dirugikan, karena tidak hanya jika berimplikasi menghambat urusan Publik, namun juga karena kebijakan yang tumpang tindih yang tidak esensial, lamban, dan tidak efisien sejatinya juga merugikan masyarakat !
Dalam Rakornas Kepala Daerah Tahun 2020Presiden Joko Widodosudah menegaskan pentingnya soliditas antar Pimpinan Daerah. “JANGAN BARU MENANG LALU PISAH JALAN. RAKYAT BUTUH KERJA NYATA, BUKAN DRAMA POLITIK!”
Semoga Retreat Kepala Daerah Batch 2 meliputi pendewasaan, kebijaksanaan dan diikuti couple Kepala Daerah dan Wakilnya agar di treat kekompakannya.***