Penulis: Jayadi | Editor: Aditya Prayoga
KREDONEWS.COM, SURABAYA– Orang sering mengalami kejang, tapi tak kunjung sembuh meski sudah bolak-balik ke rumah sakit. Hasil CT scan, MRI, atau tes darah pun normal, sehingga membingungkan pasien dan dokter.
Banyak yang akhirnya mengira penyakit ini murni fisik, padahal sebenarnya berakar pada kondisi psikologis. Inilah yang disebut gangguan konversi atau functional neurological disorder.
Menurut Cleveland Clinic, 2024,
Gangguan ini termasuk masalah psikiatri yang mengganggu fungsi saraf motorik dan sensorik.
Gejalanya bisa sangat nyata: kejang mirip epilepsi, kelumpuhan, sulit menelan, pusing, bahkan kehilangan penglihatan atau pendengaran.
Namun anehnya, tes medis tidak menunjukkan kelainan apa pun. Uniknya lagi, sebagian penderita justru tampak tenang menghadapi gejala yang dialami.
Penyebab pasti gangguan konversi belum sepenuhnya dipahami. Namun, faktor risiko seperti trauma masa kecil, tekanan psikologis berat, hingga riwayat penyakit saraf dalam keluarga, diyakini berperan besar.
Gejala khas yang sering muncul adalah kejang non-epilepsi psikogenik (PNES). Sekilas mirip epilepsi, tetapi tanpa aktivitas listrik abnormal di otak. Karena itu, PNES kerap salah diagnosis.
Untuk memastikan, dokter biasanya menggunakan EEG. Jika tidak ada tanda aktivitas epilepsi, kemungkinan besar pasien mengalami PNES.
Berbeda dengan epilepsi yang bisa dikendalikan obat antikejang, PNES lebih efektif ditangani lewat psikoterapi, misalnya cognitive behavioral therapy (CBT), serta edukasi agar pasien memahami kondisi yang dialaminya.
Gangguan konversi bukan penyakit pura-pura. Penderitanya benar-benar merasakan gejala, meski tidak sesuai dengan pola penyakit medis yang jelas. Karena itu, terapi yang tepat harus menekankan keseimbangan antara pemahaman medis dan dukungan psikologis.
Singkatnya, gangguan konversi adalah penyakit mental yang menimbulkan gejala saraf nyata tanpa penyebab medis. Edukasi, psikoterapi, dan dukungan emosional menjadi jalan paling menjanjikan untuk memulihkan kualitas hidup pasien.***