KREDONEWS.COM, KARUING- Bagi orang penyuka travelling terutama penggemar jelajah daerah baru, atau siapapun yang punya hobi memfoto obyek alam liar, maka desa Karuing adalah alamat yang tepat untuk dituju. Desa ini berada di kecamatan Kamipang, kabupaten Katingan, provinsi Kalimanntan Tengah. Disanalah jurnalis Kredonews.com, Gandhi Wosono, sempat jelajahi jalan desa ini, juga keluar masuk di sebagian kecil hutan Taman Nasional Sebangau yang luasnya mencapai 568.700 hektare.
Desa ini memang menarik. Di sepanjang tepian sungai mulai dari desa Karuing hingga Desa Pagatan yang paling ujung menghadap laut Jawa yang berjarak ratusan kilometer terdapat puluhan desa yang berjauhan. Antar satu desa dengan desa lain tidak ada jalan darat, semua melalui jalur air. Jarak antar desa juga bervariasi, ada yang cukup 30 menit menggunakan ces. Tapi ada yang memerlukan waktu 1,5 jam lamanya untuk bisa sampai tujuan.

Sedang dari Karuing ke arah hulu atau orang menyebut daerah atas yang masuk wilayah Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, harus menempuh jarak ratusan kilometer pula. Di sepanjang aliran Katingan (sepanjang 650 km) terdapat desa-desa yang dihuni oleh suku Dayak. Yang menarik masing-masing suku memiliki perbedaan adat istiadat, kepercayaan, agama dan bahasa. Masyarakat Dayak, ada yang menganut kepercayaan asli yakni Kaharingan, Kristen juga Islam.
Bahkan soal bahasa daerah suku Dayak memiliki ragam bahasa yang sangat banyak. Dimana antar suku yang tinggal di satu kampung berbeda sama sekali dengan kampung lainnya.
Desa Karuing sendiri dihuni 184 KK terdiri dari 560 jiwa dan masuk golongan suku Dayak Katingan yang mayoritas beragama Islam. Lokasi desa ini berhimpitan dengan kawasan hutan sehingga udaranya bersih segar tanpa ada kendaraan bermotor. Hanya sesekali terlihat orang tengah mengayuh sepeda onthel.
Jalan utama desa Karuing, dari ujung ke ujung sepanjang 1.340 meter. Semua terbuat dari kayu ulin selebar 1.5 meter. Jadi ketika berjalan diatasnya, maka terdengar “musik” alias suara glodakan yang mengiringi sepanjang perjalanan. Jalan desa Karuing diapit oleh deretan rumah penduduk.
Satu deret rumah warga membelakangi sungai dan satu deret lainnya membelakangi hutan desa. Karena lembab dan semua bangunan berada diatas panggung, maka desa ini nyaris tidak berdebu. Selama dua pekan, saya jalan jalan keluar rumah di Karuing, sering nyeker tanpa alas kaki. Meski begitu kaki selalu bersih, karena tidak menyentuh tanah.
Persoalan utamanya adalah tidak ada saluran listrik PLN. Untuk penerangan, masing-masing rumah menggunakan panel surya, tapi sumber daya hanya mampu menyalakan lampu dengan watt rendah dengan waktu terbatas. Sebagian warga memiliki diesel pembangkit listrik. Tenaga listrik diesel ini, oleh warga selain untuk keperluan rumah, juga penerangan. Lebih dari itu, untuk ngecas handphone.
Pun demikian saluran seluler juga tergantung dengan cuaca. Kalau pas terik matahari BTS seluler bisa bekerja seharian tetapi kalau hujan atau mendung jangan kaget handphone tiba-tiba mati, karena pasokan listrik dari panel surya berhenti.
Fasilitas pendidikan di desa tersebut terdapat sekolah TK, SD dan SMP. Selepas SMP ingin melanjutkan ke SMA, maka siswa harus ke Kasongan, ibukota Kabupaten Katingan atau ke Palangkaraya, ibukota provinsi.
“Kalau ingin melanjutkan SMA harus kos di luar daerah. Itulah salah satu penyebab anak Karuing sebagian besar hanya tamatan SMP karena orangtua nya tidak mampu menyekolahkan keluar desa,” kata Jeki warga setempat yang mendampingi kemanapun kami pergi.**