Menu

Mode Gelap

Headline

Isu STNK Mati 2 Tahun: Ada Usulan dan Lainnya dari Pakar Unair

badge-check


					Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs., M.Si, Dok Humas Unair Perbesar

Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs., M.Si, Dok Humas Unair

Penulis : Jayadi | Editor : Aditya Prayoga

KREDONEWS.COM-SURABAYA: Rencana penyitaan kendaraan dengan STNK mati lebih dari dua tahun mulai April 2025 menimbulkan keresahan di masyarakat. Meski kepolisian memastikan aturan tilang tidak berubah, informasi yang beredar di media sosial memicu perdebatan. Kelompok masyarakat berpenghasilan rendah khawatir kebijakan ini akan semakin membebani mereka yang kesulitan membayar pajak kendaraan.

Ketimpangan Regulasi

Dekan FISIP UNAIR, Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs., M.Si., menilai aturan ini perlu dikaji dalam perspektif keadilan sosial. “Kewajiban membayar pajak berlaku universal. Siapa pun wajib membayar pajak sesuai hak dan kewajibannya. Kalau ada warga yang kesulitan membayar pajak, tentu bisa dilakukan diskresi,” jelasnya, dari dikutip dari laman Unair

Menurutnya, masalah utama bukan hanya tunggakan pajak masyarakat kecil, tetapi juga praktik kelompok ekonomi atas yang lebih lihai menghindari kewajiban perpajakan mereka. “Skandal yang terjadi selama ini di birokrasi pemerintah soal pajak membuktikan bahwa isu ini membutuhkan konsistensi,” tegasnya.

Baca juga

Malang Ricuh, Gedung DPRD Terbakar, Ada Sejumlah Kerisauan Terkait RUU TNI

SBY: TNI Netral dan Tak Kembali ke Dwifungsi ABRI, SBY/AHY Beri Contoh Mundur dari Militer

Siapa yang Paling Dirugikan?

Masyarakat kelas bawah menjadi kelompok paling rentan terdampak kebijakan ini. Mereka tidak hanya kesulitan membayar pajak, tetapi juga berisiko kehilangan kendaraan yang menjadi sumber penghidupan jika aturan ini diterapkan tanpa solusi keringanan.

Prof. Bagong menekankan perlunya kebijakan pemutihan pajak, terutama di tengah kondisi ekonomi yang sulit. Tanpa langkah fleksibel, aturan ini berpotensi memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi.

Aturan Tidak Boleh Kaku

Dalam konteks tilang elektronik (ETLE), Prof. Bagong menyoroti keterbatasan sistem dalam memberikan kelonggaran. “Tilang elektronik tidak memungkinkan adanya diskresi,” katanya. Sistem ini bekerja otomatis tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi atau alasan keterlambatan pembayaran pajak.

Sosialisasi dan Solusi Alternatif

Meskipun kepolisian menyatakan tidak ada perubahan aturan tilang, kegelisahan masyarakat menunjukkan kurangnya sosialisasi kebijakan. Pemerintah memang ingin meningkatkan kepatuhan pajak, tetapi tanpa mekanisme perlindungan bagi kelompok rentan, aturan ini bisa menimbulkan ketidakadilan.

“Perlu sistem keringanan atau cicilan pajak bagi warga kurang mampu, sementara pelaku usaha besar harus diawasi ketat agar tak menghindari pajak. Jika tak seimbang, kebijakan ini bisa memperlebar kesenjangan sosial,” pungkasnya.***

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Saya Bayar Berapa Dimana Ijazah Itu? Wamenaker Gebrak Meja Hadapi Diana yang Mengaku Difitnah

17 April 2025 - 21:32 WIB

Ini Kata Bupati dan Ketua DPRD Jombang Soal Anjloknya Harga Gabah Saat Musim Panen 2025

17 April 2025 - 20:10 WIB

Debi Ria Andini, Putri asal Surabaya yang Incar Panggung Sepak Bola Nasional

17 April 2025 - 17:56 WIB

Penahanan Ijazah, Eri Cahyadi Dampingi 30 Pekerja UD Sentosa Seal Lapor ke Polres Tanjung Perak

17 April 2025 - 17:12 WIB

Jokowi Tunjukkan Ijazahnya ke Wartawan, Pertemuan dengan TPUA Tertutup

17 April 2025 - 14:28 WIB

Cairan Penambal Ban atau Sealant Tidak Disarankan, Kok Bisa?

17 April 2025 - 14:17 WIB

Regulasi Usang, Hak Difabel Terlupakan: Koalisi Difabel Jatim Desak DPRD

16 April 2025 - 15:51 WIB

Ketika Kepala Daerah dan Wakilnya Berseteru: Bukan Siapa Salah Tapi Siapa Rugi?

16 April 2025 - 15:21 WIB

Gunung Semeru Erupsi Dua Kali, Kolom Abu Capai 1 Kilometer

16 April 2025 - 12:07 WIB

Trending di Nasional