Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Selain menyerang pusat Kerajaan Surabaya, Sultan Agung juga mengerahkan pasukan untuk menggempur Madura, sekutu utama Surabaya. Madura pada waktu itu adalah kepulauan yang terbagi dalam beberapa kerajaan kecil. Politik serangan untuk menguasai Madura ini kemungkinan besar berlangsung pada 1624, di tengah-tengah invasi serangan Mataram ke Surabaya.

Serangan pasukan Mataram ke Madura itu bisa ditemukan dalam beberapa sumber. Serat Kandha memberitakan Sultan Agung menunjuk Aria Jaya Puspita yang baru saja naik pangkat menjadi Adipati Sujanapura sebagai panglima ekspedisi militer ini.
Petinggi Mataram lainnya yang ikut serta dalam ekspedisi ini diantaranya Adipati Pragola dari Pati dan Pangeran Sumedang. Pangeran Silarong, adik Sultan Agung dalam ekspedisi ini bertindak sebagai pengawas. Pasukan Mataram dikerahkan langsung oleh Patih kerajaan Tumenggung Singaranu. Pasukan ekspedisi berangkat melalui dua jalur, jalur laut bagi penduduk pantai dan jalur darat bagi pasukan yang berasal dari pedalaman.
Serangan dari Mataram itu dibaca dengan seksama oleh penguasa Madura. Pangeran Madura bersama sekutunya yaitu Sumenep, Pamekasan, Balega, Pakacangan dan Surabaya, mengerahkan pasukan dalam jumlah besar dengan total 100.000 prajurit.
Hasilnya, pasukan Mataram gagal total dalam pendaratan pertama dan berhasil dipukul mundur. Petinggi Mataram dalam ekspedisi ini memutar otak. Pasukan Mataram akhirnya berhasil mendarat pada dini hari dengan para panglima terpaksa terjun langsung dalam pertempuran.
Serat Kandha mengabarkan pertempuran antara Mataram dan Madura berlangsung sengit. Mataram membagi angkatan perang dalam empat formasi. Tentara dari Mancanegara ditempatkan di sebelah kiri dan sebelah kanan dikomando Pangeran Sumedang dan Adipati Pragola dari Pati.
Di lini tengah berdiri para pamajegan Mataram di bawah pimpinan Adipati Sujanapura. Di barisan belakang berdiri para pasukan-pasukan Mataram beserta keluarga raja. Pertempuran antara dua kubu berlangsung selama kurang lebih 12 jam. Pasukan Madura kewalahan dengan serangan Mataram dan melarikan diri namun belum kalah.
Berhari-hari pertempuran berlangsung Mataram belum juga berhasil mengalahkan Madura. Sebanyak 400 tentara terpilih dari Madura berhasil memasuki pondok peristirahatan pasukan Mataram dan membunuh banyak prajurit musuh. Panglima Mataram bertarung satu lawan satu dengan Adipati Pamekasan dengan hasil tanpa pemenang, keduanya meregang nyawa.
Mulai letih dan banyak pasukan yang tewas, pasukan Mataram kemudian mengirim Pangeran Silarong untuk pulang menghadap Sultan Agung. Bantuan kemudian dikirim dari Mataram. Pasukan yang tewas digantikan oleh putra atau saudara mereka. Sultan Agung juga mengirimkan Juru Kiting, putra Adipati Mandaraka yang sudah wafat. Juru Kiting dikirim atas permintaan langsung dari Silarong.
Menurut Babad Tanah Djawi, Juru Kiting pada waktu itu sudah berusia lanjut. Bahkan untuk ikut serta dalam pertempuran di Madura ia harus dipikul dengan tandu. Namun Juru Kiting sangat dihormati oleh petinggi dan pasukan Mataram yang terjun dalam peperangan. Selain keturunan dari tokoh besar, Juru Kiting juga adalah seorang petapa. Juru Kiting berhasil memberikan suntikan energi baru bagi pasukan Mataram yang terjun dalam perang besar di pulau garam.
Juru Kiting yang sudah renta itu pantas disebut sebagai tokoh kunci kemenangan Mataram atas Madura. Di tengah-tengah peperangan, Juru Kiting menyuruh membuat nasi liwet yang pada akhirnya menjadi nasi ajaib .
Nasi itu dibagikan rata oleh Juru Kiting kepada seluruh prajurit. Selanjutnya, Juru Kiting yang duduk diatas tandu dipikul mengelilingi pasukan tiga kali. Selanjutnya, pasukan Mataram diperintahkan melihat ke atas dan kemudian melihat ke bawah. Keajaiban benar-benar terjadi, pasukan Mataram menjadi lebih berani dan dalam pertempuran selanjutnya berhasil meraih kemenangan atas Madura.
Kabar mengenai kesaktian Juru Kiting mendadak jadi hantu bagi seluruh prajurit Madura. Pasukan Mataram yang menaklukkan Madura kemudian membawa Adipati Madura bersama 1.000 pengikut dan Adipati Balega ke Mataram.
Adipati Balega bernasib tragis, di tengah perjalanan ia dibunuh utusan Sultan Agung yang tengah melakukan perjalanan. Sultan Agung memerintahkan membunuh Adipati Balega dan menguburkan jenazahnya di Jurang Jero.
Sumber lain menyatakan, politik invasi Mataram menguasai Madura berakhir mengerikan. Tak satupun raja-raja Madura yang hidup, seluruhnya tewas di tangan pasukan ekspedisi Mataram. Satu-satunya pangeran yang masih hidup adalah Raden Prasena dari Kerajaan Arosbaya.
Cerita lisan menyebutkan, Raden Prasena adalah seorang bangsawa asli Madura yang dididik oleh pamannya, Pangeran Santa Merta di Madegan. Sumber lain menyatakan ia dididik dengan nilai-nilai keislaman oleh ibunya.
Raden Prasena ikut dibawa ke Mataram setelah Madura dikuasai Mataram. Di Mataram, Raden Prasena dijadikan tahanan perang. Sultan Agung berhati baik, ia kemudian mengangkat Prasena sebagai abdi dalem. Raden Prasena berjiwa besar, ia menutup luka dendamnya dan dengan jiwa besar dan penuh ketegaran menerima jalan kehidupannya sebagai abdi dalem Mataram.
Raden Prasena memainkan perannya sebagai abdi dalem Mataram dengan baik dan dengan loyalitas tinggi. Integritasnya berhasil memikat hati Sultan Agung. Sultan Agung kemudian menjadikan Prasena sebagai anak angkat. Sebagai anak angkat, Prasena memiliki hak dan perlakuan sama dengan putera raja yang lain.
Nasib Prasena semakin mujur setelah Sultan Agung mengangkatnya sebagai penguasa Madura di bawah kekuasaan Mataram. Pada 23 Desember 1624, Raden Prasena resmi dinobatkan sebagai penguasa Madura dengan gelar Pangeran Cakraningrat I.
Sultan Agung juga menikahkan Prasena dengan adiknya yaitu Kanjeng Ratu Ibu yang terhitung masih keturunan Sunan Giri. Raden Prasena yang bergelar Cakraningrat I memimpin Madura dengan mendirikan keraton di Sampang.
Di satu sisi, perlakuan baik Sultan Agung kepada Raden Prasena ini merupakan bukti jika Mataram ingin menjalin hubungan yang baik dengan Madura. Mataram menganggap Madura bukan sebagai daerah jajahan, melainkan sebagai bagian penting dari kerajaan mereka yang beribu kota di Kotagede.
Dari pernikahannya dengan Ratu Ibu, Cakraningrat I memiliki beberapa putra-putri yaitu Raden Ario Admodjonegoro, Raden Oendakan dan Ratu Martopati. Cakraningrat I juga memiliki beberapa putra-putri dari selir yaitu Raden Demang Molojo, Pangeran Saring Argo Podjok, Raden Sumotonojo, Raden Mantri, Raden Maospati, Ratu Megatsari, Raden Ayu Weronolo dan Raden Ayu Rondo.
Dari seluruh putra-putri Cakraningrat I, Raden Demang Molojo yang lahir dari istri selir kelak di kemudian hari menurunkan seorang petarung tangguh dari Madura. Ksatria sejati itu tak lain adalah Raden Trunojoyo.
Trunojoyo adalah anak Raden Demang Molojo dari istri yang masih keturunan Joko Tole. Raden Demang Molojo meninggal dunia di istana Mataram saat Trunojoyo berusia enam tahun.
Sepeninggal Sultan Agung dan Mataram dipimpin Amangkurat I, Trunojoyo melakukan pemberontakan terhadap Mataram. Latar belakang pemberontakan karena Amangkurat I memerintah dengan keras dan menjalin persekutuan dengan VOC. Meskipun berakhir dengan kegagalan, pemberontakan Trunojoyo dikenang sejarah sebagai salah satu perlawanan terbesar orang pribumi terhadap bangsa Eropa.
Bersama Karaeng Galesong, Trunojoyo juga berhasil menghancurkan dan menguasai istana Mataram di Plered. Pemberontakan Trunojoyo berlangsung mulai 1674 dan berakhir pada 1680.***