Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Setelah kematian Pangeran Ongguk (Pangeran Pragalba) maka pemerintahan diteruskan oleh Pangeran Pratanu yang kemudian bergelar Pannembahan Lemah Duwur.
Panembahan merupakan salah satu gelar penguasa atau raja di Nusantara, khususnya di masa kerajaan-kerajaan Islam, dan terutama di Madura sekaligus Jawa.
Maknanya kurang lebih tokoh penguasa suatu wilayah yang disembah dan dijunjung tinggi. Gelar ini setingkat di bawah gelar Sultan atau Sunan. Meski ada yang mengatakan sama, karena maknanya mirip.
Gelar panembahan juga setingkat di atas gelar Pangeran Adipati.
Pangeran Pratanu memeluk Islam melalui patihnya yang bernama Empu Pageno. Semasa Pangeran Pragalba masih hidup, Raden Pratanu bermimpi didatangi Maulana Maghribi yang tidak lain Kanjeng Sunan Kudus. Dalam mimpinya,Pangeran Pratanu diminta untuk memeluk Islam.
Kemudian, Raden Pratanu menyampaikan mimpinya itu kepada ayahandanya. Karena itu, diutuslah salah satu patihnya Empu Pageno untuk menemui Maulana Maghribi guna belajar tentang Islam. ”Kalau menurut catatan, Empu Pageno belajar Islam selama enam bulan,” imbuhnya.
Setelah kembali, Empu Pageno mulai mengenalkan dan menuntun ke Raden Pratanu untuk mengucapkan dua Kalimat syahadat. Hal itu menjadi cikal bakal masuknya agama Islam ke Madura. Sejak saat itulah Islam menjadi agama yang banyak dianut warga Madura.
Panembahan Lemah Duwur memindahkan pusat pemerintahan ke punggung bukit Arosbaya, yang diberi nama Lemah Duwur (tanah tinggi). Ini bukan sekadar perubahan geografis, melainkan tanda perubahan strategi kekuasaan: dari kerajaan agraris ke kekuatan maritim dan perdagangan. Pusat pemerintahan yang strategis memperkuat posisi Arosbaya sebagai simpul penting dalam jaringan pelayaran dan dagang di pesisir utara Jawa dan Madura.
Penting dicatat bahwa masa Panembahan Lemah Duwur bertepatan dengan bangkitnya Jaka Tingkir di Pajang, yang menikah dengan putri Lemah Duwur. Aliansi ini menegaskan Arosbaya sebagai penghubung politik antara Madura, Demak, dan Pajang, tiga pusat kekuasaan penting pasca-Majapahit.
Dalam aspek spiritual, panembahan ini bukan hanya raja biasa, melainkan pemimpin spiritual yang mempercepat penyebaran Islam ke seluruh Madura Barat dan pesisir Jawa Timur. Makam-makam keramat di Arosbaya yang dihiasi batu mirip batu candi Jawa, mencerminkan persinggungan budaya Hindu-Jawa dan Islam, sebuah bukti nyata bahwa Islamisasi di Madura adalah proses akulturasi yang halus dan berlapis.
Panembahan Lemah Duwur, yang memerintah Madura dari 1531 hingga 1592, dikenal sebagai penguasa yang berhasil memperluas wilayah kekuasaannya hingga mencakup Sumenep, Sidayu, Gresik, dan Pasuruan. Menurut Hageman dalam “Handleiding “, wilayah-wilayah tersebut merupakan hak turun-temurun Raja Madura. Raffles dalam “The History of Java ” juga mencatat bahwa penguasa Madura saat itu, menantu Sultan Trenggana, menguasai daerah-daerah tersebut, menunjukkan bahwa Madura memiliki pengaruh signifikan di Jawa Timur pada masa itu.
Namun, kekuasaan Lemah Duwur tidak bertahan lama. Hageman mencatat bahwa daerah-daerah di Jawa yang sebelumnya dikuasai Madura akhirnya direbut oleh Pajang. Meskipun demikian, Madura tetap mempertahankan kemerdekaannya sebagai entitas politik yang independen.
Jaka Tingkir, atau Sultan Hadiwijaya, awalnya adalah menantu Sultan Trenggana dari Demak. Setelah kematian Sultan Trenggana pada 1546, Demak mengalami kekacauan politik. Jaka Tingkir kemudian mendirikan Kesultanan Pajang pada 1568, memindahkan pusat kekuasaan dari Demak ke pedalaman Jawa.
Sebagai penguasa, ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya hingga mencakup sebagian besar Jawa Tengah dan Jawa Timur, termasuk menaklukkan Blora pada 1554 dan Kediri pada 1577. Pada 1581, Sultan Hadiwijaya mendapatkan pengakuan sebagai sultan Islam dari raja-raja terpenting di Jawa Timur dan Sunan Prapen dari Giri.
Hubungan antara Lemah Duwur dan Jaka Tingkir tidak hanya bersifat politis, tetapi juga kekeluargaan. Panembahan Lemah Duwur menikahi putri dari Pajang, memperkuat aliansi antara kedua kerajaan. Perkawinan ini tidak hanya mempererat hubungan diplomatik, tetapi juga memberikan legitimasi politik bagi kedua belah pihak. Menurut Sadjarah Dalem, setelah menjadi menantu Sultan Pajang, Panembahan dari Arosbaya dianggap sebagai orang yang terpenting di antara raja-raja Jawa Timur.
Meskipun terjalin hubungan kekeluargaan, konflik antara Pajang dan Madura tidak dapat dihindari. Pajang, di bawah kepemimpinan Jaka Tingkir, melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai Madura. Hageman mencatat bahwa daerah-daerah seperti Sumenep, Sidayu, Gresik, dan Pasuruan akhirnya direbut oleh Pajang. Namun, Madura tetap mempertahankan kemerdekaannya sebagai entitas politik yang independen.
Konflik ini menunjukkan kompleksitas hubungan antara kekuasaan dan kekeluargaan dalam politik Jawa abad ke-16. Meskipun terjalin aliansi melalui pernikahan, persaingan untuk menguasai wilayah tetap menjadi faktor utama dalam dinamika politik saat itu.
Panembahan Lemah Duwur dan Jaka Tingkir adalah dua tokoh penting dalam sejarah Jawa abad ke-16. Keduanya tidak hanya terlibat dalam perebutan kekuasaan, tetapi juga menjalin hubungan kekeluargaan yang kompleks. Namun, keterbatasan sumber sejarah membuat rekonstruksi peristiwa-peristiwa tersebut menjadi tantangan tersendiri.
Untuk membangun narasi sejarah yang lebih komprehensif, diperlukan kajian historiografi yang kritis terhadap sumber-sumber yang ada. Dengan demikian, kita dapat memahami dinamika kekuasaan dan kekeluargaan dalam politik Jawa abad ke-16 secara lebih mendalam.
Suksesi kemudian diteruskan oleh Pangeran Tengah, putra Panembahan Lemah Duwur yang memerintah hingga 1624. Pada tahun itu, Sultan Agung dari Mataram melancarkan ekspedisi militer besar ke Jawa Timur dan Madura. Dalam serangan tersebut, Arosbaya hancur dan dikuasai oleh Mataram, mengakhiri kekuasaan kerajaan Islam pertama di Madura Barat.
Meski demikian, tidak semua keturunan kerajaan dihancurkan. Raden Prasena, putra Pangeran Tengah, dibawa ke Mataram dan dijadikan menantu Sultan Agung. Oleh sultan Agung, raden Prasena kemudian diangkat menjadi adipati madura dengan gelar Cakraningrat I. membuka jalan bagi pewarisan darah dan legitimasi yang akan menuntun kelahiran Raden Trunajaya, cucu buyut Panembahan Lemah Duwur.
Trunajaya lahir dan tumbuh dalam bayang-bayang kehancuran kekuasaan leluhurnya serta dominasi hegemoni Mataram. Ia dikenal sebagai pemimpin oposisi yang tangguh antara tahun 1670 hingga 1680, ketika ia membangun kekuatan militer dan pemberontakan yang mengguncang fondasi kekuasaan Mataram dan menantang otoritas VOC.
Pemberontakannya bukan sekadar reaksi politik, melainkan cerminan dari warisan spiritual dan genealogis yang dalam. Ayahnya, Raden Malayakusuma—putra Cakraningrat I dari Bangkalan—gugur dalam gejolak pemberontakan Pangeran Alit di lingkungan Keraton Plered.
Perlu dicatat dengan tegas dalam lembaran sejarah Jawa, bahwa pemberontakan Trunajaya merupakan bentuk perlawanan paling dahsyat dan mengguncang dalam kurun waktu pasca-pendirian Kesultanan Mataram oleh Panembahan Senapati pada akhir abad ke-16. Belum pernah ada pergolakan, baik internal maupun eksternal, dalam tubuh Mataram yang memiliki daya hancur sebesar gerakan yang dipimpin oleh bangsawan muda dari Madura ini.
Skala pemberontakan Trunajaya tidak hanya mencakup wilayah-wilayah strategis di pesisir utara dan pedalaman Jawa, tetapi juga berhasil menembus pusat kekuasaan Mataram hingga menduduki Keraton Plered. Tidak seperti pemberontakan-pemberontakan sporadis sebelumnya yang mudah ditumpas, perlawanan Trunajaya bersifat sistematis. Ia memanfaatkan jejaring politik leluhur Madura serta memobilisasi kekuatan militer warisan Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Karaeng Galesong. Trunajaya juga mampu menjalin koalisi lintas elite bangsawan dan kelompok spiritualis anti-Mataram yang selama ini terpinggirkan—salah satunya adalah Raden Kajoran.
Kegemparan yang ditimbulkan oleh pergerakan ini bahkan memaksa Amangkurat I—raja dengan kekuasaan absolut—untuk meninggalkan takhtanya dan melarikan diri hingga wafat dan dimakamkan di Tegalarum. Ini merupakan peristiwa langka dalam sejarah monarki Jawa. Dalam catatan Batavia (Dagregister VOC) maupun laporan-laporan Eropa yang dikirim ke Belanda, pemberontakan ini digambarkan sebagai badai politik yang belum pernah terjadi sebelumnya di tanah Jawa.***