Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Di Madura, khususnya di kawasan timur ini banyak ditemukan makam atau asta yang berukuran tidak lazim dan menyimpan segudang misteri. Makam unik tersebut salah satunya terletak di Desa Keles, Kecamatan Ambunten, Sumenep. Makam kuna itu berukuran panjang yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan makam-makam lain pada umumnya.
Makam di Desa Keles itu dikenal oleh masyarakat Ambunten sebagai makam Pangeran Mandaraga. Nama Mandaraga, di literatur babad atau sejarah Sumenep dikenal sebagai salah satu penguasa kawasan ujung timur Pulau Garam ini. Nama itu sejatinya sebuah ‘nisbat’. Karena nama asli Mandaraga, konon ialah Raden Piturut. Mandaraga adalah sebuah tempat atau lokasi yang beliau diami. Dalam konteks penguasa, di tempat itu ia bertahta atau mendirikan keratonnya.
Melihat makam tersebut mengingatkan kita pada salah satu kisah folklore di Pulau Garam yang hampir terkikis zaman, yakni cerita tentang Landaur. Di kawasan Madura Timur, Landaur menjadi salah satu cerita pengantar tidur. Orang tua zaman dulu meninabobokan anaknya sembari menceritakan Landaur. Sosok yang digambarkan sebagai makhluk bertubuh besar dan tinggi, sebut saja ‘raksasa’ yang suka memakan manusia. Walau terkadang alurnya tak jelas, namun hal tersebut merupakan jurus ampuh seorang ibu untuk menidurkan anaknya.
Sejatinya, kisah Landaur di Sumenep tak selalu berkonotasi negatif, seperti halnya di kawasan luar yang menganggapnya sebagai makhluk raksasa atau gergasi yang hidup di suatu masa, dan suka memakan manusia. Sebenarnya, kisah Landaur juga dipicu oleh keberadaan makam-makam kuna yang berukuran sangat panjang atau jauh dari ukuran normal, seperti halnya makam yang banyak ditemukan di Pulau Garam ini.
Meski demikian, makam kuna dengan ukuran tak lazim yang terdapat di Desa Keles, Ambunten tersebut tidak pernah disebut sebagai makam Landaur, melainkan sangat dikeramatkan oleh warga setempat, bahkan mayoritas warga Sumenep lainnya. Sosok yang dimakamkan di tempat itu merupakan sosok istimewa. Oleh masyarakat Sumenep, khususnya warga Ambunten, makam tersebut dikenal sebagai makam Pangeran Mandaraga, salah satu penguasa bumi Sumekar di masa lampau. Namun, di balik keberadaan makam tersebut masih menyimpan misteri.
Nama Mandaraga, dalam literatur babad atau sejarah Sumenep dikenal sebagai salah satu penguasa kabupaten dengan julukan kota keris ini. Nama itu hanyalah sebuah ‘nisbat’. Karena nama asli Mandaraga, konon ialah Raden Piturut. Mandaraga adalah sebuah tempat atau lokasi beliau bertempat tinggal. Dalam konteks penguasa, di tempat itu ia bertahta atau mendirikan keratonnya.
Namun kemudian, terkait silsilah dan masa hidup Pangeran Mandaraga masih menjadi misteri hingga kini. Dalam catatan babad karya Werdisastra, nama Pangeran Mandaraga disebut lebih awal. Babad memang memulai kisahnya dari sosok legendaris utama Sumenep: Jokotole. Kendati literatur lain menyebut bahwa Sumenep, dari catatan autentik, sudah diperintah oleh penguasa bernama Aria Wiraraja, sekitar kurang lebih 2 abad sebelumnya. Nah, Pangeran Mandaraga dikenal sebagai keturunan langsung adik Wiraraja, yaitu Aria Bangah, yang selanjutnya mengganti sang kakak sebagai Adipati di Sumenep.
Namun, di beberapa catatan silsilah, baik yang bersumber di Madura Timur (Sumenep) atau Barat (Pamekasan hingga Bangkalan), ada nama Pangeran Mandaraga yang disebut sebagai cucu Sunan Kudus. Beliau ditulis sebagai suami Nyai Gede Kentel, cucu Sunan Giri. Catatan itu bahkan diadopsi juga oleh penulis buku silsilah keluarga besar Keraton Sumenep dari dinasti terakhir.
“Dalam buku silsilah Sumenep, salah satunya yang disusun oleh RB Abdul Fatah, setebal 75 halaman,” kata R. B. Mohammad Muhlis, salah satu pemerhati sejarah di Sumenep.
Masalahnya, jika kemudian Pangeran Mandaraga yang disebut sebagai suami Nyai Gede Kentel itu adalah orang yang sama dengan penguasa Sumenep di kurun 1300-an Masehi itu, jelas tertolak dengan fakta sejarah masa hidup Sunan Giri (kakek Nyai Gede Kentil) yang lahir di paruh pertama 1400-an Masehi.
“Namun masalah lainnya, kedua sumber tersebut, yaitu babad dan catatan silsilah yang versi ke Sunan Kudus, sama-sama menyebut bahwa Pangeran Mandaraga berputera Pangeran Bukabu dan Pangeran Baragung,” kata Muhlis.
Lalu bagaimana dengan postur makam? KH. Suhil Imam di Ambunten yang juga dikenal sebagai pemerhati silsilah dan sejarah ikut berkomentar. Menurut beliau makam tersebut tidak sepanjang itu. Namun sudah dipugar lagi. “Tidak seperti itu aslinya,”tuturnya. Ia juga menyebut nama Mandaraga kurang tepat, namun yang benar ialah Mandiraga.
Terpisah, R.B Nurul Hidayat, salah satu pemerhati sejarah lainnya mengatakan, mungkin kata-kata Kiai Suhil ada benarnya. Pasalnya, kijing makam sudah tidak original, alias dikeramik. “Bisa jadi antara nisan bagian kepala dan kaki bergeser atau memang sengaja digeser,”katanya.***