Penulis: Satwiko Rumekso | EDitor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII, perkembangan industrialisasi meningkat seiring era Tanam Paksa (Cultuur Stelsel). Hal ini bisa dilihat dari tumbuh dan berkembangnya pabrik gula waktu itu. Tak kurang terdapat 17 pabrik gula berdiri pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII.

Pabrik-pabrik tersebut terdiri dari pabrik milik Kasultanan, swasta maupun milik Belanda. Dari setiap pabrik, beliau menerima uang sebesar f 200.000 (f = florin, rupiah Belanda) dari Pemerintah Belanda.
Setelah penerapan Sistim Tanam Paksa, Cultuurstelsel, dengan keuntungan yang berlipat, pemerintah kolonial Hindia Belanda kemudian menerapkan liberalisme ekonomi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) di Hindia Belanda (1870-1914).
Banyak para pribumi priyayi yang kemudian bekerja sama dengan para investor asing swasta dari Eropa untuk berinvestasi di bidang perkebunan yang sangat menjanjikan.
Salah satu investasi yang sangat prospektif kala itu adalah gula, mengingat kala itu orang-orang Eropa sudah mebemukan kopi dan teh sehingga membutuhkan gula untuk pemanis tang kala itu hanya menggunakan bit untuk pemanis.
Setelah ditemukannya batang tebu (suikerriet) di Amerika Latin sebagai bahan baku gula, maka para investor Eropa mencoba menanam tebu dan Hindia Belanda dan hasilnya sungguh luar biasa. Hindia Belanda kala itu menjadi negara ekspotir gula terbaik di dunia setelah Kuba.
Pada akhir abad 19, perkebunan tebu banyak dijalankan oleh perusahaan-perusahaan swasta Belanda yang kemudian lazim dengan istilah onderneming. Mereka menjalankan usaha ganda di Yogyakarta. Disamping menjalankan usaha tebu mereka juga mendirikan pabrik gula di sekitar areal perkebunan tebu.
Tujuan utama yang ingin dicapai adalah memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Pabrik gula yang diusahakan pihak kolonial dipimpin oleh seorang administratur yang bertindak sebagai pengelola perusahaan. Administratuur dibantu oleh beberapa orang pengawas (ziender). Jabatan seperti administratuur dan ziender diduduki oleh orang Belanda, sedangkan orang-orang pribumi biasanya merupakan pegawai rendahan dan tenaga kasar.
Sebagai contoh, sebuah pabrik gula di Yogyakarta biasanya dikelola oleh administratuur dengan bantuan 20-25 orang Belanda. Pada musim giling, jumlah orang pribumi berkisar antara 800-1000 orang, sedangkan pada musim sepi berkisar antara 250-300 orang.
Di Kasultanan Ngayogyakarta sendiri yang hanya memiliki total area tidak begitu luas atau hanya 3.185,8 Km2 pernah terdapat 18 1/5 Pabrik Gula swasta sehingga Sri Sultan Hamengku Buwono V11 yang memerintah sejak 1877-1921 kala itu disebut dengan Sultan Sugih.

Pabrik Gula Kedaton
Di antara pabrik gula yang pernah berdiri kala itu adalah:
1. Pabrik Gula (P.G.) Randugunting, (Suikerfabriek (Sf.) Randoegoenting) Tamanan, Tamanmartani Kalasan, dimana bagian perkantoran semuanya masuk Kalasan tetapi bagian produksi ada di Manisrenggo Klaten.
2. Pabrik Gula (P.G.) Tanjungtirto (Sf. Tanjoeng / Sf. Kalasan / Sf. Tandjoeng Tirto) Teguhan, Kalitirto Berbah. Pabrik gula ini telah beralih fungsi menjadi gudang tembakau.
3. Pabrik Gula (P.G.) Wonocatur (Sf. Wonotjatoer) Banguntapan Bantul. Pabrik gula ini telah beralih fungsi menjadi Museum Dirgantara.
4. Pabrik Gula (P.G.) Kedaton Pleret (Sf. Kedaton Pleret). Pabrik gula ini telah beralihfungsi menjadi lapangan.
5. Pabrik Gula (P.G.) Jebugan / P.G. Bantul (Sf. Bantoel) Jebugan, Trirenggo Bantul.
6. P.G. Barongan (Sf.Barongan) dusun Mindi, Sumberagung Jetis Bantul. Pabrik gula ini berada pada jalur kereta Ngabean-Kotage-Pleret-Pundong yang ditandai dengan sebuah tugu. Kini berada di UPT Balai Benih Pertanian Barongan.

Teknologi era kolonial masih dipakai
7. P.G. Pundong (Sf. Poendoeng) dusun Piring, Srihardono, Pundong Bantul. Pabrik gula ini telah beralihfungsi menjadi Balai Rehabilitasi Terpadu Penyandang Disabilitas (Balai RTPD).
8. P.G. Padokan (Sf. Padokan) atau Pabrik Gula Madukismo di Tirtonirmolo Kasihan Bantul. Pabrik gula Madukismo masih aktif hingga saat ini.
9. P.G. Gondanglipuro / P.G. Ganjuran (Sf. Gondanglipoero) dusun Kaligondang Jogodayoh Sumbermulyo Bambanglipura Bantul. Pabrik gula ini pabrik ini didirikan tahun 1862 oleh Stefanus Barends dan istrinya, Elisa Fransisca Wilhelmina Kathaus. Kini telah beralihfungsi menjadi RS Elisabeth, Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus, Asrama Putri Santa Maria, SMA Stella Duce Ganjuran, dan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran.
Stefanus Barends meninggal 1876, dan PG Gondanglipuro diwariskan kepada EFW Kathaus yang menikah lagi pada 1880 dengan Gotfried Schmutzer Sr. Dari pernikahan keduanya ini EFW Kathaus memiliki empat anak, yakni Josef Ignas Julius Maria Schmutzer, Julius Robert Anton Maria Schmutzer, Elisa Anna Maria Antonia Schmutzer, dan Eduard Wilhelm Maria Schmutzer.
Josef dan Julius tinggal di Belanda dan kembali ke Gondanglipuro pada tahun 1910. EFW Kathaus meninggal pada tahun 1912 dan pabrik gula tersebut dibeli oleh Josef dan Julius Schmutzer. Dalam menjalankan PG Gondanglipuro tersebut Josef dan Julius menerapkan Ajaran Sosial Gereja yang dicetuskan oleh Paus Leo XIII.
10. P.G. Gesikan (Sf. Gesikan) Wijirejo Pandak Bantul. Pabrik gula ini hanya bersisa pondasi dan telah berubah menjadi lapangan.
11. P.G. Demakidjo (Sf. Demakidjo) Modinan, Banyuraden Gamping Sleman yang sejarang telah beralihfungsi menjadi Kompi Kavaleri 2/Jayeng Rata Toh Raga (atauKikav 2/JTR).
12. P.G. Cebongan (Sf. Cebongan) di dusun Cabakan, Sumberadi Mlati Sleman Pabrik gula ini telah beralihfungsi menjadi gudag beras dan puskesmas Mlati ll.
13. P.G. Beran (Sf. Beran) di sebelah utara bejas stasiun Beran. Pabrik gula ini telah beralihfungsi menjadi Kompleks Pemkab Sleman.
14. P.G. Medari (Sf. Medari) Sebayu Triharjo Sleman. Pabrik gula ini telah beralihfungsi menjadi Pabrik Tekstil.
15. P.G. Rewulu (Sf. Rewoeloe) Sidokarto Godean Sleman dekat stasiun Rewulu. Pada tahun 1942 dibumi hanguskan oleh Jepang.
16. P.G. Klaci (Sf. Klatji) Kowanan Sidoagung Godean Sleman. Pabrik gula ini telah beralihfungsi menjadi SMK 1 GODEAN.
17. P.G. Sendangpitu (Sf. Sendangpitoe) Sendangrejo Minggir Sleman. Sekarang telah berubah menjadi lapangan Padon.
18. P.G. Sedayu (Sf. Sedajoe) Argorejo Sedayu Bantul. Pabrik Gula ini terbakar pada masa Agresi Militer Belanda ll tahun 1948 dan hanya menyisakan satu bangunan di pekarangan penduduk.
19. P.G. Sewugalur (Sf. Sewoegaloer) Karangsewu Galur Kulonprogo yang dibangun bersamaan dg pembangunan jembatan Srandakan pada 1881. Pabrik gula ini hanya tersisa bekas cerobong dan saluran pembuangan limbah dari Sewugalur ke sungai Progo.
Pabrik Gula Sewugalur didirikan pada tahun 1881 oleh beberapa orang Belanda antara lain, E.J. Hoen, O.A.O. van der Berg, dan R.M.E. Raaff. Pada awalnya pabrik gula itu dengan modal 750.000 gulden. Beberapa pengusaha itu menyewa tanah-tanah dari para bangsawan Pakualaman dan menjadi aset utama pabrik gula Sewu Galur. Total hasil produksi gula pasir di pabrik ini sekitar 4.326.000 Kg sampai 4.944.000 Kg.
Untuk mendukung penggangkutan hasil industri gula, termasuk Lori pengangkut batang tebu maka dibangunlah sistem transportasi kereta api. Pada saat itu ada dua perusahaan kereta api yang beroperasi yaitu SS (statspoorweg) perusahaan milik pemerintah Hindia Belanda dan NISM (Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij) milik swasta Belanda.
Di daerah Yogyakarta transportasi kereta api dikembangkan pada masa akhir pemerintahan Hamengku Buwono VI, yaitu dengan dibangunnya Stasiun Lempuyangan oleh NISM (2 Maret 1872 M) dan pada awal pemerintahan Hamengku Buwono VII, dengan dibangunnya Stasiun Tugu oleh SS (12 Mei 1887 M).
Pembangunan jalur kereta api yang berada di lintas selatan Yogyakarta diresmikan pada tahun 1895 untuk menghubungkan ruas Yogyakarta-Palbapang-Srandakan, berlanjut sampai ke Sewugalur (yang dibuka pada tahun 1915-1916) sejauh 28 km, serta Ngabean-Pundong yang dibuka pada tahun 1917-1919 sejauh 27 km.
Jalur kereta api Yogyakarta-Pundong dimulai dari Stasiun Tugu-Jlagran Lor-Pringgokusuman-Ngabean-Gendingan-Suryawijayan-Pojok Beteng Kulon (bercabang)-Timuran (Pojok Beteng Wetan)-Sidikan-Kotagede-Kuncen-Bintaran-Kedaton Pleret-Wonokromo-Ngentak-Jetis-Barongan-Patalan-Potrobayan-Pundong.
Adapun jalur Yogyakarta Sewugalur dimulai dari Stasiun Tugu-Ngabean Pojok Benteng Kulon (bercabang)-Dongkelan-Winongo (bercabang)-Padokan/Madukismo-Winongo-Jepit-Bantul-Paalbapang (bercabang ke selatan ke Gondanglipura Ganjuran-Dawetan-Pabrik Gula Pundong) dan (bercabang ke barat)-Bajang-Batikan-Pekojan-Mangiran-Srandakan-Jembatan Kali Progo-Brosot-Pasar Kranggan-Sewugalur.
Untuk lintas utara Yogyakarta, meliputi ruas Yogyakarta-Tempel sampai ke Magelang (sejauh 47 km) yang dibuka pada tahun 1903 serta melewati PG. Beran,PG Medari dan Pabrik-pabrik Gula lainnya di wilayah utara kota Yogyakarta (Sleman).
Jalur utara dimulai dari Stasiun Tugu (bercabang ke barat Kutoarjo, keselatan ke Palbapang, ketimur ke Lempuyangan-Solo Balapan dan ke utara)-Kutu-Mlati-Sleman-Beran-Medari-Tempel-Semen-Tegalsari-Pabelan-Blabak-Blondo-Japunan-Mertoyudan-Banyurojo-Magelang-Payamam (bercabang)-Parakan Temanggung-Payaman-Secang-Ambarawa.
Tetapi pada tahun 1930 terjadi krisis ekonomi dunia (malaise) sehingga pada tahun 1931 terjadi kesepakatan perdagangan gula yang dikenal sebagai Charbourne Agreement.
Pada perjanjian itu pihak pemerintah Hindia Belanda diharuskan mengurangi jumlah produksi dari sekitar 3 juta ton menjadi 1,4 juta ton. Sebagai akibat dari pengurangan itu banyak pabrik gula yang tutup dan mengalami kebangkrutan.
Catatan lain menunjukkan, hingga pada tahun 1835, pabrik gula tebu pertama di Yogya didirikan oleh masyarakat Tionghoa dan mampu menghasilkan 1.000 pikul gula. Tahun 1846, produksinya terus meningkat menjadi 4.000 pikul bersamaan dengan harga gula yang mulai naik.
Puncak produksi gula tebu terjadi pada tahun 1866, sebanyak 64.500 pikul.
Dikisahkan kala itu akibat Charbourne Agreement konon pihak pabrik terpaksa membayar para pekerja pribumi dengan gula bukan dengan uang sehingga gula yang biasanya untuk komoditi ekspor keluar negeri banyak beredar di kalangan pribumi dan banyak digunakan untuk campuran makanan mereka. Makanan dari parutan kelapa yang melimpah di Bantul dicampur dengan gula menjadi geplak.
Banyak makanan lain yang terasa manis karena campura gula yang khas seperti kipo, kicak, cucur, clorot, cenil, grubi, dadar gulung, dan lainnya. Bahkan bahan makanan, sayuran dan lauk pauk tidak luput dari campuran gula seperti thiwul, gudeg, tahu tempe bacem dan telor sehingga hampir semua makanan seakan terasa manis.***