Menu

Mode Gelap

Uncategorized

Cerita Hari Ini: Jokotole Legenda Madura Sakti Lahir dari Potre Koneng yang Berhubungan Intim Lewat Mimpi

badge-check


					Ilustrasi Jokotole Penguasa Sumenep yang punya kuda terbang Perbesar

Ilustrasi Jokotole Penguasa Sumenep yang punya kuda terbang

Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya

KREDONEWS.COM, SURABAYA-Tokoh legendaris dari ujung timur Pulau Madura, mungkin demikianlah kita menyebut tentang kisah sang tokoh bernama Jokotole. Beliau merupakan putra yang lahir dari seorang putri cantik rupawan dari keraton Songenep bernama Dewi Saini atau yang populer dengan julukan Potre Koneng.

Potre Koneng merupakan putri dari pasangan Raden Ayu Retna Sarini dengan Wagung Rukyat alias Pangeran Secadiningrat II. Mengalir darah ningrat pada sosok Potre Koneng ini. Ia masih cucu dari Pangeran Natapraja atau Pangeran Bukabu. Sebab, ibunda Potre Koneng merupakan putri dari raja yang berkuasa di kawasan Desa Bukabu, Ambunten.

Dalam Babad Songenep karya Raden Musa’ied Werdisastra, dikisahkan bahwasanya Potre Koneng adalah putri keraton yang sering melakukan tirakat atau semedi, terutama yang masyhur pernah melakukan tirakat di Gua Payudan, di Desa Payudan Daleman, Kecamatan Guluk-guluk, Sumenep. Ada sebuah legenda tentang kisah asmara sang putri dengan sosok penguasa di Pulau Sepudi, yakni Adi Poday.

Menurut legenda, perkawinan antara Adi Poday dari Sapudi dengan Potre Koneng itu lewat mimpi atau kawin batin. Saat sang Putri sedang bertirakat, tiba-tiba dikejutkan dengan secercah sinar yang membuat perutnya hamil. Pada akhirnya, lahirlah tokoh yang melegenda dan namanya harum di negeri Majapahit.

Jokotole Dibuang 

Waktu kian berlalu, perut sang Putri pun kian membesar. Hingga saat tiba waktu hari kelahiran (Madura: Katerbi’enna), putri keraton tersebut melahirkan sesosok bayi yang tampan rupawan, wajahnya bersinar mengeluarkan cahaya. Kemudian, si bayi mungil tersebut diberi nama Jokotole.

Namun, meski lahir dari keluarga keraton, nasib sang bayi sangat memprihatinkan. Malang tak dapat ditolak, untung tak bisa diraih. Ia justru dibuang dan tidak bisa menikmati kemewahan di lingkungan keraton Banasare. Sosok bayi tersebut kemudian diasuh oleh seorang empu yang bernama Empu Kelleng.

Menurut legenda, si kerbau putih peliharaan Empu Kelleng yang menyusui Jokotole di tempat ia dibuang. Hingga pada akhirnya ditemukan dan diasuh sebagai anak angkat oleh sang Empu yang bermukim di Desa Pakandangan, Kecamatan Bluto.

Karena dibesarkan di lingkungan seorang pandai besi, maka tak heran jika kemudian Jokotole turut memiliki keahlian dalam mengolah besi baja menjadi pusaka, alat pertanian, pisau, dan arit yang dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari.

“Bakat dan keahlian yang dimiliki Empu Kelleng dalam mengolah besi menjadi pusaka, benar-benar diwariskan kepada putra angkatnya yaitu Jokotole. Bahkan, menurut cerita, Jokotole lah yang mampu merampungkan pintu gerbang keraton Majapahit di tanah Jawa Dwipa.

Ia yang ikut membantu para empu se-tanah Jawa dalam rangka pembangunan gapura agung atau pintu gerbang keraton Majapahit, lebih khususnya Empu Kelleng. Dan beliau juga yang mampu merekatkan (Madura baca: Matre’e) sambungan pintu besar tersebut. Maka tak heran, jika kemudian dikenal sebagai sosok yang mendirikan bangunan bersejarah itu,” ungkap Nurul Hidayat.

Setelah cukup dewasa, berkat perjuangan dan keberhasilannya di tanah Majapahit, Jokotole pun dinikahkan dengan putri Raja Prabu Kertabumi Brawijaya V yang bernama Raden Ayu Dewi Ratnadi. Selain itu, Jokotole pun diberi gelar Raden Aria Kuda Panole, dan berkuasa di Sumenep antara tahun 1415-1460 Masehi dengan gelarnya Secadiningrat III.

Pernikahan antara Jokotole dengan Raden Ayu Dewi Ratnadi dikaruniai putra dan putri. Di antaranya, Raden Aria Wigananda dan Raden Ayu Sunan Paddusan. Raden Aria Wigananda lah yang melanjutkan tahta keraton Sumenep setelah Jokotole wafat. Beliau bertahta antara tahun 1460 sampai dengan 1502 Masehi, dan keratonnya berada di Desa Gapura, Kecamatan Gapura, Sumenep.

Punya Kuda Terbang

Kuda terbang, begitulah lughat (bahasa) orang Sumenep menyebutnya. Cerita yang cukup melegenda dalam sejarah perjalanan masa hidup sosok raja yang tampan rupawan titisan para ningrat di zamannya. Cerita Jokotole dan kuda terbang tunggangannya seolah bagai dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.

Kuda terbang sang raja itu, hingga kini dianggap sebuah mitos atau legenda semata. Namun, meski demikian, mitos kuda terbang ternyata hingga kini menjadi sebuah lambang kebanggaan kabupaten di ujung timur pulau garam ini.

“Pada masa pemerintahan keraton Sumenep, kuda terbang juga menjadi lambang negara Songennep, hingga era sekarang ini masih tetap menggunakan lambang tersebut,” ujar R.B. Jakfar Shadiq, salah satu pemerhati sejarah di Sumenep.

Kuda terbang Jokotole merupakan pemberian sang paman, yakni Adirasa, seorang pertapa sakti dari tanah Sepuh Dewe atau Kepulauan Sepudi, Kabupaten Sumenep. Adirasa adalah saudara dari ayahanda Jokotole, yakni Adipoday.

Kuda terbang itu bernama “Megaremmeng”. Kuda tersebut bukanlah sembarang kuda. Wujudnya hanya yang berbentuk kuda. Namun, ajaibnya, kuda ini bisa terbang, bisa menghilang, bahkan bisa berfungsi sebagai prajurit perang yang bisa mengamuk sendiri. Selain kuda Megaremmeng, sang paman juga memberikan ilmu samar, serta sebuah cemeti yang juga tak kalah hebatnya dengan kuda tersebut.

“Cemeti Jokotole bila dipukulkan pada sebuah gunung, maka akan hancur lebur gunung itu. Bila dipukulkan pada angin, anginnya akan berhenti. Serta, bila dipukulkan pada musuh, musuhnya akan hancur lebur dan mati. Cerita ini meski berjenis folklore, namun tetap melegenda di belahan bumi Sumekar ini,” terang Jakfar.

Wafatnya sang Nata

Jokotole alias Aria Kudapanole dikisahkan wafat dalam perjalanan antara Kecamatan Dungkek menuju Keraton Sumenep.

Dungkek, tepatnya di kawasan Desa Lapataman, sang ksatria jatuh sakit. Di usia senjanya, beliau memang lebih suka menjauh dari kehidupan duniawi dan persoalan pemerintahan. Itulah sebabnya, sebelum mangkat, tahta keraton Sumenep sudah diserahkan pada putra mahkotanya yang bernama Raden Aria Wigananda dan patihnya bernama Aria Banyak Modang.

Mendengar kabar bahwasanya beliau jatuh sakit, sang pangeran bermaksud menjemput ayahanda dari pesanggrahannya di Desa Lapataman, Kecamatan Dungkek, guna dibawa pulang dan dirawat di keraton Sumenep. Putra mahkota khawatir ayahandanya wafat di tempat tersebut.

Meski bersedia dibawa dengan sebuah tandu, Jokotole meramalkan bahwa hembusan nafasnya tidak akan sampai ke pusat keraton Sumenep. Sebab kondisinya sudah kritis. Ramalan tersebut tersirat dalam sebuah wasiat kepada putranya yakni Raden Aria Wigananda.

Jokotole berkata: “Anakku tercinta, maksud ananda menjemput sang ayah di pesangrahan sangatlah baik. Akan tetapi, rasanya ayah tak akan sampai ke keraton Sumenep. Kondisi ayah sudah tak kuat lagi menahan rasa sakit ini, dan umur sudah di ujung senja. Jika ayah menghembuskan nafas terakhir dalam perjalanan, dan di mana nanti tandu yang membawa jasadnya patah, maka di situlah ayah dikuburkan.” “Iya, baik, Ayah,” jawab sang putra mahkota dengan penuh rasa sedih.

Rombongan keluarga keraton Sumenep pun bergerak ke arah barat Desa Lapataman, tepat di sebuah desa kecil, beliau menghembuskan nafas terakhirnya. desa tersebut dikenal dengan nama “Tang Bhatang” diambil dari kata Bhebetang, atau jika dalam bahasa Indonesia bermakna bangkai. Bangkai yang dimaksud adalah jasad Jokotole. Dari peristiwa duka ini pada perkembangannya dikenang menjadi nama sebuah Desa yakni Batang-batang.

Duka menyelimuti rombongan keluarga keraton Sumenep, kala itu. Jasad Jokotole tetap ditandu menjuju arah barat desa kecil tersebut. Langkah demi langkah menjadi saksi jejak perjalanan, setapak demi setapak jalan pun dilalui, teriknya matahari menjadikan semangat para pemikul tandu. Jalanan terjal dan berkelok, mereka susuri. Sehingga, pada akhirnya, rombongan pun merasa lelah dan bermaksud berhenti sejenak untuk beristirahat sebelum sampai ke keraton Sumenep.

Kejadian-kejadian yang dilalui oleh rombongan keraton diabadikan menjadi nama-nama desa, seperti Desa Kolpo, diambil dari kata lempo atau lelah, Desa Tamedung diambil dari kata tatedung, dung-tedungan atau ketiduran. Desa Aeng Merah diambil dari proses penggalian air yang dibutuhkan untuk minum rombongan keluarga keraton. Konon, airnya yang keluar dari sumber mata air tersebut berwarna merah (Madura baca: Aeng Mera),” terang Jakfar.

Babad Sumenep pun mengisahkan wafatnya Jokotole dalam perjalanan menuju Sumenep. Sesuai dengan wasiat sang legenda, jenazahnya tetap dibawa ke arah Barat. Nah, sampai di Kampung Sa’asa, yang sekarang masuk kawasan desa Lanjuk, Kecamatan Manding, usungan tandu itu patah. Maka, sang Nata pun dimakamkan di sana.

Pasarean Jokotole alias Aria Kudapanole berada di Kampung Sa’asa, Desa Lanjuk, Kecamatan Manding, Kabupaten Sumenep. Hanya terdapat satu makam utama, yaitu Asta Jokotole. Asta Jokotole sudah mendapat perhatian dari pemerintah Kabupaten Sumenep dan termasuk cagar budaya yang dilindungi. Saat ini, Asta Jokotole juga menjadi wisata religi, dan selalu ramai akan peziarah.

“Namun, sekitar 15 meter di arah selatan, ada makam juga. Konon, itu makam usungan tandu sang Nata. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa itu makam si kuda terbang Megaremmeng,” pungkas Jakfar.***

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Cerita Hari Ini: Menakjinggo Pria Sakti yang Dikibuli Ratu Majapahit

8 September 2025 - 13:00 WIB

Blood Moon Akan Terlihat di Seluruh Indonesia, Malam Ini

7 September 2025 - 18:44 WIB

Hantu Indonesia dengan Hantu Jepang Serupa Tapi Tak Sama

7 September 2025 - 15:55 WIB

Teknologi Phone Farm Untuk Pengaruhi Opini dan Perangkat Minimal yang Dibutuhkan

6 September 2025 - 19:56 WIB

Kita Tidak Pernah Bisa Menghitung Luas Lingkaran dengan Tepat

6 September 2025 - 07:49 WIB

Cerita Hari Ini: Di Indonesia, Aksi Protes Sudah Ada Sejak Era Majapahit

1 September 2025 - 15:28 WIB

Cerita Hari Ini: Kisah Raden Panji Dikelabui Kuntilanak Ganas Kalakunti di Hutan Keramat

26 Agustus 2025 - 11:37 WIB

Cerita Hari Ini: Sunan Bungkul, Petinggi Majapahit Penyebar Agama Islam Berumur 300 Tahun

25 Agustus 2025 - 11:43 WIB

Cerita Hari Ini: Kisah Sawunggaling Pukul Mundur 5.000 Pasukan Kompeni dan Tiga Kapal Perang

22 Agustus 2025 - 13:53 WIB

Trending di Uncategorized