Menu

Mode Gelap

Uncategorized

Cerita Hari Ini: Dibantu Nyi Roro Kidul Senopati Mengalahkan Pasukan Sultan Pajang yang Jumlahnya Lebih Besar

badge-check


					Kawasan Masjid Gede Mataram merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Mataram Islam (Instagram/ Perbesar

Kawasan Masjid Gede Mataram merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Mataram Islam (Instagram/

Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya

KREDONEWS.COM, SURABAYA-Setelah sekian pembangkangan, Sultan Pajang, Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, sepertinya tidak bisa lagi menoleransi sikap Panembahan Senopati.

Perang peratama antara Pajang dan Mataram pun terjadi, lokasinya di Prambanan.

Peperangan tersebut digambarkan dengan detail oleh H.J. De Graaf dalam bukunya, Awal Kebangkitan Mataram.

Babad Tanah Jawi mengisahkannya sebagai berikut:

Setelah Senopati lancang menyelamatkan iparnya Tumenggung Mayang yang dibuang ke Semarang, Sultan Pajang pun geram.

Sultan Pajang, yang selama ini lunak, lantas memerintahkan pasukannya untuk menyerang Mataram.

Para bupati di perbatasan juga dikumpulkan. Mereka tidak disuruh retret tapi perang betulan hidup atau mati.

Di antara mereka adalah Adipati Tuban, Adipati Demak, dan Adipati Banten.

Pasukan Pajang berangkat ke barat dan memilih berkemah di Prambanan.

Versi Serat Kandha lebih detail, yang menyebut pasukan Pajang kurang lebih sebanyak 10 ribu pasukan sekitar satu divisi tempur.

Pangeran Benawa juga ikut berperang melawan saudara angkatnya tersebut.

Di sisi lain, Senopati hanya punya 800 pasukan yang dikumpulkan di Randulawang.

Ki Juru Martani yang ahli strategi menasihati Senopati agar tidak berperang dulu, karena percuma, pasti kalah.

Dia menyuruh Senopati untuk memohon kepada Allah. Juga menyuruh Senopati meminta bantuan kepada Nyi Roro Kidul, sementara dirinya pergi ke Gunung Merapi.

Di samping itu, Senopati juga menugaskan sebagian pasukannya membuat banyak tumpukan kayu di Gunung Kidul.

Nantinya, kayu-kayu akan dibakar.

Terkait perintah bertemu Nyi Roro Kidul, versi Serat Kandha juga lebih detail, dengan menyebut nama Goa Langse tempat di pantai selatan yang sampai hari ini digunakan sebagai tempat bertapa.

Sementara terkait jumlah pasukan, sumber ini menyebut,pasukan yang dikumpulkan Senopati berjumlah 1.000, 300 di antaranya ditugaskan di selatan Prambanan.

Unit 300 pasukan itu dapat tugas khusus: begitu terdengar suara letusan Gunung Merapi, mereka harus segera memukul-mukul canang Kiai Bicah dan berteriak-teriak.

Sebagai panglima, diangkat Tumenggung Mayang adik ipar Senopati.

Semua rencana berjalan sesuai keinginan.

Faktor Alam

Seiring Senopati dan Ki Juru Martani yang terus menengadah ke langit, jin, peri, dan prayangan dibarengi hujan, badai, dan suara gemuruh yang dahsyat datang bersamaan.

Setelah itu Gunung Merapi meletus, menyemburkan api dan suara gemuruh, debu pun turun dengan lebatnya.

Kali Opak penuh dengan lumpur dan batu-batu besar.

Bersamaan dengan itu, tumpukan kayu yang disusun di bukit-bukit di Gunung Kidul dibakar, sehingga tampak seperti lautan api.

Para pasukan khusus juga membunyikan canang Ki Bicak dengan bertalu-talu.

“Kombinasi antara gejala alam dan kecerdikan ini dimaksudkan untuk menakut-nakuti orang Pajang,” tulis De Graaf.

Sultan Pajang pun ketakutan, meskipun adipati Tuban terus-terusan menggelorakan semangatnya.

Tapi sepertinya Sultan sudah pasrah dan merasa riwayatnya akan berakhir.

Dia juga yakin bahwa dirinya adalah raja Pajang yang terakhir, dan Senopati akan menjadi penggantinya.

Gejala alam semakin mengerikam, tentara Pajang lari tunggang langgang, Sultan pun demikian.

Mereka menyangka musuh datang menyerang, balatentara Pajang yang besar itu pun tersapu bersih dalam sekejap.

Serangan dari Mataram yang dipimpin oleh Panembahan Senopati mengguncang Pajang hingga ke akar-akarnya. Sultan Hadiwijaya, Raja Pajang yang terkenal bijaksana, jatuh sakit tak lama setelah kekalahan tersebut. Namun, penyakit yang dideritanya diyakini bukan penyakit biasa.

Menurut legenda yang dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi, ketika Sultan Hadiwijaya terbaring lemah, Panembahan Senopati datang untuk menjenguknya. Namun, kedatangan Senopati ini disertai dengan kehadiran jin-jin yang tunduk kepadanya. Jin-jin ini memiliki kekuatan luar biasa, dan hanya Senopati yang mampu melihat mereka. Dalam suasana yang penuh dengan ketegangan, salah satu jin menawarkan sesuatu yang mengerikan kepada Senopati.

“Berikanlah perintah kepada saya, maka saya akan membunuh Sultan Pajang untukmu,” bisik jin itu dengan nada menggoda.

Senopati, meski terkejut dengan tawaran tersebut, tidak segera menolak. Ia merasa ragu-ragu dan membiarkan jin tersebut membuat keputusan sendiri. “Saya tidak berniat seperti itu, tetapi jika kau ingin melakukannya, saya tidak akan melarangmu,” jawab Senopati dengan hati-hati.

Setelah percakapan itu, jin tersebut berangkat menuju Keraton Pajang. Saat itu, Sultan Hadiwijaya sedang berbaring lemah di tempat tidurnya, dijaga oleh istri-istri dan putra-putranya. Tanpa disadari oleh siapapun, jin itu datang dan duduk di atas dada Sultan. Seolah-olah ditekan oleh kekuatan yang tak terlihat, Sultan Hadiwijaya pingsan dan kondisinya semakin memburuk. Meskipun sempat siuman, nyawanya tak tertolong. Tak lama kemudian, Raja Pajang menghembuskan nafas terakhirnya.

Kematian Sultan Hadiwijaya menimbulkan banyak spekulasi. Beberapa percaya bahwa itu adalah akibat dari penyakit yang alami, tetapi tidak sedikit yang yakin bahwa kematiannya dipicu oleh campur tangan mistis. Cerita ini diperkuat oleh perbedaan versi yang ditemukan dalam naskah kuno Serat Kandha, yang seolah ingin membersihkan nama Panembahan Senopati dari segala tuduhan.

Di Serat Kandha, diceritakan bahwa Senopati kembali ke Mataram sebelum Sultan meninggal, dan kematian Raja Pajang disebabkan oleh faktor alami. Namun, kisah tentang jin yang duduk di dada Sultan Pajang tetap menghantui ingatan rakyat. Apakah kematian Raja Pajang benar-benar akibat dari penyakit, atau ada kekuatan lain yang bekerja di balik layar?

Dalam cerita silat karangan SH Mintardja, sakitnya Sultan Pajang yang berperang naik gajah itu karena memikirkan mengapa anaknya itu mbalelo bukan sakit fisik`

Satu hal yang pasti, kematian Sultan Hadiwijaya menjadi titik balik dalam sejarah Pajang dan Mataram. Dengan wafatnya sang Raja, Kerajaan Pajang perlahan-lahan runtuh, dan Mataram semakin kuat di bawah kepemimpinan Panembahan Senopati. Namun, misteri di balik kematian Sultan Pajang tetap menjadi legenda yang terus dibicarakan hingga kini, menambah aura mistis dalam sejarah Nusantara. ***

 

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Cerita Hari Ini: Gagal Taklukan Batavia, Baurekso dan 744 Pasukannya Dihukum Mati Sultan Agung

10 Maret 2025 - 09:53 WIB

Cerita Hari Ini: VOC Memprovokasi Mataram dengan Mengalahkan Ratu Kalinyamat

9 Maret 2025 - 14:42 WIB

Cerita Hari Ini: Raja Mataram Ternyata Punya Abdi Dalem Raksasa Ghaib yang Sakti

8 Maret 2025 - 09:41 WIB

Cerita Hari Ini: Akal Bulus Sultan Agung Menaklukkan Giri Kedaton

7 Maret 2025 - 16:59 WIB

Cerita Hari Ini: Tak Hanya Perang, Sultan Agung Ciptakan Kalender Jawa

6 Maret 2025 - 10:38 WIB

Planet Mars Pernah Memiliki Lautan dan Pantai

5 Maret 2025 - 04:46 WIB

Cerita Hari Ini: Sultan Agung `Menyerang` Mekah Gara-gara Ini

5 Maret 2025 - 04:31 WIB

Cerita Hari Ini: Menyerbu Tiga Kali Sultan Agung Gagal Taklukkan Blambangan

4 Maret 2025 - 09:42 WIB

Cerita Hari Ini: Intel Mataram Beri Informasi Keliru ke Adipati Tuban Sehingga Sultan Agung Akhirnya Menang

3 Maret 2025 - 17:33 WIB

Trending di Uncategorized