Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Raden Wijaya menjadi raja pertama Majapahit yang merdeka tahun 1293. Dari prasasti Kudadu (1294) diketahui jabatan Aria Wiraraja adalah sebagai pasangguhan dengan gelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka. Pada prasasti Penanggungan (1296) nama Wiraraja sudah tidak lagi dijumpai.
“Prasasti Kudadu” menyebutkan bahwa ketika Raden Wijaya melarikan diri bersama 12 pengawal setianya ke Madura, Adipati Arya Wiraraja memberikan bantuan kemudian melakukan kesepakatan “pembagian tanah Jawa menjadi dua” yang sama besar yang kemudian di sebut “Perjanjian Sumenep”.
Setelah itu Adipati Arya Wiraraja memberi bantuan besar-besar kepada Raden Wijaya termasuk mengusahakan pengampunan politik terhadap Prabu Jayakatwang di Kediri dan pembukaan “hutan Tarik’ menjadi sebuah desa bernama Majapahit. Dalam pembukaan desa Majapahit ini sungguh besar jasa Adipati Arya Wiraraja dan pasukan Madura. Raden wijaya sendiri datang di desa Majapahit setelah padi-padi sudah menguning.
Kira-kira 10 bulan setelah pendirian desa Majapahit ini, kemudian datanglah pasukan besar Mongol Tartar pimpinan Jenderal Ike Mese serta Jendral Shih Pi (Shi-bi) yang mendarat di pelabuhan Tuban. Adipati Arya Wiraraja kemudian menasehati Raden Wijaya untuk mengirim utusan dan bekerja sama dengan pasukan besar ini dan menawarkan bantuan dengan iming-iming harta rampasan perang dan putri-putri Jawa yang cantik.
Setelah dicapai kesepakatan maka diseranglah Prabu Jayakatwang di Kediri yang kemudian dapat ditaklukkan dalam waktu yang kurang dari sebulan. Setelah kekalahan Kediri, Jendral Shih Pi meminta janji putri-putri Jawa tersebut dan kemudian sekali lagi dengan kecerdikan Adipati Arya Wiraraja utusan Mongol dibawah pimpinan Jendral Kau Tsing (Gaoxing) menjemput para putri tersebut di desa Majapahit tanpa membawa senjata.
Hal ini dikarenakan permintaan Arya Wiraraja dan Raden Wijaya untuk para penjemput putri Jawa tersebut agar meletakkan senjata dikarenakan permohonan para putri yang dijanjikan yang masih trauma dengan senjata dan peperangan yang sering kali terjadi.
Setelah pasukan Mongol Tartar masuk desa Majapahit tanpa senjata, tiba-tiba gerbang desa ditutup dan pasukan Ranggalawe maupun Mpu Sora bertugas membantainya. Hal ini diikuti oleh pengusiran pasukan Mongol Tartar baik di pelabuhan Ujung Galuh (Surabaya) maupun di Kediri oleh pasukan Majapahit dan laskar Madura. Dalam catatan sejarah, kekalahan pasukan Mongol Tartar ini merupakan kekalahan yang paling memalukan karena pasukan besar ini harus lari tercerai berai.
Setahun setelah pengusiran pasukan Mongol Tartar, menurut “Kidung Harsawijaya”, sesuai dengan “Perjanjian Sumenep” tepatnya pada 10 November 1293 Masehi, Raden Wijaya diangkat menjadi raja Majapahit yang wilayahnya meliputi wilayah-wilayah Malang (bekas kerajaan Singosari), Pasuruan, dan wilayah-wilayah di bagian barat sedangkan di wilayah timur berdiri “kerajaan Lamajang Tigang Juru” yang dipimpin oleh Arya Wiraraja yang kemudian dalam dongeng rakyat Lumajang disebut sebagai “Prabu Menak Koncar I”.
Kerajaan Lamajang Tigang Juru ini sendiri menguasai wilayah seperti Madura, Lamajang, Patukangan atau Panarukan dan Blambangan. Dari pembagian bekas kerajaan Singosari ini kemudian kita mengenal adanya dua budaya yang berbeda di Provinsi Jawa Timur, di mana bekas kerajaan Majapahit dikenal mempunyai budaya Arekan, sedang bekas wilayah kerajaan Lamajang Tigang Juru dikenal dengan “budaya Pendalungan (campuran Jawa dan Madura)” yang berada di kawasan Tapal Kuda sekarang ini. Prabu Menak Koncar I (Arya Wiraraja) ini berkuasa dari tahun 1293- 1316 Masehi.
Dalam versi lain disebutkan pada tahun 1295 salah satu putra Wiraraja yang bernama Ranggalawe melakukan pemberontakan dan menemui kematiannya. Peristiwa itu membuat Wiraraja sakit hati dan mengundurkan diri dari jabatannya. Ia lalu menuntut janji Raden Wijaya, yaitu setengah wilayah Majapahit. Raden Wijaya mengabulkannya. Wiraraja akhirnya mendapatkan Majapahit sebelah timur dengan ibu kota di Lumajang.
Akhir Kemerdekaan Lamajang Tigang Juru atau Majapahit Timur
Ketika mendengar salah satu putranya gugur melawan kerajaan majapahit, ia sebagai ayah sangat sedih dan oleh karenanya mempersiapkan benteng pertahanan di ibu kotanya Lamajang. Ibu kotanya itu bernama Arnon dan sekarang dikenal sebagai Situs Biting yang berada dalam wilayah desa bernama “Kutorenon”.
Kutorenon sendiri dalam bahasa Jawa kuno berarti, “Kuto itu artinya kota berbenteng” dan “Renon berasal dari kata Renu artinya marah”. Jadi Kutorenon sendiri berarti kota yang dibangun karena marah. Inilah awal konflik dua-kerajaan besar di tanah Jawa yaitu Majapahit dan Lamajang Tigang Juru atau disebut juga Majapahit timur. Namun selagi ada Arya Wiraraja, wilayah Lamajang ini tidak berani disentuh oleh Majapahit. Arya Wiraraja atau Prabu Menak Koncar I meninggal dan diperabukan di ibu kota Arnon dan sekarang tempat ini dikenal sebagai Makam/ Petilasan Arya Wiraraja di Dusun Biting, Desa Kutorenon, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang.
Baru setelah Arya Wiraraja meninggal pada tahun 1316 Masehi dan Nambi yang merupakan Maha Patih Majapahit sebagai salah satu putranya sedang menengok ke Lumajang disertai 7-pembesar utama kerajaan difitnah oleh Mahapati dihadapan raja Jayanagara sebagai pengganti Raden Wijaya.
Pararaton menyebutkan pada tahun 1316 terjadi pemberontakan Nambi di Lumajang terhadap Jayanagara raja kedua Majapahit. Kidung Sorandaka mengisahkan pemberontakan tersebut terjadi setelah kematian ayah Nambi yang bernama Pranaraja. Sedangkan, Pararaton dan Kidung Harsawijaya menyebut Nambi adalah putra Wiraraja. Menurut prasasti Kudadu (1294) Pranaraja tidak sama dengan Wiraraja.
Berdasarkan analisis Slamet Muljana menggunakan bukti prasasti Kudadu dan prasasti Penanggungan (dalam bukunya, Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya, 1979), Wiraraja lebih tepat sebagai ayah Ranggalawe daripada ayah Nambi.
Menurut analisis Mansur Hidayat, salah seorang penulis Arya Wiraraja dan kerajaan Lamajang Tigang juru, bahwa istilah “pemberontakan” semestinya diganti karena pada masa tersebut, Nambi difitnah dan tidak pernah mau memberontak. Demikian juga kerajaan Lamajang Tigang Juru sebagai hasil dari Perjanjian Sumenep antara Arya Wiraraja dan Raden wijaya pada tahun 1292 Masehi merupakan negara yang sah.
Jadi penyerangan Majapahit ke Lamajang sepeninggal Arya Wiraraja yang sangat disegani adalah ekpansi yang kemudian menimbulkan perlawanan terus menerus. Setelah kejatuhan Lamajang pada tahun 1316 Masehi, telah menyebabkan perlawanan di kota-kota pelabuhannya seperti Sadeng dan Patukangan (Panarukan) yang kemudian dikenal sebagai Perang Sadeng dan Ketha.
Demikianpun ketika Hayam Wuruk melakukan perjalanan keliling daerah Lamajang pada tahun 1359 Masehi tidak berani singgah di bekas ibu kota Arnon (Situs Biting). Malah perlawanan daerah timur kembali bergolak ketika adanya perpecahan Majapahit menjadi barat dan timur dengan adanya “Perang Paregreg” pada tahun 1401-1406 Masehi.***