Menu

Mode Gelap

Uncategorized

Cerita Hari Ini: Akal Bulus Sultan Agung Menaklukkan Giri Kedaton

badge-check


					Petilasan Giri Kedaton di Gresik Perbesar

Petilasan Giri Kedaton di Gresik

Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya

KREDONEWS.COM, SURABAYA-Konon sebelum menduduki takhta Majapahit, Bhre Kertabhumi (Brawijaya V) mendapat isyarat dari dua punakawannya, Sabda Palon dan Naya Genggong, bahwa kelak keturunannya akan ada yang jadi lelajer atau penguasa bumi Jawa. Namun, keturunan yang dimaksud bukan dari permaisurinya, Dewi Amarawati dari Champa, melainkan justru dari seorang selir asal Sulawesi yang bernama Bondit Cemara atau yang kemudian dipanggil dengan nama Dewi Wandhan Kuning.

Mungkin doktrin tersebutlah yang kemudian membuat Raden Mas Rangsang atau Sultan Agung terkesan sangat ambisius dalam mengekspansi wilayah-wilayah di seluruh Jawa. Alasannya, agar seluruh wilayah tersebut menjadi satu kesatuan di bawah kendali Mataram, kerajaan yang dalam Serat Sabda Palon disebut-sebut sebagai reinkarnasi dari kerajaan Majapahit.

Pasalnya, Sultan Agung itu masih termasuk keturunan Bhre Kertabhumi dari Wandhan Kuning. Urutannya, Bhre Kertabhumi dan Dewi Wandhan Kuning mempunyai putera bernama Raden Bondan Kejawan yang kemudian menikah dengan Rara Nawangsih, puteri Jaka Tarub dengan Rara Purwaci atau Rara Nawangwulan.

Pernikahan Raden Bondan Kejawan dan Rara Nawangsih selanjutnya menurunkan Ki Getas Pandawa, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Enis, Ki Ageng Pemanahan, Panembahan Senapati yang lantas mendirikan Kerajaan Mataram, dan berputra Panembahan Hanyakrawati yang menurunkan Sultan Agung.

Ketika berkuasa, satu per satu kerajaan-kerajaan kecil di bumi Jawa memang berhasil ditaklukkan oleh Sultan Agung. Termasuk di antaranya adalah tiga kekuatan besar dari bang wetan (timur), Madura, Tuban, dan Surabaya yang pada 1625, di bawah kepemimpinan Prabu Jayalengkara, menyatakan diri tunduk pada kekuasaan Mataram. Kerajaan-kerajaan yang takluk tersebut kemudian statusnya berubah menjadi kadiapaten di bawah kontrol Mataram pusat.

Namun, tinggal satu saja kerajaan berpengaruh dari bang wetan yang menolak untuk tunduk, yaitu Kedatuan Giri atau Giri Kedaton. Dan di sinilah awal mula tumbuh benih-benih kebencian dari sebagian masyarakat muslim pengikut Sunan Giri terhadap trah Mataram sampai hari ini.

Giri Kedaton pada mulanya hanyalah sebuah pesantren di perbukitan Gresik yang didirikan pada 1478 oleh Jaka Samudera atau Raden Paku atau kemudian lebih dikenal dengan gelar Sunan Giri atas perintah sang ayah, Maulana Ishaq dan titah sang guru, Sunan Ampel. Kemudian pada 1481 dideklarasikan menjadi sebuah kedatuan atau kerajaan atas dorongan dewan Wali Sanga, lebih khusus dari Sunan Bonang. Dinamakan Giri Kedaton yang memiliki arti kerajaan di atas bukit.

Giri Kedaton kemudian diperintah oleh Sunan Giri Raden Paku/Prabu Satmata, Sunan Dalem Wetan (Maulana Zainal Abidin), Sunan Seda Margi, Sunan Prapen (Maulana Fatihal), dan Panembahan Kawis Guwa.

Ekspansi wilayah-wilayah timur sebenarnya sudah terjadi sejak Sunan Prapen berkuasa. Tapi, Sultan Agung selalu menunda penyerangan terhadap Giri Kedaton hingga naiknya Panembahan Kawis Guwa ke takhta kedaton. Bukan karena Giri Kedaton kuat, melainkan karena Sultan Agung agak keder jika harus berhadap-hadapan dengan trah Wali Sanga (Sunan Giri).

Saat pertemuan Bupati di Rembang, Jawa Tengah, Sunan Giri Prapen yang lama mendengar tindakan itu merasa perlu ‘mengingatkan’. Dengan halus Sang Giri Nata ‘menegur’ secara halus. Sunan Giri Prapen atau Sunan Giri V atau juga Kyai kawis Guwo ini menyindir cucu Panembahan Senopati itu.

Sindiran yang tertuang dalam ‘Kitab Al Asror’ itu ternyata tidak membuat Sultan Agung sadar, tapi malah sebaliknya. Sultan Agung gelo, loro atine. Raja Mataram itu menyimpan dendam kesumat. Terbukti, setelah sekutu kerajaan Surabaya di Pontianak ditaklukkan dan diteruskan penaklukan Surabaya tahun 1625, Pangeran Jayenglengkara, adipati Surabaya menyatakan takluk pada Sultan Agung di Mataram.

Ketika Pangeran Jayalengkara mangkat, Pangeran Pekik, anaknya di panggil Sultan Agung untuk menghadap di Mataram. Di Mataram Pangeran Pekik tidak dipidana. Sang Sultan ‘berbaik hati’, Pangeran Pekik mendapat kamulyan berupa pengangkatan dirinya meneruskan jabatan ayahnya dan diperjodohan dengan Ratu Pandansari, adik perempuan Sultan Agung. Ini adalah perkawinan politik untuk mengikat Jawa Timur agar setia pada Mataram. Inilah perkawinan politik gaya Sultan Agung.

Lingkaran Mataram sendiri sebenarnya kurang suka dengan pernikahan tersebut. Walau bagaimanapun Pekik adalah putra seorang taklukkan. Apalagi penaklukkan Surabaya membutuhkan waktu sangat lama, 26 tahun, dengan korban luar biasa banyak. Tentu dendam itu masih membara. Mengapa Pekik? Bukankah putra adipati Surabaya tersebut belum teruji kesetiannya kepada Mataram? Tetapi siapa yang berani melawan kehendak sultan?

Kedok ‘kebaikan’ hati atau akal bulus sang raja ini terkuak dikemudian hari. Bemula dari Pandansari disuruh menghadap Sultan Agung. Sang sultan bercerita tentang kegundahannya, karena Giri tak kunjung mau memberi upeti dan ‘berserah diri’ ke Mataram. Sultan Agung ingin Giri diserang dan ditaklukkan. Dan yang melakukan itu adalah Pangeran Pekik tidak ada yang lain lagi, suami Pandansari.

Titah tersebut bukan tanpa alasan, telah berulang kali sultan meminta pertimbangan dewan kerajaan dan para senopati. Tetapi tidak ada yang menyatakan kesanggupan untuk menaklukkan Giri. Semua gentar dengan perbawa Giri Kedaton. Apalagi kini Giri dipimpin oleh Sunan Giri V alias Kyai Kawis Guwa, seorang yang linuwih dalam ilmu dunia maupun agama.

Bagi Sultan Agung keputusan menyerang Giri adalah keputusan yang sungguh sulit. Sebagai muslim ia sangat menghormati Giri. Namun manakala teringat ‘teguran’ halus dari Giri Prapen saat pertemuan para bupati di Rembang kembali melambungkan niatnya tersebut. Baginya, Giri adalah klilip yang mengganggu pandangan.

Beberap kali ia menunda menyerang Giri karena nyalinya belum utuh, ciut. Ia tahu persis kewibawaan Giri di mata rakyat. Giri Kedaton di bawah kekuasaan Sunan Giri V adalah matahari yang terang benderang di bang wetan. Banyak raja di belahan timur Nusantara menghaturkan hormat dan tanda takluk kepada Giri. Tidak jarang mereka (raja-raja itu) meminta pertikel (pertimbangan) kepada Giri jika menghadapi masalah kenegaraan.

Sebenarnya, titah sultan tersebut sangat berat bagi Pekik, apalagi Sunan Giri adalah sinar bagi Nusantara. Bagaimana mungkin keturunan Sunan Ampel seperti dirinya harus memadamkan matahari Islam di Giri? Bagi dirinya lebih baik mati dari pada harus menggempur Giri. Pandansari tahu bahwa suaminya bimbang. Tetapi ia juga tahu bagaimana caranya agar suaminya luluh.

Pandansari adalah benteng mataram. Bagi orang seperti dia perintah Sultan adalah hukum, dunia dan akhirat. Malamnya Pandansari membisiki suaminya, bahwa ‘masih ada satu klilip Mataram’ yang harus disingkirkan. Klilip (benda kecil yang masuk ke dalam mata) itu adalah Giri. Kerajaan Giri yang diperintah Sunan Giri muda, cucu Sunan Giri Prapen, guru Pangeran Jayalengkara, ayahandanya.

Ketika Pekik kebingungan dengan permintaan tersebut, Pandansari menjelaskan, bahwa hubungan antara ‘guru-murid’ itu sudah terputus setelah meninggalnya Sunan Giri Prapen. Sunan Giri muda itu juga disebutnya sebagai raja yang tidak mengenal keris dan pedang. Dari sinilah nyali Pekik muda mulai menyala.

Musim panen 1636 M, pasangan suami istri itu meminta restu untuk pergi ke Surabaya mempersiapkan pasukan untuk menggempur Giri. Sultan merestuinya dengan memberikan dua pusaka : Bende Mataram dan Tombak Kyai Plered. Pasukan mataram bergerak ke timur untuk bergabung dengan laskar Surabaya, siap berderap menghantam Giri Kedaton. Seluruh rakyat Mataram menyimak dengan gemetar karena sebentar lagi Jawa akan kembali diguncang perang.

Kali ini bukan perang sembarangan, ini perang dua kutub kekuasaan, politik dan spiritual. Bagi Mataram kekuasaan itu harus dalam satu tangan, matahari kembar harus dihilangkan. Nyatalah sudah bahwa pernikahan Pekik dan Pandansari tiga tahun yang lalu menyimpan maksud tersembunyi.

Adipati Sepanjang, orang kepercayaan Pangeran Pekik ‘muda’ menyebar tilik sandi dan memberi laporan, bahwa Kedaton Giri melatih 200 prajurit hebat menghadapi Mataram.

Tetapi Sunan Giri V bukanlah tipe pengecut. Baginya trah wali adalah darah mulia. Suatu hal tabu baginya untuk gentar oleh gertakan penguasa dunia. Apalagi kini Giri mempunyai pengikut baru, Endrasena, seorang mualaf dari ningrat China beserta 200 pasukan pilih tanding.

Dengan gemblengan yang dilakukan Endrasena terhadap prajurit Giri dan 200 pengikutnya, maka Sunan Giri muda yakin pasukannya bisa mengatasi serbuan Mataram yang dibantu prajurit Surabaya.

Walaupun Sunan Giri V terkenal ngerti sak durunge winarah (tahu sebelum kejadian) ia tetap terkejut manakala pada malam gulita Pangeran Pekik, sendirian, menghadap ke Giri Kedaton. Tujuannya hanya satu, membujuk agar Giri Kedaton menyerah baik-baik kepada Mataram demi tidak tumpahnya darah sesama muslim.

“Kanjeng Sunan, sejelas benderangnya siang saya harap Kanjeng Sunan dapat memenuhi keinginan kakanda Sultan Agung. Sultan Mataram berjanji akan memberi kemuliaan kepada Giri.” Balairung senyap sejenak.

Kejadian selanjutnya adalah hal yang tidak terduga bagi Pangeran Pekik, “bagaimana Endrasena, sanggupkah kamu membendung Mataram?”

Dengan berapi-api mualaf itu berkata “demi kewibawaan Giri, apapun akan hamba lakukan, Kanjeng!”

Hawa panas menyelimuti Giri Kedaton. Dengan tetap menghaturkan sembah Pekik undur diri. Air matanya jatuh. Ia begitu mencintai Giri beserta orang-orangnya. Tetapi takdir memaksanya bertindak lain. Saat fajar menyingsing, Bende Mataram telah ditabuh bertalu-talu. Perang pun pecah.

Dan benar adanya apa yang dijanjikan Endrasena. Ketika pasukan Mataram yang dipimpin Pangeran Pekik menyerang, pasukan ini kocar-kacir. Pasukan Giri mampu memukul mundur prajurit yang berasal dari dua kubu Mataram dan Surabaya.

Saat itulah Pandansari tampil. Putri Mataram ini tahu letak kekalahan pasukan suaminya. Adik Sultan Agung itu mengumpulkan prajurit yang habis kalah perang tersebut. Dia tidak memarahi para prajurit, tetapi justru memberinya hadiah berupa busana indah serta uang. Sehabis itu Pandansari berjanji akan memberi tambahan hadiah lagi sepulang dari medan laga membawa kemenangan.

Akhirnya ‘politik uang’ itu membawa kejayaan. Giri Kedaton berhasil direbut. Sunan Giri V ditangkap. Harta benda Giri diambil sebagai pampasan perang.

Epilog Kedaton Giri dihancurkan oleh laskar gabungan Mataram-Surabaya pimpinan Pangeran Pekik dan Pandansari pada tahun 1636. Sejak itulah institusi dewan wali dihapuskan dalam sejarah Nusantara.

Penaklukan Giri Kedaton adalah bentuk persembahkan untuk melegitimasi gelar dari Sultan Agung yang menggetarkan bagi keturunannya : Sultan Agung Hanyokrokusumo Senapati ing Alaga Sayidin Panatagama Abdullah Muhammad Maulana Abdurrahman Khalifatullah ing Tanah Jawa.***

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Cerita Hari Ini: Gagal Taklukan Batavia, Baurekso dan 744 Pasukannya Dihukum Mati Sultan Agung

10 Maret 2025 - 09:53 WIB

Cerita Hari Ini: VOC Memprovokasi Mataram dengan Mengalahkan Ratu Kalinyamat

9 Maret 2025 - 14:42 WIB

Cerita Hari Ini: Raja Mataram Ternyata Punya Abdi Dalem Raksasa Ghaib yang Sakti

8 Maret 2025 - 09:41 WIB

Cerita Hari Ini: Tak Hanya Perang, Sultan Agung Ciptakan Kalender Jawa

6 Maret 2025 - 10:38 WIB

Planet Mars Pernah Memiliki Lautan dan Pantai

5 Maret 2025 - 04:46 WIB

Cerita Hari Ini: Sultan Agung `Menyerang` Mekah Gara-gara Ini

5 Maret 2025 - 04:31 WIB

Cerita Hari Ini: Menyerbu Tiga Kali Sultan Agung Gagal Taklukkan Blambangan

4 Maret 2025 - 09:42 WIB

Cerita Hari Ini: Intel Mataram Beri Informasi Keliru ke Adipati Tuban Sehingga Sultan Agung Akhirnya Menang

3 Maret 2025 - 17:33 WIB

Cerita Hari Ini: Sultan Agung Taklukkan Madura dengan Nasi Liwet Ajaib Juru Kiting

2 Maret 2025 - 17:05 WIB

Trending di Uncategorized