Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Jika Panembahan Senapati adalah pendiri dan peletak legitimasi dinasti Mataram, maka Trunajaya adalah penantangnya yang paling radikal. Pemberontakannya merupakan ujian terberat terhadap konstruksi kekuasaan kerajaan agraris yang dibangun dengan darah, sumpah leluhur, dan aliansi spiritual para pendahulu dinasti.
Meskipun Trunajaya akhirnya menemui ajal secara tragis dibunuh dengan keris Kiai Balabar oleh Amangkurat II pada Januari 1680—namanya tetap tercatat sebagai tokoh pertama dari Jawa Timur yang secara terbuka mengangkat senjata melawan dominasi Belanda.
Trunajaya bukan hanya membangkang terhadap kemapanan kekuasaan Mataram yang dinilai korup dan represif, tetapi juga menantang hegemoni asing yang mulai menancapkan kuku-kuku kolonialnya di Jawa melalui persekutuan licik dan diplomasi senjata. Dalam dirinya, menyatu warisan kebangsawanan Madura, kehormatan leluhur Gowa, dan keberanian spiritualitas Islam yang menyala.
Dengan demikian, meskipun riwayat hidupnya berakhir dalam pengkhianatan dan kekalahan, Trunajaya tetap merupakan pelopor gerakan perlawanan bersenjata dari kawasan timur Pulau Jawa terhadap VOC.
Historiografi Jawa konvensional cenderung memusatkan perhatian pada keraton Yogyakarta dan Surakarta, mengabaikan sejarah pinggiran seperti Madura. Namun, kisah Arosbaya membantah narasi tersebut. Kerajaan penerus Majapahit dj Jawa Timur ini memiliki silsilah, struktur kekuasaan, dan jaringan politik yang kompleks dan strategis.
Jejak Madura dalam Darah Mataram
Dalam kronik panjang sejarah Jawa, khususnya masa-masa transisi dari kekuasaan Hindu-Buddha ke Islam, serta dari kerajaan lokal ke dominasi kekuasaan pusat seperti Mataram dan kolonial VOC, terdapat satu garis darah yang nyaris terlewatkan dalam narasi arus utama: warisan aristokrasi Madura dalam tubuh Pangeran Diponegoro. Jejak ini tidak hanya penting dalam memahami akar identitas sang pahlawan nasional, tetapi juga menyingkap relasi genealogi politik antara Majapahit, Madura, dan Mataram yang rumit namun penuh makna.
Nama Trunajaya selama ini kerap disebut sebagai representasi perlawanan rakyat Madura terhadap hegemoni kekuasaan pusat Mataram dan cengkeraman kolonial Belanda pada paruh akhir abad ke-17. Namun jauh sebelum Trunajaya mengangkat senjata, telah berdiri satu dinasti bangsawan Madura yang melacak darahnya hingga ke akhir kejayaan Majapahit: dinasti Panembahan Lemah Duwur dari Arosbaya, Madura Barat. Dari garis inilah, melalui jalur pernikahan antar elite, lahir Pangeran Diponegoro, pemimpin revolusi Jawa 1825–1830.
Silsilah ini termaktub dalam naskah langka berjudul Sadjarah Pangeran Dipanegara, ditulis dalam bahasa Jawa oleh Raden Tanoyo dan diterbitkan oleh Trimurti, Surabaya, sekitar dekade 1950-an. Karya ini menampilkan pendekatan historiografi genealogi yang membedakan dirinya dari narasi keraton yang normatif.
Dalam catatan Tanoyo, Diponegoro tidak hanya cucu Sultan Hamengkubuwono I dan anak dari Hamengkubuwana III, tetapi juga merupakan cicit dari Panembahan Lemah Duwur, penguasa Madura Barat, yang menurunkan bangsawan-bangsawan Madura dan menjadi simpul penghubung dengan darah Majapahit melalui Arya Damar dari Palembang.
Rangkaian silsilah itu bermula dari Prabu Brawijaya V, penguasa terakhir Majapahit, yang dalam tradisi babad memiliki keturunan dari banyak selir. Salah satu keturunannya, Arya Damar, menjabat sebagai Adipati Palembang dan menjadi tokoh sentral dalam Islamisasi pesisir timur Sumatra dan Jawa bagian timur. Dari Arya Damar lahirlah Arya Menak Sunaya, tokoh yang bermigrasi ke Pamekasan, Madura, dan menjadi salah satu pionir aristokrasi lokal Islam di pulau tersebut.
Garis ini kemudian berlanjut ke Arya Timbul, lalu ke Arya Kedot, dan ke Arya Pojok di Sampang. Arya Pojok melahirkan Ki Demung di Palakaran, yang menjadi leluhur langsung dari Pangeran Ageng Arosbaya. Dari rahim dinasti inilah kemudian muncul Panembahan Lemah Duwur—tokoh penting yang menjadi lambang konsolidasi politik Islam Madura pada masa awal abad ke-17. Ia dikenal tidak hanya sebagai pemimpin politik, tetapi juga sebagai figur spiritual yang menjadi simbol transisi dari dunia Hindu-Buddha ke Islam.
Setelah wafatnya Panembahan Lemah Duwur, kekuasaan di Arosbaya diteruskan oleh putranya, Pangeran Tengah. Namun kejayaan lokal itu menemui tantangan besar ketika pada tahun 1624, Sultan Agung dari Mataram melancarkan ekspedisi militer ke Madura. Dalam serangan besar-besaran ini, Madura Barat berhasil ditaklukkan. Setelah serangan Mataram, seluruh elite bangsawan Madura tewas. Namun, ada satu orang yang selamat dan dibawa ke pusat kekuasaan Mataram: Raden Prasena, putra Pangeran Tengah, yang kelak dikenal sebagai Pangeran Cakraningrat I.
Cakraningrat I kemudian menjadi cikal bakal dinasti Cakraningrat yang memegang kekuasaan Madura dalam bayang-bayang Mataram. Ia memperkuat posisi strategis keluarga Madura dalam sistem feodal Jawa dan membangun fondasi politik yang kemudian diteruskan oleh keturunannya, termasuk Cakraningrat II dan Arya Purwonegoro. Dari Arya Purwonegoro inilah lahir Tumenggung Sosrowinoto, yang kemudian menjadi ayah dari Adipati Purwodiningrat, Bupati Magetan.
Adipati Purwodiningrat, melalui pernikahan strategis dengan keluarga inti Kesultanan Yogyakarta, menempatkan keturunannya dalam jantung istana: putrinya menikah dengan Sultan Hamengkubuwono II dan bergelar Ratu Kedaton. Dari rahim Ratu Kedaton inilah lahir Sultan Hamengkubuwono III, ayah kandung Pangeran Diponegoro.
Dengan demikian, Pangeran Diponegoro adalah sosok yang mengandung sintesis genealogis dari dua poros besar sejarah Jawa: pusat agraris Islam Mataram dan aristokrasi maritim Madura yang mewarisi darah Majapahit. Darah Panembahan Lemah Duwur mengalir dalam nadinya, membawa serta warisan spiritual, politik, dan keberanian pesisir yang tidak tunduk pada kuasa pusat. Ini menjelaskan banyak hal dalam kepribadian Diponegoro: gaya hidup zuhud namun tegas, pengaruh jaringan ulama dan spiritualis pesisir dalam gerakan Perang Jawa, serta tekadnya untuk melawan dominasi kekuasaan kolonial hingga titik darah penghabisan.
Diponegoro bukan sekadar pewaris kekecewaan terhadap intrik keraton atau produk dari alienasi elite feodal. Ia adalah manifestasi dari satu sejarah panjang perlawanan yang telah terbangun sejak keruntuhan Majapahit, melewati Palembang, Madura, hingga Mataram. Ia adalah anak spiritual dan politik dari dua dunia: dunia keraton Jawa yang mapan dan dunia perlawanan pesisir yang cair namun konsisten.
Kisah darah Panembahan Lemah Duwur dalam tubuh Diponegoro menunjukkan bahwa sejarah Jawa tidak bisa dibaca secara linier atau parsial. Hubungan antara Madura dan Mataram, antara Majapahit dan Islam, antara pusat dan pinggiran, ternyata membentuk simpul-simpul genealogi dan ideologi yang saling memengaruhi. Trunajaya dan Diponegoro adalah dua kutub dari semangat yang sama: perlawanan terhadap ketidakadilan kekuasaan pusat dan cengkeraman kolonial asing.
Dengan menggali jejak Madura dalam darah Diponegoro, kita tidak hanya mengungkap ulang sejarah personal seorang pahlawan, tetapi juga menyingkap kembali narasi besar yang selama ini tenggelam dalam kabut feodalisme dan kolonialisme. Ini adalah sejarah yang tidak sekadar ditulis oleh penguasa, tetapi dibentuk oleh darah, tanah, dan semangat perlawanan yang diwariskan turun-temurun—dari Lemah Duwur hingga Tegalrejo.
Panembahan Lemah Duwur adalah lebih dari sekadar raja lokal Madura. Ia adalah simbol aristokrasi Islam awal, pelopor kekuatan maritim, dan leluhur dua tokoh pemberontak yang mengguncang sejarah Nusantara: Raden Trunajaya dan Pangeran Diponegoro. Narasi kekuasaannya membuka tabir sejarah pinggiran yang sering terpinggirkan, menyuguhkan wajah sejarah Jawa-Madura yang lebih inklusif dan dinamis.***