Penulis: Ganjar | Editor: Aditya Prayoga
SURABAYA, SWARAJOMBANG.COM– Jagat maya tengah dihebohkan oleh video sidak Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, ke salah satu pabrik air mineral di Subang.
Dalam video yang viral di media sosial itu, Dedi, yang akrab disapa KDM, mempertanyakan klaim iklan “air pegunungan alami” yang selama ini melekat pada merek air mineral dalam kemasan terbesar di Indonesia.
“Produksi, ngambil airnya air dari sungai?” tanya Dedi.
“Airnya dari bawah tanah, Pak,” jawab staf pabrik tersebut.
“Oh, jadi ini bukan air mata air ya? Berarti kategorinya sumur pompa dalam,” lanjut Dedi, yang kemudian diberi tahu bahwa sumber air diambil dari kedalaman sekitar 102 meter.
Dari perbincangan tersebut, muncul sorotan publik mengenai perbedaan antara air bawah tanah dan air permukaan, serta sejauh mana klaim “air pegunungan alami” dapat dipertanggungjawabkan.
Kualitas Air Tanah Dalam dan Risiko Lingkungan
Air tanah merupakan air yang tersimpan di lapisan bawah permukaan bumi, sedangkan air permukaan meliputi sungai, danau, atau mata air. Air tanah biasanya memiliki kualitas lebih stabil karena telah melewati proses filtrasi alami, tetapi pengambilannya berlebihan dapat menyebabkan penurunan muka tanah.
Sementara itu, air permukaan lebih mudah diakses namun rentan terhadap pencemaran akibat aktivitas manusia. Karena itu, air permukaan umumnya membutuhkan proses pengolahan yang lebih kompleks untuk menjadi layak konsumsi.
Pakar sumber daya air menjelaskan bahwa penggunaan air tanah untuk produksi industri harus diatur secara ketat agar tidak mengganggu keseimbangan lingkungan.
Jika pengambilan air dilakukan melalui pengeboran dalam tanpa sistem pengisian ulang yang baik, hal itu berisiko memicu kekeringan lokal dan penurunan muka tanah.
Biaya Pengolahan Air Tanah dan Air Permukaan, Mana yang Lebih Murah?
Pengolahan air untuk kebutuhan rumah tangga maupun industri memerlukan biaya yang bervariasi tergantung sumber airnya.
Secara umum, air tanah dalam (deep groundwater) dan air permukaan (surface water) menjadi dua sumber utama, namun perbedaan karakteristik keduanya membuat biaya pengolahannya tidak sama.
Menurut kajian dari VTEI Republik Ceko, produksi air minum dari air tanah terbukti lebih murah dibandingkan dari air permukaan. Biaya yang lebih rendah ini disebabkan air tanah umumnya lebih bersih dan memerlukan lebih sedikit proses penyaringan kimiawi.
Sementara itu, berdasarkan data dari I2M Consulting di Amerika Serikat, pengolahan air permukaan memerlukan biaya antara US$ 0,85–1,35 per 1.000 galon (sekitar Rp 13.600–Rp 21.600 untuk 3,785 m³). Jika dihitung per meter kubik, biayanya sekitar US$ 0,357 (Rp 5.714) per m³.
Sebaliknya, pengolahan air tanah hanya membutuhkan biaya US$ 0,212 (Rp 3.392) per m³. Selisih ini menunjukkan bahwa air tanah dalam bisa lebih hemat hingga 40 persen dibandingkan air permukaan.
Dapat disimpulkan pengolahan air tanah dalam lebih murah dari pada air permukaan yang lebih banyak mengandung polisi.
KDM sendiri menekankan pentingnya transparansi industri air mineral dalam menjelaskan asal-usul sumber airnya. Publik, kata dia, berhak mengetahui apakah air yang dikonsumsi benar-benar berasal dari mata air alami atau hasil pengeboran dalam.
Dengan semakin meningkatnya kebutuhan air bersih dan tekanan terhadap sumber daya alam, perdebatan mengenai keaslian dan keberlanjutan sumber air menjadi semakin relevan.
Langkah sidak yang dilakukan Dedi Mulyadi menjadi momentum penting untuk mendorong keterbukaan industri sekaligus kesadaran publik terhadap pengelolaan air yang berkelanjutan






