Penulis: Jayadi | Editor: Aditya Prayoga
KREDONEWS.COM, SURABAYA– Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kini menuai banyak sorotan. Mulai dari sistem pengelolaan hingga munculnya kasus keracunan massal yang melibatkan anak-anak, program ini dinilai bermasalah di banyak aspek.
Guru Besar FEB UGM, Prof Dr R Agus Sartono, MBA, menilai akar persoalan MBG bukan terletak pada ide besarnya, melainkan pada mekanisme pelaksanaannya.
“Mengapa MBG yang tujuannya sangat bagus tidak dilakukan menggunakan mekanisme yang sudah ada?” ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (3/10/2025).
Ia mencontohkan, pemerintah sebenarnya sudah memiliki basis data penerima manfaat dari Kemensos lewat Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sosial.
Data tersebut juga ada dari Kemendikbud melalui BOS dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Menurutnya, MBG seharusnya dapat mengacu pada sistem yang telah berjalan tersebut agar lebih efisien dan tepat sasaran.
Prof Agus juga menyoroti persoalan kewenangan daerah yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam aturan itu disebutkan, pengelolaan pendidikan merupakan urusan konkuren yang dibagi sesuai levelnya: SD/SMP oleh kabupaten/kota, SMA/SMK oleh provinsi, sedangkan pendidikan berbasis agama tetap di bawah Kementerian Agama.
“Oleh sebab itu, beri kewenangan kepada daerah sesuai undang-undang, dan Badan Gizi Nasional (BGN) hanya melakukan monitoring,” tegasnya, dikutip dari Edudetik
Ia menambahkan, pemberdayaan pemerintah daerah akan meningkatkan koordinasi dan efektivitas program di lapangan.
Prof Agus menilai, rantai distribusi MBG yang terlalu panjang menjadi sumber masalah, termasuk munculnya praktik rente.
Penyaluran lewat Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), kata dia, lebih menguntungkan pengusaha besar.
“Sungguh menyedihkan jika unit cost Rp15.000 per porsi per anak, akhirnya tinggal hanya Rp7.000 saja. Program Makan Bergizi Gratis benar-benar menjadi ‘Makan Bergizi Gratis’ bagi pengusaha besar,” sindirnya.
Ia menghitung, dengan margin Rp2.000 per porsi dan 3.000 porsi per hari, satu penyedia bisa meraup Rp150 juta per bulan atau Rp1,8 miliar per tahun. Karena itu, Prof Agus menyarankan agar kebocoran seperti ini ditekan dengan cara memperpendek rantai distribusi.
Salah satu alternatif yang diajukan adalah memanfaatkan kantin sekolah sebagai penyedia makanan.
Model ini, menurutnya, sudah diterapkan di banyak negara maju dan terbukti lebih efektif. Dengan sistem tersebut, makanan lebih segar, kualitas mudah diawasi, dan bahan baku dapat dipasok dari UMKM sekitar sekolah.
Alternatif lain adalah pemberian bantuan tunai langsung kepada siswa. Dalam skema ini, BGN cukup membuat panduan teknis dan melakukan pengawasan.
“Biarkan orang tua membelanjakan dan menyiapkan bekal untuk anaknya,” ujarnya. Guru di sekolah dapat membantu memastikan siswa membawa bekal, sehingga pengawasan tetap berjalan.
Prof Agus menilai kedua mekanisme itu bisa menekan praktik pemburu rente. Sistem transfer tunai, seperti pada KIP atau BOS, juga bisa menjadi opsi untuk menjamin transparansi.
Ia menegaskan, MBG sebenarnya memiliki niat mulia: memperbaiki gizi anak, menumbuhkan disiplin, dan mengajarkan tanggung jawab.
Namun, jika tata kelola tidak dibenahi, manfaat tersebut sulit tercapai. “Masih belum terlambat, mari kita perpendek rantai distribusi MBG agar lebih efektif dan hilangkan cara-cara kotor memburu rente,” pungkasnya.
Sementara itu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD juga menyoroti aspek legalitas program ini.
Ia menilai MBG belum memiliki dasar hukum yang kuat untuk dapat dipertanggungjawabkan. “Kalau ditarik secara umum, sejauh ini kita tidak temukan,” ujarnya dalam podcast YouTube Terus Terang, Selasa (30/9/2025).
Mahfud menegaskan, dasar hukum MBG seharusnya berupa peraturan pemerintah, peraturan presiden, atau bahkan undang-undang. Tanpa itu, pelaksanaan program rawan penyimpangan dan sulit diaudit secara formal.***







