Penulis: Bowo | Editor: Aditya Prayoga
KREDONEWS.COM, SURABAYA- Masih segar dalam ingatan masyarakat di kota kota besar di Indonesia , mengenai hiruk pikuk demo besar besaran Ojek Online pada tanggal 20 Mei 2025 lalu yang menuntut pemerintah melakukan tindakan ataupun sanksi kepada Aplikator Online karena telah melakukan tindakan semena mena terhadap para Ojek Online selama ini.
Ketika awak media menghubungi Fikri Nurul Hafid , Ketua DPD GARDA INDONESIA Jatim untuk menanyakan rencana aksi lanjutan Demo Ojek Online , dia meminta awak media menghubungi Arief Kurniawan , selaku Humas DPD GARDA INDONESIA JATIM.
Didampingi oleh Houget Sekretaris DPD GARDA JATIM , Arief menjelaskan bahwa tuntutan para Ojek Online tersebut bukan meminta kenaikan tarif , melainkan tuntutan untuk sebuah tindakan kepada aplikator
penyedia jasa karena telah melakukan tindakan melawan hukum dengan penerapan berbagai potongan tanpa ada dasar / pijakan hukum seperti yang telah diputuskan oleh pemerintah.
Selain itu para Ojek Online juga menuntut adanya diskresi untuk layanan antar makanan serta kurir ojol.
Jadi tuntutan para Ojek Online jelas sekali bukan meminta kenaikan tarif ojol seperti yang digembar gemborkan selama ini.
Senada dengan pernyataan Arief , Houget mengatakan bahwa kenaikan tarif ojol itu perlu dikaji lebih mendalam dan bukan prioritas utama dalam penataan transportasi berbasis aplikasi online serta tidak menyentuh persoalan utama yang dikeluhkan pengemudi ojol.
Kenaikan tarif akan mendegradasi serta mengurangi penguna ojek online, karena konsumen akan berhitung nilai ekonomi sehingga berpotensi beralih ke moda transportasi lain apalagi jumlah antara pengemudi ojek online dengan pelanggan saat ini sudah tidak seimbang dimana lebih besar supply daripada demand.
Ketika awak media meminta pendapat nya, Fikri membenarkan bahwa untutan utama Garda Indonesia bersama rekan-rekan komunitas pengemudi ojek online adalah potongan biaya yang tidak memiliki dasar hukum. Selain tidak adanya aturan layanan food dan kurir ojol, ada banyak pelanggaran dilakukan oleh perusahaan aplikasi dimana Kementerian Perhubungan tidak pernah melakukan komunikasi serta merespon permasalahan atas aturan yang mereka buat dan hanya menerima masukan dari pihak pengusaha aplikasi sehingga keputusan Kementerian Pehubungan justru menjadi gerbang eksploitasi pengemudi ojek online.
Sebagai misalnya saja, aplikator Maxim dan Indrive dalam hal ini telah melanggar tarif ojek online batas bawah yang sudah ditetapkan oleh pemerintah melalui Kementerian Perhubungan yaitu biaya jasa yang sudah mendapat potongan biaya tidak langsung berupa biaya sewa penggunaan aplikasi.
Fikri memberikan beberapa catatan, sebenarnya Kementrian Perhubungan melalui aturannya tidak bertindak sebagaimana tertuang dalam aturan yang mereka buat dalam KP 1001 diktum kedelapan B.
Fikri juga memberikan contoh kasus, dimana Gojek dan Grab dalam hal ini melakukan potongan lebih dari 20% dimana Kementerian Perhubungan membuat aturan melalui KP 667 ternyata memperbolehkan potongan lebih dari 20% melalui diktum 9 yang tanpa batasan dan dasar hukum sehingga perusahaan bebas dalam mengambil potongan driver dan mengambil lebih dari konsumen.
Fikri menjelaskan juga bahwa di dalam RDPU pada tanggal 30 Juni 2025 di hadapan Komisi V DPR RI, Kementrian Perhubungan mengatakan , bahwa mereka hanya mengatur potongan 15% + 5% dan menyatakan bahwa biaya yang lebih dari 20% tidak ada aturannya, namun kenyataan dan fakta yang ada, Kementerian Perhubungan-lah yang membuat aturan tersebut untuk memperbolehkan potongan lebih dari 20% dan disahkan sejak 2022 dalam KP 667 diktum 9.
Oleh karena itu, GARDA INDONESIA serta rekan-rekan Komunitas yang tergabung di dalamnya menginginkan adanya audit investigatif dan dilakukan secara transparansi, sebab Kementrian Perhubungan dalam membuat Keputusan Menteri nomor 667 tahun 2022 terindikasi telah secara sengaja dan multitafsir (pasal karet), dan untuk menguntungkan perusahaan aplikator dan merugikan pihak lain, dalam hal ini para Ojek Online,maka hal ini masuk dalam kategori penyalahgunaan wewenang.
Dimana pasal karet itu bisa jadi alat legal untuk melakukan eksploitasi melalui potongan aplikasi, ini merupan bentuk dari pungli digitalisasi.
Asosiasi juga akan melakukan pelaporan terkait indikasi dalam hal mal-administrasi dan pungli digitalisasi yang bukan hanya merusak kepercayaan publik terhadap teknologi dan pemerintah, juga menciptakan monopoli layanan digital oleh pihak-pihak tertentu, dan membebani masyarakat dengan pungutan tersembunyi juga menjadi perlakuan ketidakadilan yang dilakukan terselubung para elite pejabat kepada masyarakat.***