Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Jepara, negeri para pengrajin kayu yang tersohor, hidup dalam harmoni di bawah naungan Kesultanan Mataram.

Namun, bagi Coen, Jepara bagai duri dalam daging.
Kota ini menjadi pusat perdagangan yang ramai, jalur vital bagi rempah-rempah yang didambakan VOC.
Lebih dari itu, Jepara adalah sekutu setia Mataram, kerajaan yang dipandang Coen sebagai ancaman bagi hegemoni Belanda di Nusantara.
VOC, kongsi dagang raksasa dari negeri kincir angin, datang ke Nusantara dengan misi menguasai perdagangan rempah-rempah.
Monopoli menjadi tujuan utama, dan segala cara dihalalkan untuk mencapainya. Coen, dengan semangat membara, adalah representasi sempurna dari ambisi VOC.
Ia percaya bahwa kekuatan militer adalah kunci untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di Nusantara dan mengamankan jalur perdagangan.
Konflik dengan Mataram tak terelakkan. Sultan Agung, penguasa Mataram yang berwibawa, berambisi menyatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaannya.
VOC, yang telah menancapkan kukunya di Batavia dan beberapa wilayah strategis lainnya, menjadi penghalang bagi cita-cita Sultan Agung.
Jepara, sebagai sekutu Mataram, menjadi sasaran empuk bagi Coen untuk melemahkan kekuatan sang Sultan.
Alasan di Balik Serangan
Coen memiliki beberapa alasan kuat untuk menyerang Jepara. Pertama, Jepara adalah pusat perdagangan yang penting.
Dengan menguasai Jepara, VOC dapat mengendalikan arus perdagangan rempah-rempah di Jawa dan mematikan jalur ekonomi Mataram.
Kedua, Jepara adalah basis bagi para perompak yang mengganggu kapal-kapal dagang VOC.
Coen menuduh Jepara melindungi para perompak dan mengambil keuntungan dari hasil jarahan mereka. Ini menjadi justifikasi bagi Coen untuk melancarkan serangan.
Ketiga, Coen ingin memprovokasi Sultan Agung agar menyerang VOC. Ia berharap dengan menyerang Jepara, Mataram akan terpancing untuk berperang.
Coen yakin bahwa dalam perang terbuka, VOC dengan persenjataan modernnya akan mampu mengalahkan pasukan Mataram.
Kemenangan atas Mataram akan membuka jalan bagi VOC untuk menguasai seluruh Jawa dan memonopoli perdagangan rempah-rempah.
Serangan yang Membakar Jepara
Coen mendapat persetujuan dari Dewan XVII, badan tertinggi VOC, untuk melancarkan serangan tersebut.
Serangan VOC ke Jepara dimulai pada bulan Mei 1618, dengan menggunakan 19 kapal dan sekitar 1.600 tentara. Kapal perang VOC yang dipimpin oleh Kapten Laurens Reael.
VOC berhasil menembus pertahanan Jepara, yang dipimpin oleh Ratu Kalinyamat, seorang penguasa wanita yang berkuasa di Jepara sejak tahun 1579.
Ratu Kalinyamat adalah istri dari Sultan Hadlirin, raja Jepara sebelumnya, yang meninggal pada tahun 1587.
Ia juga adalah adik dari Sultan Trenggana, raja Demak sebelumnya, yang meninggal pada tahun 1546.
Ratu Kalinyamat dikenal sebagai seorang pemimpin yang berani dan cerdas, yang mampu mempertahankan kemerdekaan Jepara dari ancaman Mataram dan VOC.
Namun, kekuatan VOC ternyata terlalu besar untuk ditahan oleh Jepara.
Setelah beberapa hari bertempur, VOC berhasil menguasai kota itu, dan membakar sebagian besar bangunan, termasuk masjid, istana, dan rumah-rumah penduduk.
Ratu Kalinyamat berhasil melarikan diri ke pedalaman, bersama dengan sebagian besar penduduknya.
Kota yang damai itu tak siap menghadapi gempuran meriam dan pasukan VOC yang ganas. Pertempuran tak seimbang berkecamuk, rumah-rumah penduduk dibakar, dan harta benda dijarah.
Jepara, yang sebelumnya dikenal dengan keindahan dan keramahannya, luluh lantak dalam kobaran api.
Serangan VOC ke Jepara meninggalkan luka mendalam bagi penduduknya.
Ribuan orang kehilangan nyawa, harta benda, dan tempat tinggal. Kota yang dulu makmur porak-poranda, menjadi saksi bisu dari kekejaman VOC.
Serangan ke Jepara hanyalah satu episode dalam sejarah panjang penjajahan VOC di Nusantara.
Ambisi VOC untuk menguasai perdagangan rempah-rempah telah membawa penderitaan bagi banyak rakyat Indonesia.
Serangan ini menimbulkan kemarahan dan kebencian dari Mataram terhadap VOC, yang kemudian memicu perang yang berlangsung selama beberapa dekade.
Perang ini dikenal sebagai Perang Jawa, yang melibatkan berbagai pertempuran, pengepungan, dan perjanjian.
Namun, di balik kekejaman dan keserakahan, terdapat pula kisah-kisah heroik tentang perlawanan rakyat Indonesia melawan penjajah.**