Penulis: Arso Yudianto | Editor: Priyo Suwarno
KREDONEWS.COM, SIDOARJO- Satu persatu Wali Murid SMPN 1 Buduran, mulai berani buka suara. Mereka mempertanyakan keabsahan tarikan sumbangan wajib Rp 100.000, per siswa untuk semua jenjang kelas. Sebab pihak sekolah tidak mau memberikan kuitansi sebagai tanda bukti pembayaran.
“Saya pribadi mendukung program sekolah. Meski gak ada laporan kejelasannya seperti tahun lalu, saya dan wali murid lainnya manut bayar. Tapi kalau tidak diberi kuitansi, apa itu namanya? Jadi jangan salahkan kami, jika muncul dugaan itu pungli, karena tidak ada kuitansi, artinya itu tidak resmi,” keluh BS, didukung anggukan wali murid lain, Senin, 22 September 2025.
Pengalaman sulitnya minta kuitansi ini, tidak hanya dialami ia saja. Namun juga dirasakan seluruh orang tua siswa lainnya.
“Hampir semua kelas minta tanda bukti pembayaran. Mulai kelas 7, 8 hingga 9. Minta kuitansi ke wali kelas, malah diarahkan ke Kepala Sekolah. Dilempar-lempar seperti lepas tangan,” bebernya.

Beredar arahan sumbangan wajib bagi murid kelas 7, 8 hingga 9 (kiri) dan rekap uang masuk sumbangan wajib Rp 31 juta lebih. Foto: kredonews.com/ arso yudianto
Kekecewaan orang tua siswa kepada pihak sekolah ini bukan tanpa sebab. Tahun 2024, SMPN 1 Buduran telah mewajibkan tarikan Rp 51.000 per siswa hingga terkumpul dana Rp 31.173.000. Uang sebesar itu pun lenyap tanpa ada transparansi Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ).
“Ini puncak kekecewaan kami. Mereka (sekolah) berpikir tarikan wajib tahun 2024 dirasa aman, tanpa kuitansi dan tidak ada yang protes. LPJ pun gak ada. Lalu dibaleni maneh (diulangi lagi) di tahun 2025 ini, kita diwajibkan bayar Rp 100 ribu, kalau dikalikan 919 siswa dari seluruh kelas, wes terkumpul Piro? Ketok moto Rp 91 juta lebih. Duit gede lho iku,” timpal NY.
Disisi lain, orang tua siswa berharap ada kejelasan dan transparansi dari pihak sekolah, terkait penggunaan dana sumbangan wajib ini. Sehingga program yang dijalankan tidak menyalahi peraturan pemerintah.
“Sebetulnya aturan sudah jelas. Tidak boleh ada tarikan apapun. Karena semua program pendidikan sudah dicover BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan Bosda. Toh di SMP Negeri lainnya juga cukup, kenapa disini masih kurang? Lalu ada tarikan tanpa ada edaran resmi dan kuitansi. jangan sampai bikin program, kemudian menyalahi aturan,” ucap GS geram.
Akibat kebijakan yang dipaksakan sekolah ini, lanjutnya, wali kelas menjadi korban tekanan. Banyaknya orang tua yang tidak bayar, membuat wali kelas terpaksa mengeluarkan uang pribadi buat nutup sumbangan wajib itu.
“Seperti wali kelas saya, terpaksa nomboki karena ada orang tua murid yang tidak mampu bayar. Tomboknya tidak kecil nilainya dan itu dialami wali kelas lain juga. Kalau belum setor, pasti diumumkan sehingga wali kelasnya seperti ditekan dan dikejar target. Apa ini namanya sumbangan atas kerelaan/keikhlasan?,” urainya dengan nada tinggi.
Menjawab keresahan wali murid, Kepala SMPN 1 Buduran, Heri Wahyu Rejeki menunjuk Kepala Humas Khotibul Umam sebagai juru bicara sekolah. Menurut Umam, pihaknya sudah mengeluarkan edaran terkait sumbangan wajib Rp 100.000 per siswa untuk mendukung enam program prioritas sekolah.
“Nanti saya cek lagi, ada (surat) edarannya. Tapi saya lupa nominalnya tahun ini berapa? masih sama dengan tahun lalu Rp 50 ribu atau Rp 100 ribu. Yang jelas dukungan dana itu untuk enam program yaitu Literasi, Numerasi, Karakter, Adiwiyata, TKA (Tes Kemampuan Akademik), dan AKM (Asesmen Kompetensi Minimum). Serta ada tambahan ANBK (Asesmen Nasional Berbasis Komputer),” terang Umam.
Ia menjelaskan pihaknya memberlakukan sumbangan wajib, karena dana BOS dan BOSDA tidak cukup mengcover enam program yang menjadi visi misi sekolah.
“Dana BOS reguler per anak per tahun sekitar Rp 1 juta 80 ribu sekian. Kalau BOSDA, saya kurang tahu besarannya. Karena dana tersebut tidak bisa mengcover program sekolah, maka kami minta dukungan wali murid,” akunya dengan senyum mengembang.
Saat orang tua tidak mampu bayar, imbuhnya, pihak sekolah tetap memberikan keringanan. “Keringanan diberikan, semisal tidak mampu Rp 100 ribu. Kami tanya mampunya berapa? Jadi Rp 100 ribu itu sebenarnya harga flat atau maksimal. Kalau mampunya Rp 50 ribu dan disetujui paguyuban serta wali murid lain dalam satu kelas, it’s okay,” ucapnya.
Umam menyebutkan wali murid yang belum bayar sumbangan wajib tahun 2024 lalu juga banyak. Namun itu bukan bagian dari tagihan. “Yang belum bayar banyak. Tapi ini bukan bagian dari tagihan terikat. Hanya saja, seringkali kami ingatkan ayo-ayo (bayar). Karena ini semua atas kesepakatan wali murid dan bukan aksi sepihak,” tuturnya.
Bahkan, untuk kelancaran sumbangan wajib, ia memastikan setiap wali murid diminta mengisi formulir. “Dalam mengisi formulir ini, intinya tidak ada tekanan dan paksaan. Monggo kalau tidak percaya boleh cek data,” serunya.
Umam memastikan wali murid yang tidak mampu bayar, tidak akan ditagih meski sudah lulus sekolah. “Semisal anak saya kelas 8, tahun 2024 Rp 50 ribu dan tahun 2025 Rp 100 ribu. Pada tahun sebelumnya yang Rp 50 ribu belum bayar artinya masih terutang. Kemudian di kelas 9, lalu lulus. Apakah ditagih? Tidak,” ujarnya mencontohkan.
Penjelasan Umam ini, kontras dengan keterangan yang disampaikan wali kelas 9H, Zainal Abidin. Menurutnya, orang tua siswa yang tidak mampu bayar penuh sumbangan wajib, dibantu pelunasan oleh paguyuban. Semua penyelesaian ini tergantung kesepakatan.
“Seperti di kelas saya sendiri jika disepakati Rp 100 ribu juga tidak masalah. Kalau kemudian ada anak yang tidak mampu, tentu dibicarakan kesepakatan pembayaran. Diangsur atau bagaimana. Jika tetap, tidak bisa lunas, ada yang dibantu menutup pelunasan dari paguyuban,” pungkasnya. **