
Suka atau tidak, sifat rezim Iran tidak dapat dipisahkan dari fondasi ideologisnya. Ia bukan negara normal. Atau diktator konvensional. Identitas ideologisnya dia peroleh dari perlawanannya terhadap Amerika Serikat, Israel, dan Barat. Dalam gambar: “Pemimpin Tertinggi” Iran Ali Khamenei bertemu dengan Presiden Masoud Pezeshkian di Teheran pada 27 Agustus 2024. (Sumber gambar: khamenei.ir)
Oleh Majid Rafizadeh*

SURABAYA—KREDONEWS.Com. —Selama lebih dari empat dekade, banyak politisi Barat berharap bahwa negosiasi dapat menyebabkan rezim Islam di Iran berubah perilaku dan sikapnya terhadap Barat. Untuk itu, berbagai pendekatan diplomatik, insentif ekonomi dan konsesi diberikan kepada Teheran. Namun, semuanya gagal. Sayangnya, diplomasi itu akan terus gagal.
Suka atau tidak, sifat rezim Iran tidak dapat dipisahkan dari fondasi ideologisnya. Iran bukanlah negara biasa. Atau diktator konvensional. Negara ini lebih sebagai entitas ideologis yang membangun identitasnya dari perlawanannya terhadap Amerika Serikat, Israel, dan Barat.
Identitas itu dibangun sejak revolusi Islam Iran pada 1979. Identitas itu bukan sekadar sikap kebijakan luar negeri, tetapi prinsip utama keberadaan rezimnya.
Rezim itu menuding Amerika Serikat sebagai “Setan Besar” dan Israel sebagai “Setan Kecil.” Dengan konsep itu, Iran memposisikan dirinya sebagai kekuatan keadilan ilahi yang melawan wujud kejahatan yang dianggap demikian.
Bagi Iran, permusuhan terhadap Amerika dan Israel bukan sekadar retorika. Permusuhan justru merupakan pilar dasar legitimasi mereka. Jika tidak memusuhi AS dan Israel, rezim itu akan kehilangan seluruh pembenaran yang menjadi dasar kekuatannya.
Tidak seperti negara-negara otoriter pragmatis yang bermusuhan karena alasan strategis yang dapat mengubah arah jika perlu, rezim Iran memandang permusuhan terhadap Barat itu sebagai kewajiban agama. Berteman dengan Amerika atau Israel berarti mengkhianati akar Islam revolusionernya. Di mata mereka, itulah alasan sebenarnya. Terkait dengan persoalan keberadaan mereka.
Karena itu, permusuhan tidak dapat dihentikan. Kecuali jika runtuh. Jadi persoalannya sama dengan AS tidak dapat mengabaikan prinsip kebebasan individu, keadilan yang setara di bawah hukum, atau kebebasan berbicara.
Meskipun ini nyata, Barat berulang kali berupaya terlibat dengan Iran. Mungkin dengan keyakinan bahwa insentif ekonomi atau diplomatik dapat mengubah perilakunya. Pendekatan Pemerintahan Obama adalah contoh utama.
Dalam upaya mencapai “kesepakatan nuklir,” Washington mencabut sanksi, memberikan keringanan sanksi miliaran dolar, bahkan mengirim sejumlah uang tunai kepada para mullah yang berkuasa.
Hasilnya? Rezim Iran tidak hanya gagal memoderasi perilakunya. Sebaliknya, ia meningkatkan permusuhannya, menggunakan dana yang diterimanya dari AS untuk melakukannya.
Teriakan “Matilah Amerika” dan “Matilah Israel” semakin keras, Teheran menyalurkan lebih banyak uang ke kelompok teroris seperti Hizbullah dan Hamas, meningkatkan jumlah uranium lebih cepat dari sebelumnya, dan melancarkan agresinya di Timur Tengah.
Alih-alih menggunakan keuntungan finansial dari kesepakatan nuklir untuk meningkatkan kehidupan rakyatnya, Iran menggunakannya untuk mengonsolidasikan sistemnya yang radikal. Ia memperluas jangkauan militer dan mempercepat ambisi senjata nuklirnya.
Setiap negosiasi dengan Iran mengikuti pola yang sama. Iran membuat janji, mengamankan keuntungan finansial dan politik, dan kemudian, setelah memperkuat posisinya, melanjutkan tindakan agresifnya.
Salah satu ilusi terbesar dalam diplomasi Barat adalah keyakinan bahwa Iran dapat dibujuk untuk meninggalkan program nuklirnya melalui negosiasi. Padahal Iran memandang senjata nuklir sebagai penjamin utama kelangsungan hidupnya.
Iran belajar dari sejarah. Mereka melihat apa yang terjadi pada Muammar Gaddafi dari Libya — yang setuju untuk membongkar program nuklirnya, tetapi kemudian digulingkan dan dibunuh. “Pemimpin Tertinggi” Iran Ayatollah Ali Khamenei secara eksplisit menyatakan bahwa nasib Gaddafi membuktikan mengapa Iran tidak boleh menyerahkan senjata nuklirnya.
Seperti Korea Utara, negosiasi dapat memperlambat sementara pengembangan senjata nuklir Iran. Negosiasi tidak pernah menghentikannya. Rezim akan menyetujui perundingan hanya jika perlu mengulur waktu. Apakah untuk membangun kembali ekonominya di bawah kedok diplomasi, untuk menidurkan Barat agar merasa puas, atau menunggu iklim politik yang tidak menguntungkan, seperti Trump.
Tujuan rezim Iran selalu sama. “Memperoleh senjata nuklir untuk memperkuat dominasi regionalnya dan mencegah segala upaya untuk menyingkirkan rezim dari kekuasaan.
Tidak ada negara yang memahami rezim Iran lebih baik daripada Israel. Tidak seperti beberapa pembuat kebijakan Barat yang terus berpura-pura berdiplomasi, Israel tahu secara langsung bahwa rezim Iran dibangun di atas kebohongan dan tipu daya.
Iran secara terbuka menyatakan tujuannya. Yaitu untuk menghapus Israel dari peta. Konstitusi Iran secara eksplisit menyatakan komitmennya untuk mengekspor revolusi Islam radikal ke seluruh dunia. Karena alasan ini, Israel, yang mungkin khawatir akan biaya yang akan dikeluarkan akibat kehilangan waktu dan kesempatan, menentang segala perundingan dengan Iran.
Sudah saatnya Barat meninggalkan strategi terlibat dengan Iran. Diplomasinya tidak berhasil selama lebih dari empat dekade. Dan tidak akan pernah berhasil.
Iran bukanlah aktor negara rasional yang dapat dibujuk. Ia rezim ideologis yang melihat dirinya sebagai mandat ilahi untuk menentang Barat.
Jika Barat ingin benar-benar menghadapi ancaman yang ditimbulkan Iran, mereka harus berhenti membuat perundingan sia. Sebagai gantinya mereka menggunakan strategi kekuatan. Itu berarti sepenuhnya mendukung sikap Israel melawan Iran. Selain itu, Barat harus mengambil tindakan tegas untuk mencegah Iran memperoleh senjata nuklir.
Sayangnya, satu-satunya cara untuk menetralisir ancaman Iran adalah melalui kekuatan. Rezim Iran hanya memahami kekuatan. Selama Barat tidak mengakui kenyataan ini, mereka akan terus dibodohi. Iran hanya mengulur waktu untuk memajukan ambisinya yang tak terkendali.***
- Dr. Majid Rafizadeh, adalah cendekiawan politik tamatan dan dosen papan atas Amerika, Universitas Harvard. Dia menulis banyak buku seputar kebijakan luar negeri AS. Dia bisa dihubungi lewat dr.rafizadeh@post.harvard.edu