Penulis: Jayadi | Editor: Aditya Prayoga
KREDONEWS.COM, SURABAYA– dr. Ema Surya Pertiwi CCHt baru-baru ini menekankan pentingnya keseimbangan antara kesehatan mental dan fisik lewat unggahan di Instagram.
Ia menilai pengobatan medis konvensional kerap hanya menyoroti gejala fisik, tanpa menyentuh akar emosional yang sering menjadi pemicu penyakit kronis.
Menurutnya, dokter umumnya dilatih untuk mengandalkan farmakologi. “Selama ini sebagai dokter, aku diajarkan untuk memberikan obat membantu tubuh melawan penyakit,” ujarnya.
Namun, ia melihat adanya celah dalam praktik medis karena tekanan hidup—seperti masalah ekonomi, keluarga, atau trauma masa lalu—sering diabaikan.
Jika tidak diolah, emosi tersebut bisa menumpuk dan memengaruhi tubuh. “Yang tidak pernah dia proses, disimpan emosinya, itu lama-lama bisa tersimpan dalam tubuh dan menyebabkan penyakit,” jelasnya.
Emosi terpendam juga dapat memicu perilaku tidak sehat sebagai pelarian, seperti alkohol, merokok, begadang, atau menghabiskan waktu berjam-jam dengan gawai.
“Dan emosi tersebut juga bisa dilarikan ke perilaku tidak sehat seperti alkohol, merokok, begadang, scroll berjam-jam,” tambahnya.
Tanpa regulasi emosi, pengobatan medis hanya bersifat sementara karena perilaku buruk terus berulang. “Maka terus-menerus seseorang itu akan mengkonsumsi obat untuk membantu,” kata Dr. Ema.
Ia menekankan bahwa memahami cara pikiran menciptakan kebahagiaan sama pentingnya dengan memahami bagaimana pikiran bisa menimbulkan sakit.
Untuk menjaga kesehatan mental, ia mengingatkan agar setiap orang menyadari batas energi diri. “Ingat ya, aku bukan Avenger yang hadir dengan kekuatan super untuk menyelamatkan dunia,” ucapnya.
Salah satu langkah menjaga energi adalah berani membuat batasan sosial, termasuk mengabaikan komentar negatif. “Aku berhak kok menutup telinga dari omongan negatif tetangga,” tegasnya.
Dr. Ema menekankan bahwa aktivitas mental seperti menahan emosi dan berinteraksi sosial nyata-nyata menguras energi otak.
“Faktanya, untuk menahan emosi dan berpikir, otak juga membutuhkan energi,” jelasnya. Jika energi habis, seseorang akan mudah lelah, sensitif, dan sulit fokus.
Sebagai penutup, ia mengajak untuk lebih bijak mengalokasikan tenaga mental. “Jadi, daripada aku menghabiskan energi untuk hal yang sia-sia, lebih baik aku simpan untuk membahagiakan diriku sendiri dan orang yang tercinta.”.***










